Marlina dan Kuasa Vagina
Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak adalah film Indonesia yang paling menggelitik pikiran pada tahun 2017 ini. Ia menembak isu klasik perempuan sejak era nabi-nabi masih bersyiar, era Sum Kuning, hingga era Harvey Weinstein. Film ini bercerita tentang korban pemerkosaan tanpa ratapan, tetapi dengan cengkeraman vagina yang subversif.
Film ini menjadi sebuah bentuk proyeksi kuasa perempuan yang menggelegak. Penuh gugatan terhadap berbagai konstruksi sosial yang menyesakkan bagi perempuan.
Tulisan ini akan memuat beberan alias spoiler. Jika sampai hari ini Anda belum juga menonton film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak—yang di Jakarta sempat bertengger selama empat minggu di bioskop—lebih baik jangan teruskan membaca tulisan ini.
Salah satu produsernya, Fauzan Zidni, pernah bercerita bahwa dirinya pun tak menyangka film bernuansa arthouse movie ini bisa bertengger lama dan mampu menarik lebih dari 154.000 penonton sejauh ini. Jumlah yang cukup baik mengingat Marlina bukan tipikal film Indonesia yang mudah merebut pasar di dalam negeri. Film ini sebelumnya diputar di perhelatan Director\'s Fortnight di Cannes, Perancis, April 2017. Ajang ini berlangsung paralel dengan Festival Film Cannes dan telah menelurkan banyak sutradara besar dunia.
Saya menyempatkan dua kali menonton film ini bukan semata berusaha mencerna lagi film ini, melainkan lebih karena masih ingin menikmatinya sekali lagi. Bukan apa, mungkin ini kerinduan lama yang tanpa sadar mengendap. Kerinduan akan film Indonesia yang mampu bercerita tentang isu perempuan secara solid dengan perspektif keperempuanan yang penuh daya dan gaya bercerita yang berkelas. Film yang sangat tahu mau bicara apa, tanpa harus menyusupkan khotbah terselubung ataupun terang-terangan dalam dialognya. Bahkan, tiada pula dialog-dialog yang berpretensi filosofis. Namun, tak lantas juga membuat film ini menjadi dangkal dan cheesy.
Marlina juga bukan tipe film nyeni yang terhanyut dalam menyajikan gambar yang indah kemudian bangunan ceritanya menjadi seperti tempelan saja. Ia bukan tipe film dengan cerita kopong yang ditempelkan pada rangkaian visual nan indah. Film Marlina bukan seperti itu.
Keputusan sineas Garin Nugroho sangat tepat ketika menyerahkan ide cerita ini ke tangan Mouly Surya sebagai sutradara. Film ini memang harus digarap, diolah, dikendalikan oleh seorang perempuan. Lebih tepatnya perempuan yang punya kesadaran cukup kuat untuk menapasi suara keperempuanannya dengan kokoh.
Bicara tiga hal
Film Marlina setidaknya bicara tiga hal. Pertama, ia lugas menggugat definisi pemerkosaan yang selama ini kerap secara sangat biadab didefiniskan secara sepihak oleh pihak selain si perempuan korban. Kedua, film ini juga meletakkan gagasan kuasa mutlak perempuan atas tubuhnya, tak terkecuali vaginanya sendiri. Ketiga, film Marlina juga menyenggol soal kebebalan hukum dan aparatnya (polisi) atas fenomena pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap perempuan.
"Ah, perempuan sukanya merasa jadi korban."
Ketiga isu tersebut menyusup sejak awal hingga akhir dalam rangkaian plot-plotnya dalam kelindan yang apik. Terlebih lagi, tanpa harus berkhotbah melalui teks dialog. Ini yang membuatnya istimewa, terutama bagi penonton yang sudi berpikir lebih lanjut.
Sejak babak pertama yaitu plot kedatangan Markus ke rumah Marlina, kemuakkan sudah tersuguhkan. Marlina, perempuan Sumba yang baru ditinggal mati suaminya akan diperkosa beramai-ramai oleh tujuh lelaki, salah satunya Markus. Lelaki tua itu berucap, Marlina seharusnya merasa beruntung malam itu karena setelah menjanda akan dapat bonus ditiduri oleh tujuh laki-laki. Ketika Marlina berucap betapa sialnya dia, Markus membalasnya sinis, "Ah, perempuan sukanya merasa jadi korban."
Marlina kemudian diperintah Markus untuk memasakkan makan malam untuk ketujuh calon pemerkosanya. Dalam obrolan para begundal teman-teman Markus itu terdengar mereka tengah membicarakan seorang perempuan bernama Rosa, yang pernah mereka perkosa bergiliran. Mereka lantas membicarakan soal vagina Rosa yang sudah tidak kencang. Lalu salah satu dari mereka menyahut bahwa kalau Rosa tidak suka (saat diperkosa) tidak mungkin (vaginanya) melonggar, sehingga menurutnya itu artinya Rosa menyukainya.
Plot ini mengangkat pembahasan soal vagina dari sudut pandang laki-laki (berjenis begundal) yang sangat semena-mena. Dari plot tersebut, vagina longgar artinya si perempuan korban menerima kedatangan penis pemerkosa sehingga otot vaginanya rileks terbuka. Sementara, jika vaginanya kencang pun bisa dianggap si perempuan korban merespon si penis pemerkosa dengan menjepitkan otot vaginanya untuk merangsang penis. Betapa keji dan semena-menanya keyakinan semacam itu.
Merasa nyaman?
Dan, lihatlah bagaimana Mouly Surya memvisualkan adegan pemerkosaan dengan sangat subversif. Marlina diperkosa oleh Markus dalam posisi WOT alias woman on top! Benar-benar bukan tipikal adegan pemerkosaan yang muncul dalam film-film tentang pemerkosaan. Yang biasanya menyuguhkan adegan perempuan korban meronta-ronta dan menderita tak berdaya ditimpa tubuh pemerkosa.
Apakah dengan posisi WOT itu Marlina tetap bisa dianggap diperkosa? Atau persenggamaan konsensual? Tentu saja, adegan itu tetap berarti pemerkosaan seratus persen. Bahkan lebih pedih lagi. Sebab Marlina memutuskan untuk menjadikan liang vaginanya sebagai siasat dalam mempertahankan dan menebus martabatnya. Dalam posisi itu, dia leluasa untuk bergerak, meraih pedang, dan kemudian sukses menebas habis kepala Markus saat menjelang klimaks.
Kids jaman now mungkin akan menjawabnya, “Menurut loe?!”
Dalam posisi duduk WOT itu, Mouly bahkan memperdengarkan bunyi kecipak saat liang vagina beradu dengan penis, atas inisitif gerakan tubuh Marlina sendiri. Posisi dan bebunyian ini sangat bisa dengan mudah menggugurkan definisi pemerkosaan menurut aparat hukum. Sebab itu bisa diartikan Marlina justru akhirnya rela melayani Markus. Buktinya vaginanya bisa memproduksi lubrikasi yang memadai. Jika dalam pemahaman polisi penyidik, ini bisa diartikan korban merasa nyaman!
Soal “merasa nyaman” itu saya teringat ucapan Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian dan sempat menjadi polemik. Tito, Oktober lalu, dalam wawancara dengan BBC Indonesia mengungkapkan bahwa penyidik bisa saja bertanya apakah korban merasa nyaman selama pemerkosaan untuk menguji apakah benar korban diperkosa atau hanya mengaku diperkosa. Walaupun Tito kemudian berusaha mengklarifikasi bahwa ucapannya itu tak bermaksud melecehkan korban pemerkosaan.
Ada fallacy yang menggelikan dalam model pertanyaan penyidik demikian, yang membenturkan konsep “pemerkosaan” dan gagasan “merasa nyaman”. Saya membayangkan jika seorang penyidik bertanya, “Apakah Anda merasa nyaman selama pemerkosaan?” Kids jaman now mungkin akan menjawabnya, “Menurut loe?!”
Dengan konstruksi fallacy (sesat nalar) semacam itu, bisa-bisa berbalik Marlina yang malah menjadi penjahat. Seperti Sum Kuning. Lantas pemerkosaan itu dipelintir sebagai hubungan konsensual yang laki-lakinya tidak menunaikan hubungan emosional dan psikologis secara pantas sehingga membuat si perempuan mengamuk dan membunuh saat mereka bersenggama. (Ya, gagasan kalimat terakhir itu terinspirasi apologi terselubung dari seorang aktivis perempuan yang tengah membela rekan laki-lakinya yang terjerat kasus pemerkosaan beberapa tahun lalu).
"The Second Sex"
Lewat pilihan adegan pemerkosaan dalam posisi WOT itu, kesadaran kita digedor bahwa pemerkosaan bukanlah sesederhana yang dipahami kita semua selama ini. Salahkah (tubuh) Marlina ketika merespon penetrasi penis yang sangat tidak diinginkannya itu demi dalam rangka untuk menebus martabatnya (dengan memenggal kepala Markus)? Buat saya, jelas saja tidak. Dia sepenuhnya berhak menggunakan vaginanya yang tercederai itu untuk berbalik menjadi sarana untuk menebus harga dirinya. Pemerkosaan tak semata lahiriah, tapi juga batin, yang nyaris sulit bisa disembuhkan.
Dengarlah apa yang dikatakan Marlina kepada temannya Novi seusai mereka berkemih bersama di padang savanah yang magis. Novi melarang Marlina untuk melaporkan kasus pemerkosaannya dan pembunuhan yang ia perbuat ke polisi. Novi mengusulkan agar Marlina ke gereja saja untuk pengakuan dosa. "Saya tidak merasa berbuat dosa!" tukas Marlina, sambil menenteng kepala Markus.
Perempuan dianggap tidak berhak menguasai ruang-ruang (publik), juga tak berhak menguasai tubuhnya sendiri.
Soal adegan pipis, film ini menyuguhkan sampai dua kali adegan perempuan pipis berjongkok di ruang terbuka, di tengah padang savanah Sumba nan indah. Pandangan mata kita terlanjur terbentuk toleran terhadap penampakan laki-laki pipis sembarangan di ruang terbuka, namun tidak dengan penampakan perempuan melakukan hal yang serupa. Dalam Film Marlina kita diajak harus juga menoleransi penampakan perempuan pipis di ruang terbuka. Selain adegan pemerkosaan dalam posisi WOT tadi, adegan pipis ini juga menjadi semacam proyeksi kuasa perempuan atas tubuhnya sendiri terlepas dari konstruksi sosial yang timpang tentang ketubuhan perempuan dan laki-laki.
Lewat adegan sederhana itu saja misalnya, Film Marlina menggugat posisi perempuan sebagai The Second Sex, seperti yang dilontarkan Simone de Beauvoir, seorang feminis, novelis, dan filsuf perempuan asal Perancis (1908 - 1986) lewat bukunya yang monumental Le Deuxième Sexe (The Second Sex). Perempuan adalah liyan absolut, sekadar sebagai obyek yang bukan lelaki. Perempuan dianggap tidak berhak menguasai ruang-ruang (publik), juga tak berhak menguasai tubuhnya sendiri.
Mouly Surya juga menyusupkan dialog yang ciamik yang tak pretensius tentang bagaimana perempuan pun pantas saja mengungkapkan hasrat seksualnya. Seperti adegan ketika Novi yang tengah hamil tua curhat pada Marlina soal suaminya yang enggan bersenggama dengannya karena khawatir dengan kondisi bayinya. Padahal, Novi sedang sangat berhasrat. Sementara, ibu mertuanya menasihati Novi sebagai perempuan tidak pantas menuruti nafsu. Dari percakapan ini pun kembali terlihat bagaimana pemikiran Simone de Beauvoir masih relevan menemukan contoh nyata. Opresi terhadap perempuan dalam berkuasa atas tubuhnya sendiri pun masih terawat secara sistematis hingga dalam ayat-ayat. Seperti ketika seorang istri enggan melayani hasrat seksual suaminya, dogma agama akan mengutuknya.
Kuasa atas tubuh
Tak ada drama ratapan dalam film ini seperti tipikal film-film yang memuat isu pemerkosaan terhadap perempuan. Ketika Marlina menangis tertahan sembari dipeluk oleh anak perempuan bernama Topan pun hanya disuguhkan adegan dari belakang. Punggung Marlina terlihat naik turun saat terisak. Lihatlah pula ketika Novi yang tengah hamil besar itu terjungkal di jalanan setelah digampar Umbu suaminya. Tak ada penampakan dramatis Novi menderita. Meski kesulitan, Novi bisa bangkit berdiri kembali tanpa uluran bantuan siapapun.
Perilaku kamera dalam film ini pun cenderung sederhana tidak berliku-liku mencari dramatisasi ataupun romantisasi. Kamera seperti sekadar sebagai observant tanpa pretensi, apa adanya. Kamera pun misalnya tak perlu mengambil kesempatan menyorot close up lekuk dada Marlina ketika menyembunyikan racun yang diambilnya dari laci meja riasnya lalu diselipkan ke balik behanya.
Bentuk liontin mamuli menyerupai rahim dan liang vagina
Secara keseluruhan, film Marlina sangat kuat memproyeksikan tentang kuasa perempuan atas tubuhnya sendiri, termasuk kuasa atas vaginanya. Penampakan kalung-kalung bermanik anahida dengan liontin mamuli yang tergantung di leher Marlina, Novi, dan perempuan Sumba lainnya menjadi metafora yang kuat. Bentuk liontin mamuli menyerupai rahim dan liang vagina. Dalam budaya Sumba mamuli adalah perlambang kesuburan, asal muasal kehidupan manusia.
Apakah tak ada kekurangan dari film ini? Tentu saja ada. Namun kekurangannya itu masih jauh kurang relevan untuk dibahas ketimbang kelebihannya yang lain. Sebab bagaimanapun, isu kekerasan terhadap perempuan sampai hari ini masih akan selalu relevan diperjuangkan.
Siapakah yang menyangka bahwa pemerkosaan, pelecehan seksual, tak hanya bisa menimpa perempuan desa lugu seperti Sum Kuning (yang hingga hari ini tidak mendapatkan keadilan) namun juga menimpa dewi-dewi Hollywood? Dewi-dewi Hollywood yang (kini) nampak penuh "kuasa" dan daya tetapi ternyata pernah menjadi korban pelecehan seksual oleh produser tengik semacam Harvey Weinstein.
Persoalan pemerkosaan ataupun pelecehan seksual boleh jadi sudah begitu lama dalam sejarah manusia. Namun, hingga gerakan feminisme melahirkan empat gelombang, persoalan itu masih saja menjadi isu yang harus terus menerus diperjuangkan.
Pada babak penutup film, setelah Novi sukses memenggal kepala Frans, yang tengah memperkosa Marlina, kita langsung disuguhkan adegan Novi melahirkan bayinya dibantu oleh Marlina. Sang bayi pun lahir selamat di kamar tempat pemerkosaan tadi baru saja terjadi, dengan tubuh mayat Frans tergeletak di ranjang, dan kepalanya sudah terpental di lantai.
Plot penutup tersebut seolah mengingatkan, kita semua menjadi manusia melalui liang vagina. Ketika kau mencelakai vagina (perempuan), hidupmu pun layak untuk dijadikan celaka. Ohya, pesan ini juga tertuju untuk kalian, para pemerkosa perempuan-perempuan (Tionghoa) di tengah kecamuk politik Mei 1998.