Saat seorang staf Humas PT Donggi-Senoro Liquefied Natural Gas, Rahmat Azis, mendekati pintu kandang, burung maleo di dalamnya kocar-kacir. Ada yang sebelumnya bertengger di onggokan kayu langsung turun dan nyelonong ke ruang kecil yang tersambung dengan kandang. Maleo yang mencakar-cakar pasir pun panik lari untuk bersembunyi.
Hanya satu maleo (Macrocephalon maleo) yang tetap tenang bertengger di kayu di dalam kandang. Ia menoleh sebentar ke arah pintu kandang, tetapi tak berpindah tempat.
Setelah situasi tenang, perlahan burung-burung tersebut kembali ke kandang utama. Ada yang mencakar-cakar pasir, ada yang berkejaran.
Pemandangan tersebut tersaji di Maleo Center, penangkaran maleo yang dikelola PT Donggi-Senoro Liquefied Natural Gas (DS-LNG) di Desa Uso, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, Selasa (21/11). Sebanyak 12 maleo berumur tiga bulan berada di dalam kandang penangkaran.
Menurut Rahmat Azis, ke-12 maleo itu sengaja tidak dilepasliarkan ke habitat asli mereka untuk percobaan. ”Kami mau mengetes, apakah maleo tersebut bisa bertelur di habibat yang dibuat menyerupai habibat asli mereka. Kalau berhasil, ini kabar baik untuk konservasi maleo,” ujarnya.
Ke-12 maleo di penangkaran itu merupakan sisa dari penetasan telur menggunakan inkubator. Dengan tidak menghitung ke-12 maleo itu, Maleo Center telah melepasliarkan 38 ekor ke habibat asli di Suaka Margasatwa Bakiriang, Kecamatan Moilong, Kabupaten Banggai. Telur dipasok dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulteng yang disita dari warga setempat.
Dengan inkubator, tingkat keberhasilan penetasan tinggi. Penetasan gagal kalau telurnya memang sudah rusak saat disita dari warga.
Maleo Center berdiri sejak 2013 sebagai bagian dari perhatian perusahaan terhadap konservasi maleo, satwa langka di Sulawesi yang terancam punah.
Rahmat menyatakan, penangkaran menjadi wadah edukasi kepada warga dan anak sekolah. Dengan kehadiran penangkaran, kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi maleo diharapkan terus meningkat. Pada akhir pekan, banyak siswa dari berbagai jenjang pendidikan di Banggai mengunjungi lokasi penangkaran.
Penanda
Maleo salah satu satwa endemis langka Sulawesi yang berstatus terancam dan karena itu dilindungi. Di Sulteng, maleo tersebar hampir merata di hutan-hutan lebat yang ada di Kabupaten Tolitoli, Parigi Moutong, Morowali Utara, Banggai, dan hutan Taman Nasional Lore Lindu di daerah Sigi. Khusus di Banggai, habitat maleo ada di dalam kawasan Suaka Margasatwa Bakiring di Kecamatan Moilong, sekitar 35 kilometer dari lokasi pabrik PT DS-LNG.
Corak khas maleo terletak pada jambul atau tanduk ”daging” berwarna hitam di bagian atas kepalanya. Jambul tersebut salah satunya berfungsi untuk mendeteksi panas bumi. Bagi maleo, panas bumi sangat penting karena hawa panas bumi bermanfaat untuk menetaskan telur. Maleo tidak mengerami telurnya. Pasir atau tanah yang terpapar panas bumi menjadi tempat maleo mengubur telur. Telur maleo berukuran besar, 5 sampai 8 kali lebih besar dari ukuran telur ayam kampung.
Bagi maleo, panas bumi sangat penting karena hawa panas bumi bermanfaat untuk menetaskan telur. Maleo tidak mengerami telurnya. Pasir atau tanah yang terpapar panas bumi menjadi tempat maleo mengubur telur.
Dengan proses alami tersebut, anak maleo bisa keluar dari cangkang telur dan langsung terbang mencari tempat aman.
Selain jambul, maleo dicirikan berwarna bulu putih keabuan dari leher hingga kedua pahanya. Warna itu mencolok karena sebagian besar bulu maleo berwarna hitam pekat.
Maleo yang monogami sangat sensitif dengan kebisingan atau kegaduhan. Pada habitat-habitat asli yang saat ini mudah diakses manusia, dipastikan maleo jarang kembali ke sana. Dengan karakternya yang alergi kebisingan, maleo sebetulnya menjadi penanda status hutan. Jika maleo masih ada, hutan dipastikan masih utuh. Jika maleo terus berkurang atau tidak ada sama sekali, artinya hutan yang jadi habitat maleo sudah rusak.
Dengan karakternya yang alergi kebisingan, maleo sebetulnya menjadi penanda status hutan. Jika maleo masih ada, hutan dipastikan masih utuh. Jika maleo terus berkurang atau tidak ada sama sekali, artinya hutan yang jadi habitat maleo sudah rusak.
Suaka margasatwa saat ini terus dikepung oleh permukiman warga dan ancaman ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Kepala Satuan Pengelolaan Hutan Konservasi Bakiriang I Nyoman Ardika menyebutkan, di Suaka Margasatwa Bakiriang diperkirakan masih ada 40 pasang maleo. Hal itu terpantau saat mereka turun bertelur pada musim panas, biasanya mulai Oktober hingga Maret, di beberapa lokasi di pantai.
Perburuan telur dan burung maleo masih marak dilakukan.
Meski tak menyebutkan angka, Nyoman mengakui perburuan telur dan burung maleo masih marak dilakukan. Namun, dengan penyebarluasan informasi konservasi dan penyuluhan yang dilakukan pihak berwenang, pemahaman masyarakat makin meningkat.
”Langkah konservasi yang dilakukan berbagai pihak secara tidak langsung memberikan pendidikan kelestarian terhadap satwa endemik kepada masyarakat,” ucap Nyoman.