Aturan Baru Belum Lindungi Buruh Migran dari Perbudakan Modern
JAKARTA, KOMPAS - Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang baru diluncurkan pada dua bulan lalu dinilai masih memiliki banyak kelemahan karena belum sepenuhnya memerhatikan kepentingan pekerja. Aturan baru tersebut juga dinilai belum melindungi buruh migran dari perbudakan modern. Pengaturan turunan UU No.18/2017 dan penyusunan peta jalan baru diharapkan segera dapat dilakukan agar tidak terjadi multitafsir.
Ketua Indonesian Migrant Workers’ Union (IMWU) Sringatin mengatakan, kelemahan tersebut masih ada karena pemerintah tidak melibatkan organisasi pekerja migran dalam proses penyusunan. Padahal, mereka merupakan pihak yang paling mengetahui tentang kondisi nyata di lapangan.
“Kami berusaha melibatkan diri dalam pembahasan aturan terkait kami. Hal ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan LSM untuk meyakinkan peran organisasi buruh migran,” kata Sringatin dalam Seminar Nasional dan Diskusi Tematik “Menyongsong Era Baru Tata Kelola Perlindungan Buruh Migran Indonesia” yang diadakan oleh Migrant Care, di Jakarta, Senin (18/12). Tanggal 18 Desember merupakan peringatan hari Buruh Migran Internasional.
Ia menyayangkan, organisasi buruh migran bahkan tidak tahu mengenai kelanjutan Undang-Undang (UU) No. 18/2017 hingga diluncurkan. UU tersebut merupakan pengganti UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Diresmikan oleh DPR pada 25 Oktober 2017 lalu, proses pembahasan UU yang baru menghabiskan waktu sekitar tujuh tahun.
Ada beberapa hal yang masih menjadi perhatian Sringatin. Beberapa di antaranya, pihak swasta masih berperan dalam perekrutan tenaga kerja. Keterlibatan swasta dalam perekrutan dianggap sebagai momok dari mahalnya biaya keberangkatan yang harus ditanggung calon pekerja migran atau yang lebih dikenal sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI). Adapun perusahaan yang menyalahi perjanjian hanya mendapat sanksi berupa denda.
Pemenuhan syarat sebagai pekerja migran yang layak diberangkatkan harus melalui bebagai uji kompetensi dan sertifikasi. Hal tersebut dirasa memberatkan karena biaya pelatihan dan tes harus ditanggung peserta.
Selain itu, tutur Sringatin, perincian hak para pekerja belum dicantumkan dengan detil, seperti deskripsi pekerjaan yang akan dilakukan, standar gaji sesuai jenis pekerjaan, batasan jam kerja, dan fasilitas yang tersedia bagi pekerja di negara tujuan.
Pekerja juga menanggung dua jenis asuransi, yaitu BPJS Ketenagakerjaan dan asuransi untuk pekerja migran di negara tempat bekerja. Hal ini dirasa merugikan oleh Sringatin karena BPJS Ketenagakerjaan hanya dapat dirasakan oleh keluarga, sementara asuransi di luar negeri hanya diterima ketika penerima cacat ataupun meninggal.
Pemerintah juga belum mewajibkan negara tujuan pekerja untuk melegalkan keberadaan organisasi buruh migran dan membuat sistem pengaduan yang efektif. Pusat pengaduan dibutuhkan karena masih ditemukan pekerja yang diperlakukan semena-mena oleh penyewa jasa. Misalnya, ada kasus di Macau dimana pekerja hanya diberikan waktu dua hari untuk mencari tempat baru ketika dipecat.
“Intinya adalah UU tersebut masih belum mengakui pekerja migran sebagai pekerja modern yang berujung menjadi bentuk dari perbudakan modern,” ujar Sringatin.
Intinya adalah UU tersebut masih belum mengakui pekerja migran sebagai pekerja modern yang berujung menjadi bentuk dari perbudakan modern
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengungkapkan, perumusan aturan-aturan pelaksanaan UU No. 18/2017, pengaturan masa transisi dari UU yang lama, dan penyusunan peta jalan baru arah perlindungan buruh migran Indonesia harus dilakukan secara transparan dan inklusif. Dengan demikian, aspirasi buruh migran dan pihak yang terkait mendapat manfaat yang maksimal.
Buruh migran, ujar Wahyu, merupakan salah satu faktor utama penggerak ekonomi global. Kendati demikian, masih banyak kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi. Misalnya, penyiksaan dialami oleh Suyantik, asisten rumah tangga, yang bekerja di Malaysia dan praktek perbudakan yang dialami oleh buruh migran perempuan Indonesia di industri pengolahan makanan berbasis sarang burung walet di Malaysia.
Berdasarkan dara Migrant Care tahun 2017, masih ada sekitar 281 buruh migran yang terancam hukuman mati di seluruh dunia. Secara spesifik, jumlah pengiriman mayat TKI asal NTT sebanyak 77 orang. Sementara itu, 650.000 buruh migran berada dalam ancaman pengusiran paksa, di antaranya, 37.000 orang ditangkap dan dideportasi dari Malaysia, 300 orang disekap di Arab Saudi, serta 30.000 orang bekerja secara ilegal di Timur Tengah. Sekitar 15.000 orang di Amerika Serikat terancam dideportasi akibat kebijakan politik anti-imigran.
“Semoga UU membuka ruang pembaruan tata kelola migrasi tenaga kerja yang sebelumnya berbasis pada aktivitas bisnis ekonomi menjadi bentuk pelayanan publik negara,” kata Wahyu. Turunan peraturan berdasarkan UU diharapkan menjabarkan dengan jelas tanggung jawab negara, mulai dari mekanisme perlindungan yang disediakan mulai dari pemerintah desa, kabupaten atau kota, provinsi, hingga pusat.
Wahyu juga mendesak agar pemerintah segera mencabut kebijakan-kebijakan penempatan pekerja migran telah diterbitkan sebelumnya. Kebijakan tersebut pada umumnya dibuat berdasarkan UU yang lama sehingga dinilai masih bertentangan dengan agenda perlindungan pekerja migran.
Deputi Bidang Perlindungan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Teguh Hendro Cahyono menyatakan, bekerja di luar negeri adalah hak warga. Merupakan tugas negara untuk memfasilitasi agar mereka dapat bekerja karena UU Negara RI menjamin penghidupan yang layak.
“Ekspektasi masyarakat kepada UU yang baru dan banyak hal yang kami kaji sebagai pelaksana dari kebijakan,” ujar Teguh. Ia melanjutkan, pemerintah tidak menganggap para pekerja sebagai aset penghasil devisa semata.
Adapun pekerja migran merupakan penyumbang devisa negara terbesar keenam, setelah hasil ekspor kelapa sawit, pariwisata, ekspor tekstil, ekspor migas, dan ekspor batubara. Indonesia juga merupakan salah satu dari lima besar negara pengirim pekerja migran.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada Februari 2017, jumlah pekerja migran adalah 131,55 juta orang. Mereka terdiri dari lulusan SD, sebesar 54,52 juta orang (41,44 persen), SMP 23,90 juta orang (18,17 persen), SMA 22,07 juta orang (16,78 persen), SMK 15,92 juta orang (11,34 persen), Diploma-I, II, dan III 3,93 juta orang (2,99 persen), dan universitas 12,20 juta orang (9,27 persen).
Beberapa hal yang menjadi perhatian pemerintah adalah, integrasi antarlembaga secara proposional dalam pelaksanaan UU No. 18/2017 dan pemberdayaaan aparat desa untuk mendata warga yang bekerja keluar negeri. Selain itu, pemerintah juga memikirkan tentang penegakan hukum yang lebih tegas. “Seburuk apapun UU tersebut, kami akan membuat regulasi turunan dan teknis yang terbaik,” kata Teguh.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Hery Sudarmanto menambahkan, dalam pembahasan tata kelola, pemerintah telah membahas beberapa unsur penting berdasarkan UU itu pada bulan November lalu. Unsur-unsur tersebut, di antaranya memperkuat peran pemerintah daerah dan Atase Ketenagakerjaan (Atnaker) yang merupakan perwakilan diplomatik Indonesia di luar negeri, pembahasan asuransi BPJS Ketenagakerjaan, serta layanan satu atap bagi TKI.
Deputi II Bidang Kajian dan Pengelolaan Program Prioritas Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Yanuar Nugroho menambahkan, strategi nasional dalam menangani masalah pekerja migran harus diselesaikan dalam kurun waktu dua tahun. Hal ini karena 2019 akan menjadi tahun pemilihan presiden (pilpres) baru sehingga kebijakan pemerintah yang sekarang dikhawatirkan akan berubah ke depannya.
“Perlu leadership dari suatu lembaga yang mengkoordinasikan gerakan lintas lembaga, dalam penyusunan regulasi, kelembagaan, dan akuntabilitas,” ujar Yanuar. Menurut dia, dorongan yang kuat dibutuhkan agar peraturan turunan dari UU No. 18/2017 menjadi lebih bermakna dan sesuai konteks. (DD13)