HRW: Militer Bakar Puluhan Desa Rohingya
YANGON, SENIN — Militer Myanmar dituding telah membakar puluhan rumah warga etnis minoritas Rohingya dalam beberapa hari sebelum dan setelah Pemerintah Myanmar menandatangani kesepakatan pemulangan para pengungsi dengan Bangladesh.
Informasi itu disampaikan oleh Human Rights Watch (HRW), Senin (18/12). Kelompok pegiat kemanusiaan yang berbasis di New York, Amerika Serikat (AS), itu mendasari keterangannya dengan menganalisis gambar hasil rekaman satelit.
Disebutkan, dari citra satelit diketahui bahwa semua rumah atau bangunan milik warga Rohingya di 40 desa telah dimusnahkan antara Oktober dan November sehingga total menjadi 354 desa atau kampung telah dimusnahkan sebagian atau seluruhnya sejak akhir Agustus.
Puluhan desa yang dihuni warga etnis minoritas Rohingya itu dibakar pada pekan yang sama dengan ditandatanganinya nota kesepakatan proses repatriasi pengungsi oleh Myanmar dan Bangladesh pada 23 November lalu.
Bahkan puluhan desa yang dihuni warga etnis minoritas Rohingya itu dibakar pada pekan yang sama dengan ditandatanganinya nota kesepakatan (MOU) untuk proses repatriasi para pengungsi oleh Myanmar dan Bangladesh pada 23 November lalu.
Salah satu kesepakatan dalam MOU tersebut ialah soal proses repatriasi warga Rohingya dari kamp-kamp pengungsi darurat di wilayah Bangladesh harus dilakukan segera dalam dua bulan ke depan sejak penandatanganan berkas.
”Pemusnahan desa-desa Rohingya oleh tentara Burma (Myanmar) terjadi dalam beberapa hari sebelum dan setelah penandatanganan kesepakatan repatriasi dengan Bangladesh,” kata Brad Adams, Direktur HRW Asia, dalam laporannya yang dirilis pada Senin (18/12).
Adams menilai MOU yang diteken Myanmar itu hanya sebuah pencitraan tanpa diikuti rasa tanggung jawab. Sebenarnya Myanmar tidak sedang serius untuk menerima pemulangan dengan selamat para pengungsi Rohingya itu.
MOU yang diteken Myanmar hanyalah sebuah pencitraan tanpa diikuti rasa tanggung jawab.
Serangan mematikan oleh milisi Rohingya pada 25 Agustus telah membuat militer Mynamar menggelar operasi militer besar-besaran di wilayah Negara Bagian Rakhine yang dihuni oleh minoritas Muslim Rohingya.
Berdasarkan laporan terbaru, sekitar 700.000 warga Rohingya melarikan diri ke perbatasan dan menyeberang ke wilayah Bangladesh. Sekitar 6.700 warga Rohingya lainnya dibunuh dalam bulan pertama operasi militer untuk memerangi milisi Rohingya di Rakine, akhir Agustus lalu itu.
Organisasi amal medis Dokter Lintas Batas (MSF) mengungkapkan, jumlah kematian itu merupakan angka tertinggi sejak kekerasan pecah pada 25 Agustus, yang kemudian memicu gelombang pengungsi besar-besaran ke Bangladesh.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan AS telah mendeskripsikan operasi militer Myanmar itu sebagai ”pembersihan etnis” atas minoritas Muslim Rohingya meski tanpa merinci.
”Setidaknya 6.700 warga Rohingya, menurut perkiraan paling sederhana, telah terbunuh, termasuk sekitar 730 anak di bawah usia lima tahun,” kata MSF dalam keterangan mereka sebelumnya.
Menanggapi tekanan internasional, pemimpin de facto pemerintah sipil Myanmar Aung San Suu Kyi telah menandatangani kesepakatan dengan Bangladesh pada akhir November untuk memulai pemulangan pengungsi Rohingya dalam waktu dua bulan.
Namun, HRW mengatakan sulit untuk percaya bahwa penandatanganan MOU bersama dengan Bangladesh soal repatriasi pengungsi Rohingya itu telah dilakukan Myanmar dengan penuh rasa tanggung jawab.
Aung San Suu Kyi dan timnya telah menandatangani kesepakatan repatriasi tanpa memberi jaminan perlindungan bagi mereka yang akan pulang.
”Myanmar telah melakukan permainan yang paling sinis. Suu Kyi dan timnya telah menandatangani kesepakatan repatriasi tanpa memberi jaminan perlindungan bagi mereka yang akan pulang,” kata Phil Robertson, Wakil Direktur Divisi HRW Asia, kepada kantor berita AFP.
Fakta di lapangan, kata Robertson, pasukan keamanan Myanmar justru melanjutkan kampanye mereka untuk membakar desa-desa yang dihuni minoritas Rohingya.
Kelompok-kelompok bantuan kemanusiaan mengatakan mereka akan memboikot sebuah kamp baru yang didirikan di Rakhine utara.
Militer dan pemerintah sipil Myanmar telah berulang kali menyangkal telah melakukan pembantaian warga dan pemusnahan desa-desa Rohingya.
Suu Kyi telah menjelaskan sebelumnya bahwa operasi keamanan di Rakhine dihentikan sejak awal September. Namun, laporan HRW justru menunjukkan kekerasan baru pada Oktober-November.
Pemerintah Myanmar sebelumnya menyalahkan kelompok militan Rohingnya sebagai pelaku pembakaran desa-desa yang dihuni oleh warga minoritas Muslim tersebut.
Pemerintah Myanmar sebelumnya menyalahkan kelompok militan Rohingnya sebagai pelaku pembakaran desa-desa yang dihuni oleh warga minoritas Muslim tersebut.
Juru bicara pemerintahan Myanmar, Zaw Htay, meragukan keterangan soal banyaknya jumlah desa atau permukiman warga Rohingya yang hancur. Sama seperti yang dilakukan militer, dia juga membantah laporan tersebut.