Teknologi Digital Mampu Kurangi Tingkat Pengangguran
JAKARTA, KOMPAS — Teknologi digital dapat memberi peluang pengurangan jumlah pengangguran di Indonesia. Namun, pemerintah harus bersungguh-sungguh menyiapkan sumber daya manusia agar teknologi tidak menaklukkan manusia dan menambah jumlah pengangguran. Perubahan kurikulum berbasis ekonomi digital pada sekolah vokasi termasuk upaya yang dapat dilakukan.
Dalam berita Kompas (15/12), penurunan tingkat pengangguran dari 11,2 persen pada 2005 menjadi 5,3 persen pada Februari 2017 dianggap belum menunjukkan kondisi lapangan kerja yang baik dan layak. Tingkat pengangguran anak muda juga dinilai masih tinggi dengan persentase sebesar 19,4 persen.
Anak muda yang tidak bekerja dan tidak mengikuti pendidikan atau pelatihan persentasenya 23,2 persen. Anak muda yang dimaksud di sini adalah kelompok usia 15-24 tahun. Hal itu dilaporkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) melalui Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 yang dirilis pada Rabu (14/12).
Menanggapi adanya fakta itu, Bhisma Yudhistira Adhinegara, ekonom dari Institute for Economic of Development and Finance, mengatakan, yang saat ini masih terjadi adalah keahlian sumber daya manusia yang tersedia tidak cocok dengan apa yang dibutuhkan perusahaan. ”Jumlah tenaga kerja tinggi, tetapi skill mereka bukan yang dibutuhkan oleh pasar,” kata Bhisma saat dihubungi, Jumat (15/12).
Untuk mengatasi ketepatan skill itu, Bhisma menjelaskan, pemerintah harus mengubah kurikulum di sekolah vokasi sesuai dengan arah pertumbuhan ekonomi. Ia melihat ada kecenderungan bahwa sekolah vokasi itu masih difokuskan untuk mengisi industri-industri manufaktur.
”Ini ada kesalahan paradigma bahwa sekolah vokasi masih disiapkan untuk mengisi pabrik. Pekerjaan fisik di pabrik. Sementara vokasi yang masuk ekonomi digital itu masih sedikit, seperti e-commerce dan IT developer,” kata Bhisma. ”Akibatnya, di sini terjadi skill gap.”
Pada 2016, BPS mencatat ada 12,17 juta orang lulusan SMK yang bekerja di berbagai sektor, baik formal maupun informal dari total 118,4 juta pekerja. Jumlah pekerja lulusan SMK lebih tinggi dibandingkan dengan lulusan diploma I-III dan lulusan universitas (S1). Pekerja lulusan diploma I-III hanya berjumlah 3,41 juta orang, sementara pekerja lulusan universitas berjumlah 11,08 juta orang.
Kepala BPS Kecuk Suharijanto mengakui, untuk mengarah ke ekonomi digital memang sumber daya manusia yang dimiliki Indonesia masih kurang. Ia sepakat bahwa perubahan kurikulum pada sekolah vokasi harus disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan.
”Kita masih punya persoalan dengan kualitas sumber daya manusia kita,” kata Kecuk. ”Kita perlu memperhatikan tren ke depan. Jadi, ilmu yang dipelajari di sekolah itu match dengan kebutuhan pasar. Tetapi, perlu disadari bahwa meningkatkan sumber daya manusia itu butuh waktu”
Pada Kompas (15/12), Asisten Deputi Ketenagakerjaan Kementerian Koordinator Perekonomian Yulius mengatakan, pemerintah sedang mematangkan kurikulum vokasional, pemetaan, dan proyeksi lapangan pekerjaan sesuai dengan kebutuhan industri. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses tersebut adalah Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Akan tetapi, di satu sisi, ekonomi digital yang terus tumbuh dan dinilai pemerintah mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara optimal, belum sepenuhnya diikuti oleh pembangunan teknologi informasi dan komunikasi yang baik.
Menurut data yang dirilis oleh BPS, indeks pembangunan teknologi informasi dan komunikasi (IP-TIK) di Indonesia termasuk rendah karena baru memperoleh nilai 4,34 untuk skala 0-10 pada 2016. Meski demikian, indeks itu meningkat dibanding tahun sebelumnya yang hanya mencapai 3,88.
Secara internasional, peringkat Indonesia untuk IP-TIK juga masih rendah. Saat ini, Indonesia berada pada peringkat ke-111 dari 176 negara yang dihitung IP-TIK-nya. Adapun negara-negara yang dihitung indeksnya adalah Denmark, Swiss, Korea Selatan, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, dan lain-lain.
Menurut peringkatnya, indeks yang dimiliki Indonesia masih berada di bawah Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Indonesia hanya mengungguli Kamboja, Myanmar, dan Timor-Leste.
Peluang
Digitalisasi seolah terjadi di berbagai sektor. Hal positif yang diberikan oleh teknologi digital kemudahan dan kecepatannya untuk memperoleh atau memproduksi sesuatu. Sementara itu, hal yang dikhawatirkan adalah apabila kelak, di sektor industri ataupun usaha, tenaga manusia itu digantikan oleh robot atau benda lain yang menggunakan kecerdasan buatan.
Pada 2011, Mckinsey Global Institute merilis hasil studi mereka tentang bagaimana dampak teknologi digital terhadap lapangan kerja di berbagai negara. Internet, yang menjadi fokus mereka saat itu, dianggap sebagai katalisator yang kuat untuk menciptakan lapangan pekerjaan.
Mereka mencontohkan dengan apa yang terjadi pada ekonomi Perancis setelah masuknya internet. Dalam 15 tahun, setelah masuk pertama kalinya, internet telah menghilangkan 500.000 pekerjaan konvensional di negara itu. Namun, dalam kurun waktu tersebut, internet justru menciptakan 1,2 juta lapangan kerja lainnya. Artinya, 2,4 pekerjaan tercipta untuk satu pekerjaan yang hilang. Hal itu didukung survei global mengenai usaha kecil menengah dari McKinsey yang menemukan bahwa 2,6 pekerjaan akan muncul untuk setiap satu pekerjaan yang hilang.
Ervin AP Wibowo, ekonom dari Indonesian Competitiveness and Economic Development, beranggapan, tenaga kerja manusia itu masih dibutuhkan meski digitalisasi tengah berlangsung. ”Akan ada suatu masa di mana nanti semua industri itu beralih ke teknologi dan menggunakan robot. Namun, manusia tetap diperlukan dalam industri,” kata Ervin.
Ervin menjelaskan, syarat yang harus dipenuhi agar manusia tidak takluk dengan teknologi, kecerdasan buatan, atau robot adalah kemauan manusia meningkatkan pengetahuan dan keahlian, serta sikapnya dalam bekerja.
Pengetahuan dan keahlian terus ditingkatkan supaya manusia itu bisa memiliki kuasa terhadap teknologi digital. Menurut Ervin, manusia nantinya akan menjadi pengawas-pengawas dari berbagai teknologi yang digunakan dalam industri. ”Manusia tidak lagi memikirkan bagaimana mengoperasikan alat, tetapi lebih pada membuat sistem pengoperasian dari suatu aktivitas produksi supaya lebih efisien,” kata Ervin. ”Alatnya sudah ada. Tinggal bagaimana mereka mau bikin rantai kerjanya.”
Menurut Ervin, hal yang paling khas dari manusia itu adalah sikap kerja. Bagi dia, itu hal yang paling penting dalam pekerjaan dan membedakan manusia daripada mesin atau teknologi. ”Robot, mesin, atau teknologi itu kan tidak punya akal,” kata Ervin.
”Manusia punya akal dan bisa terus membuat pertanyaan ’kenapa’, supaya bisa melakukan inovasi. Itu yang tidak bisa dilakukan oleh teknologi. Saya mengharapkan, teknologi itu sebagai kendaraan. Motornya tetap manusia,” ujar Ervin. (DD16)