Jaga Ketahanan Pangan Lewat Sektor Pariwisata
BANTEN, KOMPAS — Pariwisata dianggap mampu menjaga ketahanan pangan jika disertai dengan penganekaragaman kuliner Nusantara. Hal yang harus dilakukan adalah mengoptimalkan potensi pangan lokal dan sedapat mungkin mengurangi ketergantungan terhadap nasi.
”Potensi wisata di Indonesia sangat besar. Alam kita sangat kaya dan indah,” kata Maya Syahrial, akademisi dari Universitas Sahid, Jakarta, saat mengisi acara lokakarya ”Diversifikasi Kuliner Nusantara dalam Mendukung Ketahanan Pangan” di Indonesia Convention Exhibition, Tangerang, Banten, Minggu (17/12).
Dari 2013 hingga 2015, perolehan devisa Indonesia dari bidang pariwisata bisa mencapai lebih dari Rp 135 miliar. Dalam kurun waktu tersebut, pariwisata menduduki posisi keempat penyumbang devisa berdasarkan lapangan usahanya.
Pada 2016, Indonesia memperoleh devisa sebesar Rp 183,1 miliar hanya dari sektor pariwisata. Bahkan, sektor tersebut menjadi penyumbang devisa terbesar kedua di bawah minyak kelapa sawit.
Maya menilai, besarnya potensi pariwisata itu memiliki hubungan dengan ketahanan pangan. ”Pariwisata dan kuliner tidak bisa dipisahkan. Kita memiliki suku bangsa yang amat beragam dan dari daerah yang sangat bermacam-macam,” kata Maya.
”Setiap daerah memiliki kekhasannya masing-masing dan itu bisa jadi keunggulan dari pariwisata kita, selain mengandalkan keindahan alam. Kuliner menjadi salah satu daya tarik wisatawan,” kata Maya.
Namun, Maya menyayangkan bahwa kuliner Nusantara itu belum terlalu bervariasi dan masih berfokus pada beras sebagai pangan pokoknya. Ia menilai, sebenarnya masih banyak potensi yang belum tergali dan dipopulerkan mengingat Indonesia memiliki alam yang subur dan bisa ditanami beragam makanan.
”Saat ini, kita masih terlalu bergantung pada beras. Paradigma itu harus diubah. Kita punya banyak pangan lokal yang sebenarnya bisa menjadi pangan pokok dan punya daya tarik sendiri,” kata Maya.
Ia menyarankan agar industri makanan berbasis sumber daya lokal selain beras itu dikembangkan karena bisa menjadi pangan pengganti terhadap beras.
Ketergantungan masyarakat terhadap beras ditunjukkan melalui peningkatan konsumsi beras setiap tahun. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian, konsumsi beras masyarakat terus meningkat dari 2010 hingga 2012.
Indonesia memiliki umbi-umbian dan berbagai tumbuhan pangan lain yang dapat menjadi pengganti beras. Berbagai pangan lokal itu adalah jelai, singkong, sorgum, jagung, ubi jalar, dan sagu. Tidak harus sepenuhnya tergantung dari beras.
Pada 2010, konsumsi beras tercatat sebesar 33 juta ton per tahun. Jumlah itu menjadi 33,53 juta ton per tahun pada 2011. Peningkatan kembali terjadi setahun berikutnya hingga mencapai 34,06 juta ton.
RA Ning Sudjito, anggota Dewan Kehormatan Asosiasi Pengusaha Jasaboga Indonesia, memaparkan, Indonesia memiliki umbi-umbian dan berbagai tumbuhan pangan lain yang dapat menjadi pengganti beras. Berbagai pangan lokal itu adalah jelai, singkong, sorgum, jagung, ubi jalar, dan sagu.
”Hasil pangan dari bumi sendiri dan diolah sendiri. Kelaparan itu tidak akan terjadi,” kata Ning. ”Berbeda halnya apabila kita terus-menerus mengonsumsi beras. Nanti ketika beras langka dan kita tidak bisa impor, bisa jadi masalah sendiri karena beras tergolong rentan dengan musim.”
Pada berita Kompas (4/12), pemerintah menganggarkan Rp 2,5 triliun untuk stok beras akhir tahun yang jumlahnya setara dengan sekitar 280.000 ton beras. Hal seperti itu sudah terjadi selama bertahun-tahun.
Dewan Pembina Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia M Husein Sawit menilai stok tersebut tidak ideal untuk penduduk Indonesia yang jumlahnya lebih dari 250 juta jiwa.
Terkait terbatasnya stok beras, pemerintah harus mulai serius memikirkan pengganti jenis pangan pokok tersebut.
Husein mencontohkan, Thailand dengan jumlah penduduk yang kecil memiliki stok sebanyak 1,1 juta ton, sedangkan Korea Selatan dan Filipina masing-masing mencadangkan 1 juta ton.
Terkait terbatasnya stok beras, pemerintah harus mulai serius memikirkan pengganti jenis pangan pokok tersebut. Peneliti dari Tim Singkong Harapan Wijaya Tenessy Iskandar mulai mengampanyekan singkong sebagai makanan pengganti beras.
”Makan singkong itu juga seperti makan nasi juga. Selama ini, orang masih menganggap singkong ini bukan seperti makan nasi,” kata Wijaya. ”Saya ingin mengubah pandangan bahwa singkong ini juga makanan pokok. Selain itu, semua bagiannya juga dapat dimanfaatkan menjadi bentuk lain.”
Setiap 100 gram singkong itu mengandung energi sebesar 160 kilokalori. Jumlah karbohidratnya 38,06 gram, protein 1,36 gram, dan lemak 0,28 gram.
Sementara itu, nasi mengandung 129 kilokalori, karbohidrat 27,9 gram, protein 2,66 gram, dan lemak 0,28 gram. Melihat dari angka itu, singkong sebetulnya terlihat memberikan energi yang lebih besar.
Dalam penelitian Wijaya, singkong dapat dimanfaatkan seluruh bagiannya. Selain dapat dimakan, singkong dapat juga dijadikan tepung tapioka. Ampas dari pembuatan tepung tapioka itu digunakan untuk pakan ternak.
Kotoran ternak dijadikan pupuk untuk menanam singkong selanjutnya. Wijaya bersama timnya pun membuat sistem pertanian dan peternakan yang terintegrasi dengan produksi tepung tapioka tersebut. ”Jadi terus berputar produksinya,” kata Wijaya.
Novan Satrianto, Direktur PT Sedana Panen Sejahtera, melakukan hal serupa dengan jenis tanaman pangan sorgum. Bermula dari kekhawatirannya terhadap stok beras yang cukup rentan terhadap risiko gagal panen, ia melakukan penelitian untuk mengubah sorgum menjadi pangan pokok mulai 2012.
Novan menceritakan, sorgum adalah tanaman yang cocok untuk segala jenis iklim.
”Selama ini, saya belum pernah mengalami gagal panen. Tanaman ini sudah pernah kena banjir dan kekeringan, tetapi selalu berhasil dipanen,” kata Novan. ”Jadi, ya, risiko gagal panennya sedikit.”
Novan menjelaskan, sorgum juga memiliki kandungan gizi yang lebih baik daripada nasi. Dalam 100 gram sorgum terkandung 339 kilokalori.
Dengan demikian, sorgum mampu menghasilkan sekitar 2,5 kali energi lebih banyak daripada nasi. Kandungan proteinnya pun lebih tinggi, yaitu sebesar 11,3 gram, dibandingkan nasi yang hanya mengandung protein 2,66 gram. (DD16)