Mantan KSAU Mangkir dari Pemeriksaan KPK
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi batal memeriksa mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Agus Supriatna di KPK, Jumat (15/12) ini, terkait dugaan korupsi pengadaan helikopter AgustaWestland 101 atau AW 101. Penasihat hukum menyampaikan surat pemberitahuan tidak hadir dan permintaan penundaan pemeriksaan. Dalam pemberitahuannya kepada pihak Polisi Militer TNI, Agus sedang berangkat umrah.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, penasihat hukum Agus Supriatna telah menyampaikan surat pemberitahuan itu kepada KPK, Jumat pagi. Alasan Agus tidak bisa hadir dalam pemeriksaan ini ialah karena sedang berada di luar negeri.
Mengenai ketidakhadiran Agus, Komandan Pusat POM TNI Mayor Jenderal Dodik Wijanarko, yang dihubungi terpisah, mengatakan, mantan KSAU itu sedang menjalankan ibadah umrah. POM TNI sudah pernah dua kali memanggil Agus, tetapi pada dua pemanggilan itu Agus tidak hadir.
”Pak Agus sedang umrah, sudah pernah dipanggil dua kali untuk diperiksa (oleh POM TNI), dan sudah memberi tahu soal itu (umrah). Pada pemanggilan kedua, penasihat hukumnya menyampaikan izin dan pemberitahuan bahwa yang bersangkutan sedang umrah,” kata Dodik.
Dodik memastikan akan memanggil kembali Agus guna dimintai keterangan terkait tentang hal-hal apa saja yang diketahuinya mengenai dugaan korupsi pengadaan helikopter AW 101. ”Tentunya akan kami panggil dan mintai keterangan. Tetapi, kan, sedang umrah, masak kami datang ke sana untuk periksa saat umrah, kan, tidak. Jadi pasti akan panggil lagi, mungkin tanggal 22 (22 Desember) nanti karena umrah juga sudah beri tahu,” ujarnya.
Pada pemanggilan kedua, penasihat hukumnya menyampaikan izin dan pemberitahuan bahwa yang bersangkutan sedang umrah.
POM TNI, lanjut Dodik, juga tidak akan menghentikan penyidikan terkait dugaan korupsi helikopter AW 101 tersebut. Pihaknya terus berkoordinasi dengan KPK untuk mengungkap kasus itu. ”Lanjutlah pasti. Kasus ini akan lanjut terus,” ujarnya singkat.
Namun, Febri mengatakan, data perlintasan dari pihak imigrasi yang diperolehnya menyatakan Agus saat ini sudah berada di dalam negeri. ”Data perlintasan yang kami dapatkan, per 8 Desember yang bersangkutan sudah berada di Indonesia. Kami akan kros cek lagi mengenai hal ini dan melakukan koordinasi dengan POM TNI,” ujar Febri.
KPK memercayai komitmen Panglima TNI kuat untuk membongkar kasus korupsi ini, apalagi sejak awal kasus ini menjadi kepedulian dari Presiden Joko Widodo.
Dalam penyidikan kasus ini, KPK terus berkoordinasi dengan POM TNI sebab melibatkan tidak hanya pelaku atau tersangka dari kalangan sipil, tetapi juga militer. Hingga saat ini, POM TNI telah menetapkan empat tersangka dari kalangan militer, yakni Marsekal Pertama FA, yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa; Letnan Kolonel WW, pejabat pemegang kas (PEKAS); Pembantu Letnan Dua SS, staf PEKAS yang menyalurkan dana kepada pihak-pihak tertentu; serta Marsekal Muda SB, yang dalam perkara ini menjabat Asisten Perencanaan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU).
Dari pihak sipil, KPK telah menetapkan satu tersangka, yaitu Irfan Kurnia Saleh (IKS), yang merupakan pimpinan PT Diratama Jaya Mandiri. Irfan diduga mengatur proses lelang sehingga perusahaannya dipastikan memenangi lelang. Irfan diketahui menaikkan nilai kontrak atau pembelian helikopter senilai Rp 224 miliar, dari sebelumnya Rp 514 miliar menjadi Rp 738 miliar. Potensi kerugian negara lebih dari Rp 200 miliar yang diperoleh dari kenaikan harga helikopter tersebut.
Dari pihak sipil, KPK telah menetapkan satu tersangka, yaitu Irfan Kurnia Saleh (IKS), yang merupakan pimpinan PT Diratama Jaya Mandiri. Irfan diduga mengatur proses lelang sehingga perusahaannya dipastikan memenangi lelang.
Pada Selasa pekan ini, 12 Desember, KPK juga menjadwalkan pemeriksaan terhadap enam perwira Angkatan Udara di POM TNI, Mabes TNI Cilangkap, tetapi saksi-saksi tidak hadir. Dari hasil koordinasi antara tim penyidik dan kuasa hukum para perwira tersebut, surat panggilan yang dikirim KPK belum ada disposisi dari pimpinan yang memerintahkan saksi untuk hadir. Kuasa hukum dari Dinas Hukum (Diskum) TNI itu meminta pengunduran pemeriksaan untuk pekan depan, yakni Selasa, 19 Desember.
Febri mengatakan, pada prinsipnya koordinasi dan komunikasi antara KPK dan POM TNI AU berjalan baik. POM TNI AU memfasilitasi kebutuhan penyidik terkait pemeriksaan saksi-saksi, baik saksi terdahulu maupun saksi baru, yang dibutuhkan keterangannya oleh KPK.
”Saat ini POM TNI AU juga masih menunggu hasil perhitungan kerugian negara yang sedang dihitung oleh BPK untuk tersangka yang ditangani TNI. Nantinya perhitungan kerugian negara tersebut juga akan dimanfaatkan KPK untuk penanganan perkara dengan tersangka IKS, selain KPK masih dibutuhkan pemeriksaan saksi-saksi lainnya dari pihak TNI AU. Karena itu, koordinasi dengan pihak TNI AU akan terus dijalin dalam penanganan perkara ini,” urai Febri.
Saat ini POM TNI AU juga masih menunggu hasil perhitungan kerugian negara yang sedang dihitung oleh BPK untuk tersangka yang ditangani TNI.
Dugaan penggelembungan
Dalam kasus ini, KPK dan POM TNI menduga ada penggelembungan harga yang dilakukan oleh Irfan dan pengaturan lelang pengadaan helikopter senilai Rp 761,2 miliar per unit itu. Lebih dari 13 saksi telah diperiksa KPK dan POM TNI dalam rangka penyidikan kasus korupsi pengadaan AW 101 yang diperkirakan merugikan negara Rp 220 miliar.
Mengenai modus penggelembungan harga helikopter AW 101, Febri mengatakan, itu baru dugaan dan masih perlu diperkuat dengan bukti-bukti serta keterangan saksi untuk membangun konstruksi kasus. Namun, Febri memastikan ada indikasi kerugian negara dalam pengadaan helikopter tersebut.
”Kerugian negara Rp 220 miliar itu hanya indikasi awal yang telah dihitung. Dalam proses penyidikan nanti tentu akan dipastikan kembali sebagai pemenuhan unsur Pasal 2 atau 3 dalam kasus yang ditangani KPK. Namun, prinsipnya bukti-bukti yang sama akan digunakan bersama-sama antara penyidik KPK dan POM TNI,” ungkapnya.
Perkara ini bermula dari kedatangan Panglima TNI (waktu itu) Jenderal Gatot Nurmantyo ke kantor KPK, Mei lalu. Gatot mengungkapkan adanya dugaan korupsi dalam pengadaan helikopter AW 101. Gatot mengungkapkan ada potensi kerugian negara Rp 220 miliar dalam pengadaan alutsista tersebut. Penyidik KPK dan POM TNI juga menyita uang dari PT Diratama Jaya Mandiri selaku penyedia barang sebesar Rp 139 miliar.
Sejak awal, pengadaan helikopter AW 101 itu sudah menimbulkan kecurigaan karena alutsista tersebut telah dibatalkan atau ditolak oleh Presiden Joko Widodo. Awalnya pengadaan helikopter itu diperuntukkan bagi helikopter kepresidenan. Namun, setelah ditolak, ternyata pengadaan helikopter jalan terus. Setelah beberapa waktu baru diketahui ternyata helikopter itu tetap dibeli dan dijadikan helikopter SAR tempur di TNI AU.
Marsekal Muda SB diduga melakukan insubordinasi atau sikap tidak taat kepada pimpinan. SB diduga tetap memerintahkan bawahannya untuk melanjutkan pengadaan helikopter sekalipun sudah ada instruksi dari Presiden selaku panglima tertinggi TNI untuk menghentikannya.
Ungkap perencana
Namun, konstruksi kasus ini diragukan oleh Khairul Fahmi, peneliti pada Institute for Security and Strategic Studies (ISESS). ”Penyidikan kasus ini harus melihat konteks yang lebih luas, tidak sekadar berkutat pada matra Angkatan Udara sebab pada tataran teknis mereka ini hanyalah pelaksana. Korupsi terjadi bukan pada tataran pelaksana atau kuasa pengguna anggaran (KPA), melainkan harus juga dilihat siapa otak atau perencana pembelian helikopter itu sebenarnya,” kata Khairul.
Peran perwira yang mejadi KPA sejatinya hanyalah menjalankan perintah ketika itu. ”Hal ini yang harus dibuat terang benderang, siapa yang memerintahkan perwira KPA itu sehingga tetap mengadakan pembelian helikopter AW 101, sementara Presiden sudah menolak rencana itu. Sebab, KPA, kan, sudah level teknis, yang perencanaan dan penganggarannya ada di tataran pembuat kebijakan atau politis. Siapa yang merencanakan pembelian helikopter ini, kan, itu juga harus diungkap oleh penyidik,” urai Khairul.
Penyidikan kasus ini harus melihat konteks yang lebih luas, tidak sekadar berkutat pada matra Angkatan Udara sebab pada tataran teknis mereka ini hanyalah pelaksana. Korupsi terjadi bukan pada tataran pelaksana atau kuasa pengguna anggaran, melainkan harus juga dilihat siapa otak atau perencana pembelian helikopter itu sebenarnya.
Mengenai adanya dugaan penggelembungan dan potensi kerugian negara, menurut Khairul, itu mungkin saja benar. Namun, potensi itu akan terjadi bila sejak di tahap pembuatan kebijakan sudah ada perencanaan yang tidak jelas dan menyimpang. BPK pun masih memerlukan audit soal ada atau tidaknya kerugian negara dalam kasus ini.
”Pembayaran helikopter itu, kan, belum dilakukan sehingga sebetulnya belum ada kerugian negara. Namun, justru yang menjadi pertanyaan kenapa rencana pembelian helikopter itu terus dilakukan sehingga ada potensi kerugian negara. Siapa yang merencanakan atau otak di balik ini semua?” ungkap Khairul.
Dalam pembahasan anggaran militer dan alutsista, ada tiga pihak, menurut Khairul, yang mengetahui soal penganggaran dan perencanaan. ”Menteri Pertahanan, Menteri Keuangan, dan Menteri Sekretaris Negara,” katanya.
Tiga pihak di tataran politis dan pengambil kebijakan itu, lanjut Khairul, juga perlu dimintai keterangan mengenai bagaimana sebenarnya kronologi pengadaan helikopter AW 101. ”Level pembuatan kebijakan harus menjelaskan soal hal ini, selain KPK dan POM TNI juga mengungkap dugaan upaya penggelembungan harga helikopter yang bisa merugikan negara,” ungkapnya.