Jerusalem, OKI, Indonesia Jalan Masih Panjang
Pernyataan sangat kontroversial Presiden AS Donald Trump hari Rabu (6/12)—akan memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem dan mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel— ibarat dentangan lonceng demikian keras di pagi hari yang membangunkan semua orang dari tidurnya.
Dentangan “Lonceng Trump” itu tidak hanya membangunkan orang tetapi mendadak sontak menyadarkan semua pihak bahwa masih ada persoalan penting, bahkan sangat penting berkait dengan proses perdamaian Timur Tengah, perdamaian antara Israel dan Palestina, yang belum selesai. Sekurang-kurangnya ada lima persoalan. Kelima persoalan itu adalah masalah pengungsi, perbatasan, keamanan, air, dan Jerusalem. Perdamaian antara Israel –Palestina menuntut penyelesaian masalah-masalah itu.
Jerusalem adalah persoalan yang paling sulit diselesaikan, karena berbagai alasan. Jerusalem—kota tiga agama samawi: Yahudi, Kristen, dan Islam—adalah masalah yang sangat atau bahkan paling penting, sekaligus peka. Karena itu, begitu Trump secara sepihak menyatakan Jerusalem adalah ibu kota Israel, reaksi penentangan muncul dari segala penjuru dunia. KTT Luar Biasa OKI yang diselenggarakan (Rabu, 13/12) di Istanbul, Turki adalah salah satu bentuk reaksi nyata, terorganisasi, terhadap pernyataan Trump itu.
Jerusalem—kota tiga agama samawi: Yahudi, Kristen, dan Islam—adalah masalah yang sangat atau bahkan paling penting, sekaligus peka.
KTT Luar Biasa OKI menghasilkan Deklarasi Istanbul, “Kebebasan untuk al-Quds,” menentang dan mengecam kebijakan AS mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan rencana pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem; dan menyerukan dunia untuk mengakui Jerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina yang saat ini diduduki oleh Israel. Deklarasi historis OKI ini secara kategoris menolak usaha AS dan Israel untuk mengubah status hukum al-Quds (Jerusalem) dan mengajak komunitas internasional untuk menuruti serta mentaati hukum internasional.
Politik atau Jalanan
Dari sudut pandang positif, KTT Luar Biasa OKI dengan deklarasinya meningkatkan bobot diplomatik OK dalam politik internasional. Sebab, ini kali yang pertama dalam beberapa tahun terakhir, para anggota OKI bersepakat secara jelas dan tegas menolak posisi AS. Mereka secara kolektif juga menolak AS sebagai mediator netral dalam proses perdamaian untuk masa depan. Dengan sikap semacam itu, akan membuka masuknya aktor lain sebagai “mediator netral” dalam proses perdamaian Timur Tengah. Kalau hal itu benar-benar terjadi, maka akan mengubah peta global peranan AS di Timur Tengah, karena dengan demikian AS “dicabut” dari peran hegemoniknya seperti yang diperankan selama ini.
Pertanyaannya tentu, mungkinkah itu terjadi? Sampai ke mana Deklarasi Istanbul itu akan menggelinding? Atau pertanyaan lainnya, apakah Deklarasi Istanbul itu memiliki kekuatan politik untuk menekan AS dan Israel? Ataukah kekuasan massa di jalan yang akan memaksa AS mengubah kebijakannya?
Tentu, sikap OKI (lewat deklarasinya) tidak bisa berhenti di Istanbul tetapi harus dibawa ke PBB, agar AS dan Israel mendapat tekanan internasional yang lebih kuat. Dibawa ke PBB pun tidak mungkin ke DK PBB, karena di sana AS memiliki hak veto, yang tentu akan digunakan bila keputusan DK PBB merugikan Israel. Selain itu, ketua DK PBB sekarang ini adalah giliran Jepang, yang adalah sekutu AS.
Oleh karena itu, sikap OKI (Deklarasi Istanbul) harus dibawa ke MU PBB dan mendapat dukungan negara-negara anggota dari Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Sidang Umum PBB kiranya menjadi “tumpuan akhir” perjuangan negara-negara OKI untuk membela Palestina. Tentu, terlebih dahulu, perlu digalang dukungan dari negara-negara anggota. Misalnya, negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok. Pertanyaanya adalah mampukan Ketua GNB sekarang ini, Venezuela yang sedang mengalami krisis kepemimpinan, politik, dan ekonomi demikian parah, merangkul seluruh anggota GNB? Presiden Venezuela, Nicolás Maduro Moros hadir dalam KTT Luar Biasa OKI. Apakah Maduro memiliki kemampuan meyakinkan para pemimpin negara anggota GNB?
Uni Eropa, bisa menjadi tumpuan negara-negara OKI untuk memperjuangkan sikap mereka di SU PBB. Sampai saat ini, negara-negara Uni Eropa (UE), dimotori Perancis dan Jerman menentang keras kebijakan Trump atas Jerusalem, ditambah Inggris (yang sedang mengurus perceraiannya dengan UE). Rusia dan China pun memiliki sikap yang sama. Mereka semua menyatakan bahwa langkah AS provokatif dan salah sehingga dapat menghancurkan usaha-usaha perdamaian dan memicu meluasnya kekerasan.
Akan tetapi, apakah sikap keras China, misalnya, benar-benar menunjukkan dukungannya pada Palestina dan benar-benar mendukung status quo Jerusalem atau hanya karena persaingannya dengan AS. Demikian pula Rusia, yang di Timur Tengah juga bersaing keras dengan AS dalam memperebutkan pengaruhnya. Tidak diakuinya AS sebagai mediator netral oleh OKI, membuka peluang bagi Rusia untuk masuk.
Usaha untuk mengajak serta UE, sudah dilakukan Menlu RI Retno LP Marsudi. Menlu Retno bertemu Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Federica Mogherini, di Brussels, Belgia. Dalam kesempatan itu, Mogherini menyatakan UE tidak akan mengikuti kebijakan Trump. “UE memiliki posisi jelas dan bersatu. Kami percaya hanya solusi realistik terhadap konflik Israel dan Palestina yakni solusi dua negara dan dengan Jerusalem sebagai ibu kota kedua negara, Israel dan Palestina,” tegas Federica yang juga menegaskan seluruh 28 negara anggota solid.
Peran Indonesia
Jalur UE, sepertinya lebih menjanjikan. Oleh karena, sebenarnya, ada persoalan yang lebih rumit di dalam tubuh OKI (atau negara-negara Timur Tengah) sendiri. KTT Luar Biasa OKI, memang, dihadiri oleh 57 negara anggota termasuk Indonesia. KTT juga menghasilkan Deklarasi Istanbul, “Pembebasan al-Quds” yang mereka mengecam keputusan Trump soal Jerusalem. Akan tetapi, di balik semua itu terbaca adanya “political divisions” di antara negara-negara OKI, terutama di antara para pemimpinnya. Pernyataan Presiden Iran Hassan Rouhani mengirimkan pesan jelas tentang adanya “political divisions” tersebut.
“Beberapa negara di kawasan ini bekerja sama dengan AS dan rezim zionis serta menentukan nasib Palestina,” kata Rouhani (Kompas, 14/12). Pernyataan Rouhani tersebut cerminan adanya ketidak-saling percaya dalam tubuh OKI atau tidak solidnya OKI.
Meskipun Turki memprakarsai KTT Luar Biasa ini dan bersuara lantang terhadap kebijakan Trump, namun perlu dicatat bahwa Ankara hingga kini masih tetap menjalin hubungan diplomatik dengan Tel Aviv. Kedua negara tetap mempertahankan hubungan ekonomi. Pada tahun 2016, ekspor Turki ke Israel sekitar 2,5 miliar dollar AS dan pada 10 bulan pertama tahun 2017, ekspor Turki naik 14 persen. Kedua negara juga merundingkan penyaluran gas Israel lewat Siprus ke Turki (Deutsche Welle, 13/12).
Sikap Turki yang seperti sangat mendukung Palestina tidak bisa dipisahkan dari urusan Fethullah Gulen (yang dituding sebagai otak kudeta gagal Juli tahun lalu, dan kini tinggal di AS); jadi sikap tegasnya lebih bernuansa sebagai “protes” terhadap AS dan lebih untuk konsumsi politik dalam negeri.
Arab Saudi dan Mesir, tidak seperti negara-negara lain yang delegasinya dipimpin pemimpin negara/pemimpin pemerintahan. Para pemimpin negara/pemerintahan yang hadir President Indonesia Joko Widodo, Presiden Iran Hassan Rouhani, Raja Yordania Abdullah II, Presiden Lebanon Michel Aoun, Emir Kuwait Sabah al-Ahmad al-Jaber al-Sabah, Presiden Afganistan Ashraf Ghani, PM Pakistan Shahid Khaqan Abbasi, Presiden Banglades Abdul Hamid, Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev, PM Malaysia Najib Razak, Sultan Brunei Hasanal Bolkiah, PM Djibouti Abdoulkader Kamil Mohamed, Presiden Sudan Omar al-Bashir, Emir Qatar Tamim bin Hamad al-Thani, PM Irak Ibrahim al-Jaafari dan sebagainya.
Sementara, Arab Saudi dan Mesir bersama 23 negara anggota OKI lainnya mengirim delegasi tingkat lebih rendah. Delegasi Arab Saudi “hanya” dipimpin Menteri Negara urusan Luar Negeri Nizar bin Obaid dan delegasi Mesir hanya dipimpin Menlu Sameh Shoukry, bukan dipimpin langsung oleh Presiden Abdel Fattah el-Sisi.
Pertanyaannya tentu, mengapa Arab Saudi tidak diwakili sekurang-kurangnya Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS)? Adakah hal itu berkait dengan hubungan dekatnya Arab Saudi dan AS, hubungan dekat antara MBS dan menantu Trump yang juga juga utusan Timur Tengah Jared Kushner. Arab Saudi, yang kini tengah melakukan reformasi besar-besaran, juga terlibat dalam perang di Yaman, menghadapi kelompok terorisme mendapat dukungan AS. Presiden Trump dan Raja Salman bin Abd al Aziz menyetujui “Kemitraan Strategik untuk Abad ke-21”, pada Mei lalu, saat Trump ke Riyadh. Mereka juga menyepakati “Visi Strategik Bersama untuk Kerajaan Arab Saudi dan AS,” dan AS memberikan bantuan persenjataan pada Arab Saudi dalam perang Yaman. Saat Arab Saudi menjadi sasaran serangan rudal Yaman, 4 November 2017, Gedung Putih menyatakan, “Kami mengecam aktivitas rezim Iran dan berpihak pada Arab Saudi dan seluruh mitra Teluk kami untuk melawan agresi dan pelanggaran hukum internasional regim Iran” (Christopher M. Blanchard, Saudi Arabia: Background and U.S. Relations, November 22, 2017). Kiranya hal ini menjadi pertimbangan, akan kesungguhan Arab Saudi dalam KTT Luar Biasa OKI.
Demikian pula Mesir, juga mendapat topangan persenjataan dari AS, untuk menghadapi terorisme dan kelompok-kelompok radikal. Pemerintah Trump pun ingin memberikan bantuan pada Mesir untuk mengembangkan kontra-terorisme dan pemberontak di Sinai. Trump ingin memasukkan Mesir dalam bagian kebijakan Timur Tengahnya (Jeremy M. Sharp, Egypt: Background and U.S. Relations, March 24, 2017).
Perlu dicatat pula, hubungan empat kekuatan di Timur Tengah—Arab Saudi, Iran, Turki, dan Mesir—dapat dikatakan tidak harmonis. Arab Saudi bersaingan dengan Iran untuk memperebutkan wilayah pengaruh dan kepemimpinan di kawasan (menyangkut masalah Irak, Suriah, dan Yaman); hubungan Iran dan Turki juga tidak bagus-bagus amat, dan Turki dengan Mesir kurang cocok; Mesir dengan Iran pun kurang baik; Mesir lebih condong ke Arab Saudi. Sikap tegas Iran dalam masalah Jerusalem, lebih karena hubungan tidak baiknya dengan AS dan permusuhannya dengan Israel. Pertanyaannya adalah mungkinkah Dunia Arab bersatu tanpa Arab Saudi atau Mesir?
Melihat konfigurasi seperti itu, terbuka peluang besar bagi Indonesia untuk berperan lebih dalam mendorong perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina dan mempertahankan penyelesaian status Jerusalem. Nilai lebih Indonesia adalah memiliki hubungan baik dengan negara-negara kunci di Timur Tengah dan juga UE serta GNB yang bisa digerakkan dalam SU PBB.
Meskipun, peran itu tidak ringan dan masih harus dilakukan dengan menempuh perjalanan panjang yang tidak mulus, yang berkelok, naik dan turun tajam. Tetapi, inilah peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan pamornya di panggung internasional. Degan demikian, benar guyonan selama ini bahwa yang setia pada Palestina hanya tiga negara: Yordania, Indonesia, dan Palestina.