Menyiapkan Generasi Masa Depan yang Berkualitas
Sejak 2015 Indonesia memasuki periode bonus demografi, dan akan mencapai puncaknya pada 2030. Pada masa itu, populasi penduduk usia produktif, usia 15-64 tahun, mencapai 70 persen dari total penduduk, dan sisanya adalah penduduk usia tidak produktif, usia kurang dari 14 tahun dan lebih dari 65 tahun.
Bonus demografi tersebut tentu bukan sekadar jumlah, tetapi mensyaratkan penduduk usia produktif yang benar-benar berkualitas. Kualitas di sini diukur dari faktor pendidikan, keterampilan, dan juga kesehatan.
Dilihat dari sektor pendidikan, jalan masih panjang untuk waktu yang tinggal 12 tahun lagi. Jika kita lihat struktur angkatan kerja Indonesia saat ini, dari 122,38 juta angkatan kerja, sebanyak 71,5 juta orang berpendidikan SMP ke bawah dan sebanyak 19,8 juta orang berpendidikan SMA.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada Agustus 2016, tenaga kerja Indonesia lulusan pendidikan tinggi hanya 12,24 persen, bandingkan dengan Malaysia yang 20 persen.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi ketertinggalan itu adalah dengan program wajib belajar 9 tahun, dilanjutkan dengan program wajib belajar 12 tahun. Pemerintah juga membagikan Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk menyasar anak-anak putus sekolah atau tidak sekolah.
Upaya tersebut masih jauh dari sempurna. Dari sekitar 4,3 juta anak yang gagal mengenyam pendidikan dasar 9 tahun pada 2016, belum semua bisa dientaskan. Selain itu, masih ada sekitar 2,9 juta anak putus sekolah atau tidak sekolah belum mendapatkan KIP. Dari jumlah itu, yang terdata baru 572.909 orang.
Sementara itu, pendidikan tinggi yang diharapkan dapat memasok sumber daya manusia yang dibutuhkan di era global yang semakin kompetitif, dari segi mutu, secara umum masih rendah. Dari 4.730 lembaga pendidikan tinggi yang ada saat ini, 4.300 lembaga pendidikan tinggi berakreditasi C, dan hanya 55 lembaga pendidikan tinggi berakreditasi A.
Di tengah upaya meningkatkan taraf pendidikan masyarakat, tantangan besar menghadang. Menguatnya intoleransi, berita bohong atau hoaks, dan kegaduhan politik bisa mengancam tujuan tersebut. Pendidikan karakter di sekolah diharapkan dapat menyeimbangkan kemampuan otak kanan dan otak kiri siswa untuk menangkal ancaman-ancaman yang bisa memecah belah bangsa tersebut.
Separuh perempuan
Menyongsong bonus demografi berarti juga harus memberdayakan separuh penduduk yang adalah perempuan. Dengan kondisi kualitas hidup perempuan relatif rendah, terutama karena faktor kemiskinan dan rendahnya pendidikan, Indonesia bisa kehilangan kesempatan atau potensi pertumbuhannya.
Kualitas hidup perempuan sangat menentukan generasi berikutnya, terutama terkait pola asuh dan pemberian gizi kepada anaknya. Data Laporan Nutrisi Global 2016 menempatkan Indonesia dalam lima besar dengan masalah kekurangan gizi kronis.
Kekurangan gizi kronis menghasilkan anak pendek (stunting), yang, menurut Riset Kesehatan dasar 2013, jumlahnya mencapai 9 juta anak atau 37,32 persen dari total jumlah anak. Indonesia tertinggal dibandingkan Myanmar (35 persen), Vietnam (23 persen), dan Thailand (16 persen).
Praktik buruk pengelolaan lingkungan hidup akibat pembangunan yang lebih mengedepankan kepentingan ekonomi (market driven) juga mengancam kesehatan generasi muda. Tambang yang dibiarkan berpraktik buruk, seperti penambangan emas yang menggunakan merkuri, terbukti membuat anak-anak tidak sehat karena terpapar merkuri.
Semua masalah tersebut dapat diatasi jika ada niat baik dan kerja sama semua pihak terkait, bahwa investasi untuk membangun pemuda yang lebih baik sama pentingnya dengan membangun infrastruktur. (YOVITA ARIKA)