Pembangunan Infrastruktur Harus Seimbang dengan Upaya Melestarikan Lingkungan
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan lembaga kajian dan advokasi mendorong pemerintah untuk menyeimbangkan pembangunan infrastruktur dengan program-program kelestarian lingkungan hidup. Salah satu yang perlu dioptimalkan adalah program redistribusi hutan dan lahan.
Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Henri Subagiyo menilai, gencarnya pembangunan proyek infrastruktur belum sebanding dengan upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup dan sumber daya alam. Pembaruan hukum dan kebijakan untuk perlindungan lingkungan hidup juga masih belum optimal.
”Ada beberapa catatan, seperti soal redistribusi tanah serta bakaran hutan dan lahan yang perlu menjadi perhatian pemerintah ke depan,” ujar Henri dalam acara Catatan Akhir Tahun 2017 yang diadakan ICEL di Jakarta, Selasa (15/12).
Dalam catatan ICEL, ada beberapa kebijakan pemerintah yang perlu diapresiasi, tetapi masih jauh dari target yang diharapkan. Salah satunya adalah mengenai kebijakan perhutanan sosial yang baru mencapai 1,1 juta hektar dari target 7,6 juta hektar tahun 2017.
Program perhutanan sosial merupakan program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk membuka kesempatan bagi masyarakat di sekitar hutan guna mengajukan hak pengelolaan area hutan kepada pemerintah.
Gencarnya pembangunan proyek infrastruktur belum sebanding dengan upaya pelestarian lingkungan hidup dan sumber daya alam.
Setelah disetujui, masyarakat dapat memanfaatkan hutan tanpa harus merusaknya, seperti pemanfaatan air, ekowisata, dan pemanfaatan getah pohoh untuk kebutuhan ekonomis masyarakat.
”Dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) hingga akhir 2017, pemerintah menargekan akan ada 12,7 juta lahan yang digunakan untuk perhutanan sosial hingga 2019 nanti. Ini masih jauh dari target,” ucap Kepala Divisi Lahan dan Hutan ICEL Rika Fajrini.
Rika menjelaskan, aspek kelembagaan dan sumber daya manusia yang belum memadai menjadi salah satu faktor penghambat tidak optimalnya program tersebut.
Selain itu, regulasi perizinan yang tumpang tindih di area Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) diindikasikan sebagai faktor penghambat lainnya.
”Dalam sisi kelembagaan, belum semua provinsi memiliki Pokja PPS (Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial). Selain itu, tidak tersedianya ahli pemetaan di setiap Pokja PPS membuat proses verifikasi lapangan terhadap permohonan masyarakat menjadi terhambat,” lanjut Rika.
Kebakaran hutan
Terkait masalah kebakaran hutan dan lahan, Rika mengatakan, potensi kebakaran hutan dan lahan tahun ini memang menurun. Namun, menurut dia, hal tersebut juga karena faktor cuaca di Indonesia pada 2017 didominasi kemarau basah.
Pemerintah perlu memulihkan lahan yang terbakar. Selain itu, upaya hukum terhadap pelaku pembakaran lahan juga harus lebih tegas.
”Menurut catatan BMKG, tahun 2016 dan 2017, curah hujan di sebagian wilayah Indonesia cukup tinggi. Perlu antisipasi jika nantinya Indonesia dihadapkan pada musim kemarau yang berkepanjangan,” kata Rika.
Menurut dia, pemerintah juga perlu melakukan pemulihan terhadap lahan yang terbakar. Selain itu, upaya hukum terhadap pelaku pembakaran lahan juga harus lebih tegas.
Dihubungi tepisah, Kepala Biro Humas KLHK Djati Witjaksono Hadi menjelaskan, tahun 2017, fokus KLHK memang pada masalah kebakaran lahan hutan dan program perhutanan sosial.
”Kami membandingkan dari luas hutan dan lahan yang terbakar pada 2015 itu seluas 2,6 juta hektar. Tahun 2016 sekitar 438.000 hektar dan tahun 2017 ini sudah bisa dikendalikan lebih baik lagi, terpantau hanya 30,52 hektar. Jumlah titik api terpantau dan bisa dikendalikan,” tutur Djati.
Ia mengatakan, cuaca memang berpengaruh, tetapi bukan sebagai faktor utama yang membuat kebakaran hutan dan lahan berkurang signifikan. Menurut dia, ada beberapa daerah yang masih mengalami cuaca ekstrem dan kering pada 2017.
”Tentunya, faktor utama adalah mengajak masyarakat untuk turut serta mengatasi kebakaran hutan dan lahan, kemudian siaga operasi udara untuk pemadaman yang tidak bisa dijangkau, penegakan hukum, serta perbaikan tata kelola lahan,” lanjut Djati.
Terkait target 12,7 juta hektar program perhutanan sosial, Djati menjelaskan, target ini mungkin tidak bisa tercapai penuh. Ia menyebutkan, hingga saat ini masih sedikit masyarakat yang mengajukan permohonan terkait program perhutanan sosial tersebut.
”Kami menyiapkan area ini jika ada kelompok masyarakat yang memohon. Kalau tidak ada kelompok masyarakat mengajukan, ya, kami tidak kasih. Karena kelompok masyarakat ini, kan, harus punya kelembagaan dan pendampingan agar tidak digunakan untuk kepentingan pribadi,” ucap Djati.
Menurut dia, kelompok masyarakat tersebut harus memenuhi persyaratan dan akan didata pemerintah daerah, apakah betul-betul masyarakat daerah setempat atau pendatang.
Proyek strategi nasional
Deputi Direktur ICEL Raynaldo Sembiring menjelaskan, Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 dan Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017 dapat menimbulkan potensi penyalahgunaan tata ruang. Peraturan tersebut mengatur tentang rencana tata ruang wilayah nasional dan proyek strategis nasional.
”PP No 13/2017 cenderung akomodatif terhadap pelaksanaan proyek megainfrastruktur dengan memberikan sejumlah pengecualian terhadap pembangunan infrastruktur, terutama proyek strategis nasional,” kata Raynaldo.
Menanggapi hal itu, Djati menyebutkan, dalam pelaksanaan proyek strategis nasional, pemerintah tetap melakukan pengkajian terhadap lokasi strategis proyek tersebut.
”Contohnya, jika pembangunan infrastruktur melewati hutan, harus dicari solusi terbaiknya. Selain itu, koordinasi dengan kementerian terkait, seperti Kementerian PUPR dan Kementerian Dalam Negeri, juga harus disinergikan terkait perizinan pembangunan proyek,” lanjut Djati.
Djati mengatakan, analisis dampak lingkungan juga perlu dilakukan terkait masalah pembangunan infrastruktur. Hal ini juga untuk menekan dampak negatif dari sebuah proyek serta mengkaji sisi positif dari proyek tersebut.
”Tentunya, proyek yang berpotensi merusak lingkungan butuh pengawasan dan catatan khusus dari pemerintah,” ujar Djati. (DD05)