Milenial, Segeralah Beli Properti!
JAKARTA, KOMPAS — Generasi milenial berusia produktif didorong untuk segera berinvestasi dalam bidang properti. Lahan yang semakin terbatas dan harga rumah yang semakin melambung di Indonesia membuat prospek untuk mendapatkan rumah hunian semakin sulit. Pembelian atau penyewaan apartemen dapat menjadi salah satu cara dalam mengatasi masalah kekurangan hunian.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2010 menunjukkan, terdapat kekurangan 13,5 juta rumah (backlog) dengan 60 persen merupakan masyarakat berpenghasilan rendah. Kebutuhan rumah baru berkisar 700.00-800.000 unit, sedangkan jumlah pasokan tidak mencapai setengahnya.
Masih mengutip data BPS, jumlah penduduk Indonesia pada 2017 diproyeksikan mencapai 261,89 juta orang. Dari jumlah itu, 32,6 persen atau 85 juta di antaranya adalah generasi milenial. Kesulitan rumah akan melanda generasi milenial kelahiran tahun 1980-2000 yang mulai masuk usia produktif dengan terbatasnya lahan dan meningkatnya harga tanah.
Apalagi, pertumbuhan gaji atau pendapatan yang berkisar 5-10 persen per tahun tidak mampu mengejar laju kenaikan harga rumah yang berkisar 20-30 persen per tahun (Kompas, 19 Desember 2017).
”Jumlah mereka (generasi milenial) bisa naik dua kali lipat. Potensi ini perlu disiapkan agar (masalah penyediaan) tidak semakin besar,” ujar Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN) Maryono, dalam diskusi bertema ”Dukungan Akses Perbankan terhadap Program Sejuta Rumah” yang diselenggarakan Kompas bekerja sama dengan BTN, di Jakarta, Selasa (19/12).
Pertumbuhan gaji atau pendapatan yang berkisar 5-10 persen per tahun tidak mampu mengejar laju kenaikan harga rumah yang berkisar 20-30 persen per tahun.
Kepala Perencana Keuangan OneShildt Financial Planning Agustina Fitri menyebutkan, generasi milenial perlu mulai merencanakan keuangan sejak dini untuk membeli rumah. Adapun jenis rumah disarankan berlokasi di tempat yang didukung sarana transportasi umum karena mereka memiliki tingkat mobilitas yang tinggi.
Akan tetapi, berdasarkan survei yang dilakukan OneShildt Financial Planning, ada beberapa faktor penyebab mereka belum tertarik membeli properti, misalnya perubahan prioritas gaya hidup.
”Mereka lebih mengutamakan experience, seperti jalan-jalan,” ujar Fitri. Faktor lain, generasi milenial masih fokus pada pemenuhan kebutuhan saat ini, harga rumah dinilai terlalu mahal, dan tidak ingin berutang.
Dalam survei tersebut juga ditemukan, hanya 17 persen kaum milenial yang menyatakan telah memiliki rumah sendiri. Sementara itu, yang lain menyatakan masih tinggal bersama orangtua atau mengekos.
Generasi milenial masih fokus pada pemenuhan kebutuhan saat ini, harga rumah dinilai terlalu mahal, dan tidak ingin berutang.
Beberapa solusi disarankan oleh Fitri untuk kaum milenial yang ingin mulai berinvestasi. Solusi itu antara lain mencari rumah dengan harga sesuai kemampuan ataupun membeli rumah sesuai penghasilan saat ini untuk kemudian dibangun perlahan.
”Segera investasi sebelum menikah karena menabung setelah menikah susah dilakukan,” lanjutnya.
Dengan memiliki rumah saat masih berusia produktif, milenial tidak akan menghabiskan sepertiga penghasilannya untuk membayar sewa dan memiliki jaminan di hari tua. Mereka juga akan memiliki kebanggaan, kemandirian, dan mempercepat peningkatan nilai bersih kekayaan.
Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia Ferry Salanto menjabarkan, hunian bertingkat telah menjadi keniscayaan di kota besar. Pengembangan rumah di daerah perkotaan dan pinggir telah memiliki kecenderungan tersebut karena harga tanah tinggi.
”Tidak dimungkinkan lagi untuk bangun rumah tapak yang menjadi sebuah kemewahan sekarang. Kota di Indonesia sudah mulai seperti kota-kota di luar negeri,” ujar Ferry.
Selama ini, masyarakat Indonesia cenderung memilih rumah tapak dengan mempertimbangkan kenyamanan bersosialisasi. Kondisi perumahan dan gaya hidup generasi sekarang yang telah berubah membuat hunian bertingkat mulai menjadi pilihan.
Akan tetapi, tuturnya, selama dua tahun terakhir jumlah penjualan apartemen mulai turun. Berdasarkan data Colliers International, rasio kepemilikan apartemen di Jakarta hanya 2 persen dari jumlah penduduk.
Tidak dimungkinkan lagi untuk bangun rumah tapak yang menjadi sebuah kemewahan sekarang. Kota di Indonesia sudah mulai seperti kota-kota di luar negeri.
Hal ini menunjukkan, keinginan generasi milenial untuk tinggal di apartemen tidak sebanding dengan tingkat penjualan apartemen. Oleh karena itu, peluang pemberian pinjaman yang terjangkau oleh bank untuk pembelian apartemen masih besar. ”Suku bunga pinjaman yang rendah adalah kunci agar penjualan bisa berhasil,” lanjut Ferry.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata menyebutkan, rumah yang dibayangkan masyarakat tidak harus berupa rumah tapak. Pemerintah juga berupaya membuat rumah yang lebih fleksibel, seperti yang dikhususkan untuk disewa.
”Generasi milenial lebih fokus pada jalan-jalan. Itu mencerminkan akan ada variasi pilihan jenis tempat tinggal,” ucap Isa.
Menurut dia, pemahaman bahwa semua orang harus memiliki rumah akan membuat permintaan kebutuhan rumah terus tinggi. Penyewaan merupakan salah satu cara untuk mengendalikan jumlah kebutuhan dan harga rumah yang terus melambung.
Kebutuhan dasar
Adapun kebutuhan rumah merupakan kebutuhan dasar. Hak masyarakat Indonesia dijamin di dalam undang-undang, salah satunya pada Pasal 40 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 11 UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Generasi milenial lebih fokus pada jalan-jalan. Itu mencerminkan akan ada variasi pilihan jenis tempat tinggal.
Selain itu, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 dan 2020-2024 juga dinyatakan, setiap orang menempati rumah layak huni. Pemenuhan rencana itu dilaksanakan pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam Program Sejuta Rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan non-MBR.
Program ini dicanangkan pada tahun 2015 untuk mendorong pembangunan perumahan dan membuka peluang investasi yang lebih besar di sektor properti. Hingga awal Desember, pemerintah menyatakan telah membangun 765.120 unit.
Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Lana Winayanti mengatakan, pemerintah memberikan bantuan pembiayaan perumahan melalui program kredit pemilikan rumah bersubsidi melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan, subsidi selisih bunga, dan subsidi bantuan uang muka.
Terdapat empat kendala yang ditemui pemerintah dalam memenuhi kebutuhan rumah. Pertama, jumlah tanah yang semakin sedikit dan harga yang semakin naik. Selain itu, tidak semua pemerintah daerah memiliki rencana tata ruang yang baik. Lalu, pengurusan izin yang lama sehingga biaya membengkak serta kualitas prasarana, sarana, dan utilitas yang masih rendah.
”Di setiap kendala ini sudah dilakukan intervensi oleh pemerintah dalam bentuk regulasi,” kata Lana.
Pemerintah juga memperbaiki sistem pendataan MBR dan kajian jenis rumah yang sesuai oleh pemerintah daerah. Hal tersebut dilakukan karena pemerintah sadar, program pengadaan rumah dengan aturan yang seragam (one size fits all) tidak bisa diterapkan di semua daerah.
Lana mengungkapkan, beberapa strategi diterapkan agar program berjalan lancar. Salah satunya adalah meningkatkan efisiensi tanah dengan membuat hunian bertingkat, khususnya di daerah perkotaan. (DD13)