Pelayanan Prima Kunci Sukses Asian Games 2018
Stadion Akuatik dalam kompleks Gelanggang Olahraga Bung Karno (GBK) telah bersolek. Digunakan sebagai ajang kejuaraan loncat indah, renang, renang indah, dan polo air pada awal hingga 16 Desember lalu, arena akuatik yang telah berumur lebih dari 50 tahun ini tidak lagi tampil sebagai arena yang kumuh, kotor, dengan fasilitas yang rusak di sana-sini.
Sebelum ditutup untuk dipugar hampir dua tahun lalu, stadion renang GBK adalah gelanggang lomba olahraga akuatik yang diandalkan di Jakarta. Namun, arena itu hanya mampu memberikan ”pelayanan” ala kadarnya.
Layar tampilan hasil lomba saat itu sudah tidak lagi berfungsi. Jangankan itu, para penonton—yang hampir dipastikan adalah orangtua atlet—harus menuruni tangga ”darurat” dari tribun ke areal kolam untuk mencapai kamar kecil.
Fasilitas buang hajat yang ada di bawah tribun itu juga merupakan bagian dari ruang mandi dan ruang ganti atlet. Saat itu, bilik-bilik kamar kecil jumlahnya terbatas, sebagian sudah tidak lagi memiliki pintu. Yang masih berpintu, kuncinya sudah hilang sehingga, untuk menjaga privasi, pengguna kamar kecil harus lebih dulu mengganjal pintu dengan ember.
Atap kedua tribune juga tidak sepenuhnya melindungi penonton dan atlet dari panas dan hujan. Pada pagi hari, mereka banyak berkumpul di tribune timur, menghindari tribune barat yang terus terpapar sinar matahari. Lewat pukul 13.00, sebagian penonton dan atlet di tribune timur hijrah ke barat, sebagian lagi mendaki ke anak-anak tangga tribune timur yang lebih tinggi (yang masih mampu dilindungi atap beton stadion).
Kesiapan pelayanan kita sebagai tuan rumah baru memperoleh ujian sebenarnya ketika pesta olahraga terakbar di Asia itu berlangsung.
Cerita-cerita seperti itu telah menjadi masa lalu. Dengan atap raksasa yang menutup keseluruhan areal gelanggang, berlomba atau menonton lomba di Stadion Akuatik terasa nyaman. Undakan-undakan tribune pun telah dilengkapi dengan bangku-bangku plastik. Air kolam juga terlihat bening tak lagi kehijauan seperti dahulu.
- Inasgoc’s Capacity Put to the Test
- Asian Games and National Pride
- Asian Games, Momentum Tingkatkan Prestasi Olahraga
Para penonton pun memiliki fasilitas kamar kecilnya sendiri di lantai dasar yang terpisah dari fasilitas milik atlet. Beberapa perenang remaja dengan tawa lebar berujar, kamar ganti dan kamar kecil di Stadion Akuatik GBK kini tidak kalah mewah dari yang dimiliki sport club di perumahan mewah.
Agaknya, Stadion Akuatik GBK kian siap menjadi arena lomba dalam Asian Games 2018 yang dimulai pada 8 Agustus 2018 yang digelar di Jakarta dan Palembang. Tentu saja masih banyak hal yang harus ditata untuk perhelatan olahraga yang hanya kalah akbar dibandingkan Olimpiade tersebut.
Jika kesiapan sarana adalah kasatmata dan kita bisa berharap semakin hari berbagai sarana itu semakin ”jadi”, kesiapan pelayanan kita sebagai tuan rumah baru memperoleh ujian sebenarnya ketika pesta olahraga terakbar di Asia itu berlangsung.
Terkait yang kedua, kita patut bersyukur ketika pekan lalu Ketua Panitia Pelaksana Asian Games Indonesia (Inasgoc/Indonesia Asian Games Organizing Committee) Erick Tohir memastikan, para atlet dan ofisial peserta Asian Games tak lagi harus mengurus visa untuk masuk ke Indonesia. Bagi mereka, visa tersebut telah terintegrasi dalam sistem akreditasi yang tertuang dalam kartu identitas peserta Asian Games 2018.
Kartu identitas atau kartu akreditasi milik peserta atau undangan yang juga berlaku sebagai visa sudah merupakan kelaziman dalam penyelenggaraan Asian Games sejak lama. Fasilitas itu tidak hanya diberikan kepada atlet dan ofisial, tetapi juga kepada tamu lain, seperti pengurus organisasi olahraga internasional dan wartawan peliput.
Untuk para wartawan asing yang mendaftar lewat panitia, Erick mengatakan, Inasgoc masih harus membahas pemberian fasilitas itu dengan Kementerian Luar Negeri dan Direktorat Jenderal Imigrasi.
Kekhawatiran
Kemampuan Indonesia untuk bisa memberikan pelayanan sebaik atau bahkan lebih bagus dari tuan-tuan rumah terdahulu juga menjadi kekhawatiran Sugiyat yang dia ungkapkan dalam beberapa kali pertemuan. Sugiyat bukanlah atlet, juga bukan pelatih atau pengurus induk organisasi cabang olahraga.
Namun, sebagai fisioterapis atau juru pijat olahraga, dia langganan mendampingi atlet ke berbagai ajang olahraga internasional. Mungkin tak banyak atlet yang bisa menyamai ”rekor” Sugiyat yang telah mengikuti tujuh ajang Asian Games sejak Seoul 1986 hingga Guangzhou 2010 dan lima Olimpiade sejak Barcelona 1992 hingga Beijing 2008.
”Kita harus bisa kasih pelayanan lebih bagus dari penyelenggara-penyelenggara yang terdahulu. Tapi, ya, saya khawatir karena, yang saya alami, pelayanan mereka itu bagus banget,” kata pemilik dua griya pijat olahraga di Jakarta tersebut.
Menurut Sugiyat, seluruh penggawa dari penyelenggara Asian Games terdahulu sangat memerhatikan detail kebutuhan peserta. Dia mencontohkan, di Guangzhou 2010, peserta sangat dimudahkan dengan pelayanan laundry. Setiap sore dan pagi, di tiap pintu kamar peserta dalam perkampungan atlet telah digantung dua kantong cucian berwarna putih dan merah.
”Putih untuk pakaian warna putih dan merah untuk pakaian berwarna. Tidak sampai semalam, pakaian-pakaian-pakaian kotor itu telah dikembalikan, terseterika rapi. Tidak pernah saya mengalami kehilangan cucian atau dikembalikan telat. Mengurus cucian terlihat sepele. Tapi mengurus laundry, katakanlah 8.000 orang, bukan persoalan yang mudah. Apakah kita mampu mengurusnya dengan cepat dan baik?” tutur Sugiyat.
Lelaki yang lama menangani urusan kebugaran dan cedera para pemain bulu tangkis nasional itu mengenang pengalaman manisnya soal makan-minum di perkampungan atlet. Seingatnya, tidak pernah dia mengalami aula makan kehabisan makanan atau menunggu makanan siap disajikan.
”Semua makanan selalu tersedia 24 jam. Bahkan, di tempat-tempat tertentu ada pojok-pojok tempat diletakkan penganan dan minuman ringan. Itu enggak pernah habis. Mau kita ambil banyak-banyak, petugasnya cekatan meletakkan stok baru,” kata Sugiyat terkekeh.
Dia mengamati, pelayanan prima yang diberikan penyelenggara, terutama juga berkat kesigapan para relawan yang bertugas di Asian Games. Menurut pengamatan Sugiyat, di kota-kota penyelenggara pekan olahraga yang dia ikuti, bertugas sebagai relawan merupakan kerja sampingan yang membanggakan bagi para pelakunya.
”Enggak cuma mahasiswa yang jadi relawan. Waktu di Asian Games Doha 2006, sopir kendaraan tim kami itu profesor di universitas,” katanya.
Asian Games Jakarta-Palembang 2018 memang masih 240-an hari lagi. Masih cukup waktu untuk menyiapkan sumber daya manusia yang nanti bertugas. Di tangan merekalah nanti sukses Indonesia sebagai tuan rumah ditentukan, dengan salah satu tanda: para peserta mengakhiri Asian Games dan pulang ke negara masing-masing dengan senyum persahabatan menghiasi bibir mereka.