Citra di Media Sosial Jadi Aset dalam Bekerja
JAKARTA, KOMPAS - Kesadaran mengenai pentingnya menjaga citra melalui media sosial sebagai salah satu aset dalam bekerja mulai meningkat belakangan. Hal itu terjadi karena berbagai perusahaan mulai menggunakan konten media sosial sebagai bahan pertimbangan untuk menilai profesionalisme pekerja ataupun pelamar kerja.
Citra diri adalah bagaimana orang menilai seorang individu. Citra dapat diwujudkan melalui berbagai hal termasuk lewat pemasaran diri dalam dunia digital (digital personal branding). Konten yang diunggah akan menjadi citra digital pemilik akun.
Head of Department Non Digital Media, PR & Internal Comm Indosat Ooredoo Romano Bhaktinegara mengungkapkan, perusahaan-perusahaan mulai melihat akun media sosial pengguna sebagai bahan pertimbangan dalam menilai pekerja. Hal tersebut merupakan dampak perubahan pemikiran dan organisasi dalam perusahaan yang berasal dari transformasi dunia digital.
Perusahaan mulai melihat akun media sosial pengguna sebagai bahan pertimbangan dalam menilai pekerja
“Pelamar dan pekerja dilihat apakah mem-posting sesuatu yang berbau propaganda atau tidak. Orang yang kerjanya mengeluh belum tentu akan dipekerjakan,” ujar Romano, dalam IM3 Ooredoo Digital Personal Branding Workshop dengan tema #DigitalTransformation You Need To Know: Be Inspired and Aspired, di Jakarta, Kamis (21/12). Walaupun demikian, penilaian melalui media sosial oleh perusahaan belum diatur hukum di Indonesia.
Selama beberapa tahun terakhir, beberapa kasus pemecatan akibat konten media sosial terjadi. Terakhir pada bulan Oktober 2017 lalu, seorang pegawai perusahaan elektronik Apple di Amerika Serikat, Ken Bauer, dipecat. Anak perempuan dari Bauer memamerkan jenis telepon selular yang belum diluncurkan Apple melalui Youtube.
Kasus lain adalah perkataan rasis seorang wanita Amerika Serikat bernama Justine Sacco pada Desember 2013. Ia mengunggah sebuah pernyataan di Twitter bahwa ia tidak akan terkena AIDS di Afrika karena berkulit putih. Ia kemudian dipecat perusahaan konsultan tempatnya bekerja.
Pelamar dan pekerja dilihat apakah mem-posting sesuatu yang berbau propaganda atau tidak. Orang yang kerjanya mengeluh belum tentu akan dipekerjakan
Romano mengatakan, masyarakat perlu beradaptasi dengan perubahan digital yang semakin cepat, termasuk mengenai etika penggunaan media sosial. Ditambah lagi, berinteraksi melalui media sosial juga dapat memberikan dampak besar terkait bidang sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Agustina Zubair menekankan pentingnya agar masyarakat sadar untuk terjun ke dunia digital. “Dunia digital membuat keterampilan baru harus dipelajari, seperti meng-coding dan menjadi pengguna,” ujarnya.
Berdasarkan laporan World Economic Forum tahun 2016, peringkat indeks modal manusia (human capital index) Indonesia secara keseluruhan masih berada di bawah negara tetangga, yaitu di posisi 72. Jika dibandingkan, Singapura berada di posisi 13, Malaysia 42, Thailand 48, Filipina 49, dan Vietnam 68. Dengan tingkat pendidikan dan literasi digital yang masih rendah, etika dalam media sosial perlu terus disosialisasikan.
Indonesia merupakan salah satu negara pengguna internet yang terbesar. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJI) and We Are Social tahun 2017 menunjukkan, sekitar 100 juta penduduk merupakan pengguna internet aktif dari total sekitar 250 juta penduduk. Sementara itu, penggunaan gawai mencapai 370 juta. Jumlah tersebut menunjukkan, setiap orang memiliki lebih dari dua gawai.
Aplikasi Youtube, Instagram, dan Facebook paling sering diakses di seluruh dunia. Data Facebook Internal Data kuartal kedua tahun 2017 menunjukkan, lebih dari 115 juta orang Indonesia terdaftar dalam akun Facebook. Sementara itu, data dari Instagramdata pada Juni tahun 2017 menyebutkan, terdapat 52 pengguna aktif Instagram di Indonesia.
Dikutip dari website World Economic Forum, perusahaan dapat memecat pekerja terkait konten di media sosial. Beberapa alasannya adalah penggunaan bahasa yang kasar, ejaan dan struktur bahasa yang buruk, serta pandangan politik.
Psikolog dan salah satu penulis buku Minder... Done That! Intan Erlita menyatakan, membentuk citra dalam dunia digital merupakan hal yang wajar. Ia menyatakan, manusia memiliki lima tingkat kebutuhan dasar menurut teori hirearki kebutuhan Maslow yang digagas oleh Abraham Maslow dalam tulisannya A Theory of Human Motivation pada tahun 1943.
Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan fisiologis, rasa aman, rasa memiliki dan kasih sayang, penghargaan dan aktualisasi diri. Ketika seseorang memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, barulah mereka akan memuaskan kebutuhan lainnya.
“Pencitraan penting karena kita tidak bisa mengatur apa yang orang pikirkan tentang kita, tetapi kita bisa mengatur kesannya,” tutur Intan. Selain citra, konten dapat berperan sebagai curriculum vitae (CV) dan perwakilan identitas karena perusahaan dapat melihat potensi pekerja dari akun media sosial. Oleh karena itu, citra digital yang ditampilkan sebaiknya sesuai dengan diri pemilik akun.
Pencitraan penting karena kita tidak bisa mengatur apa yang orang pikirkan tentang kita, tetapi kita bisa mengatur kesannya
Intan mengingatkan, kebiasaan berpikir media sosial adalah milik pribadi sehingga orang tidak mengkritik juga perlu dihilangkan. Indonesia memiliki Undang-Undang (UU) yang mengatur mengenai hal tersebut, seperti UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). “Apa yang di-post akan susah ditarik (karena itu harus berhati-hati,” tutur Intan.
Konsistensi
Model dan salah satu penulis buku Minder... Done That! Nadia Mulya menambahkan, citra digital seseorang dapat dibentuk jika dilakukan secara konsisten. Misalnya, seseorang yang suka musik secara teratur mengunggah mengenai musik.
Adapun konten berisi gambar dan keterangan yang menarik dan informatif. Dengan menjadi unik, citra seseorang dapat lebih melekat dalam ingatan dan dihargai.
Nadia menyatakan, perkembangan teknologi dipicu karena perilaku dan begitu juga sebaliknya. Cara manusia berinteraksi dengan sesama berubah. “Manusia harus mampu beradaptasi dengan perubahan tersebut,” tuturnya.
Sementara itu, Romano menyatakan, hal yang harus diingat adalah tidak semua yang beredar di media sosial adalah benar. “Dan tidak benar juga pengguna harus menjadi apa adanya di dalam media sosial,” ujarnya. (DD13)