Masa Depan Keraton Nusantara
Pada September dan November 2017, Presiden Joko Widodo menghadiri Festival Keraton Nusantara XI yang digelar di Cirebon, Jawa Barat; dan Medan, Sumatera Utara. Beragam budaya Tanah Air disajikan. Ribuan orang berdecak kagum. Apakah ini pertanda baik bagi masa depan keraton di Nusantara?
Sebanyak 47 keraton dan kerajaan se-Nusantara menampilkan kirab budaya pada pembukaan Festival Keraton Nusantara (FKN) XI di Alun-alun Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat, pertengahan September lalu. Puluhan kamera awak media mengarah ke pergelaran tersebut. Tidak hanya indah dipandang, keragaman budaya tersebut sekaligus menyampaikan pesan khusus.
Replika Kereta Kencana Singa Barong asal Cirebon, misalnya, menjadi simbolisasi Bhinneka Tunggal Ika. Kereta ini merupakan perpaduan bentuk burung (paksi/burung), naga, dan gajah. Burung dalam kereta itu mewakili buraq yang erat dengan Islam, naga mewakili pengaruh Tiongkok, dan liman atau gajah menjadi simbol Ganesha dalam Hindu.
Hingga kini, di Cirebon, makna tersebut masih lestari. Tengoklah ketika peringatan Maulid di Keraton, jemaat gereja setempat ikut membantu. Mereka menyediakan lahan parkir dan menyesuaikan jadwal kegiatan keagamaan. Begitulah relasi antarumat beragama di pusat penyebaran Islam di Jabar pada abad ke-15 ini.
Pertunjukan lainnya yang menjadi sorotan pengunjung ialah atraksi bissu dari Kerajaan Bone, Sulawesi Selatan. Diiringi tabuhan kendang, dua bissu menusukkan badik ke perut dan matanya. Tidak tampak luka sedikit pun.
”Bissu merupakan orang yang menjadi penyambung lidah antara raja, rakyat, dan dewa pada masa kerajaan,” ujar pembawa acara. Bissu atau juga dikenal sebagai calabai (pria yang berperilaku seperti wanita) kini semakin jarang ditemukan sejak mengalami masa suram pada 1950-an. Mereka kala itu dikejar-kejar pasukan DI/TII karena dianggap menyimpang. Mereka juga dituduh komunis.
Keberagaman seni budaya inilah yang disebut Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan sebagai modal pemersatu bangsa sekaligus pengembangan sektor pariwisata daerah. Kerajaan dan keraton juga merupakan embrio terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. ”Para raja selama ini menjadi pemimpin informal yang mempersatukan masyarakat,” ujar Heryawan.
Mati termakan lupa
Namun, kebanggaan terhadap keraton dan kerajaan se-Nusantara tidaklah semanis yang dikira. Realitasnya, keraton se-Nusantara sudah lama tertatih-tatih. Dari kesulitan finansial hingga kehilangan aset. Akankah kejayaan masa lampau keraton kembali bangkit atau mati termakan lupa?
Andi Baso (72) dari Kerajaan Luwu, Sulawesi Selatan, tidak tahu jawabannya. ”Saya ingin ke pusat, memohon petunjuk tentang pengembangan wisata Kerajaan Luwu,” ujar Baso setelah mengejar Deputi Bidang Pengembangan Kelembagaan Kepariwisataan Kementerian Pariwisata H M Ahman Sya yang naik ke mobil.
Ia menuturkan, Kerajaan Luwu hingga kini masih ada. Sebagai Mokole Matano-nuha atau keluarga dekat Raja Luwu, Baso diamanatkan memerintah 11 anak suku di Sorowako, Luwu Timur.
Bahkan, soraja atau rumah raja masih ada di sana dengan 20 tiang yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Dahulu, rumah panggung itu menjadi tempat istirahat Raja Luwu. Kini, soraja menjadi tempat musyawarah warga.
”Pada 1960-an, serangan DI/TII menghanguskan soraja kami yang memiliki 48 tiang dengan ketinggian 5 meter dari tanah,” ujarnya. Jauh sebelum itu, pada 1905 Istana Kedatuan Luwu dihancurkan oleh Belanda yang membangunkan istana kembali pada 1920-an di Kota Palopo, Sulsel.
Naskah kuno di istana juga dirampas. Menurut dia, I La Galigo, naskah yang ditulis antara abad 13-15 dan terpanjang di dunia dengan 6.000 halaman, dikumpulkan selama 30 tahun. Sebuah konsekuensi atas aset yang tidak sepenuhnya dijaga.
Banyak pusaka, seperti badik juga hilang entah ke mana. Padahal, Luwu begitu terkenal dengan logam dan besinya yang khas. Di tanah Luwu terdapat nikel yang memperkuat keris atau badik. Perusahaan tambang luar negeri bahkan masuk ke sana sejak 1968.
Kami ingin belajar bagaimana kerajaan bisa bertahan. Kami ini kerajaan tertua, tetapi baru membangun.
Sayangnya, aliran investasi di daerah itu belum membangkitkan keperkasaan Kerajaan Luwu yang sudah ada disebut dalam Negarakertagama karangan Empu Prapanca (1365). Untuk menjalankan keperluan adat, misalnya, pihaknya mencari dana secara swadaya.
”Beruntung, kami ke FKN dibiayai pemerintah daerah. Kalau tidak, mana mungkin kami bisa ke sini. Kami ingin belajar bagaimana kerajaan bisa bertahan. Kami ini kerajaan tertua, tetapi baru membangun,” ujar Baso yang datang dengan rombongan 80 orang, termasuk anak muda, asal Luwu.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nono Adya mengatakan, saat ini, terdapat 106 keraton dan kerajaan di Nusantara. ”Namun, kami masih mendata berapa yang bertahan karena banyak istana yang sudah rata dengan tanah. Kalau keturunan rajanya masih ada, kami bisa revitalisasi bangunannya,” tuturnya.
Makelar naskah
Kondisi jadi lebih sulit dengan banyaknya naskah kuno Nusantara yang terbang ke luar negeri. Berdasarkan catatan Perpustakaan Nasional, saat ini terdapat 12.700 naskah kuno yang sudah tercatat. Namun, menurut filolog Titik Pudjiastuti, ada puluhan bahkan ratusan ribu naskah di Nusantara.
Manuskrip itu mengandung ilmu pengetahuan, seperti astronomi, kedokteran, pertanian, kearifan lokal, hingga resep awet muda. ”Tengoklah ratu-ratu kerajaan dan keraton yang selalu tampak lebih muda dari umurnya. Makanya, saya terus mencari naskah,” kata Titik yang energik di usia 62 tahun.
Itulah mengapa naskah kuno di keraton dan kerajaan menjadi barang rampasan perang. Bahkan, hingga kini masih diincar orang-orang di luar negeri, dari Eropa hingga Malaysia. Satu naskah bisa dihargai Rp 50 juta. Fantastis!
”Di Belanda saja, naskah kita ada 13.000. Penyebabnya, salah satunya adalah makelar naskah yang menjualnya ke luar negeri,” ungkap Titik yang meneliti naskah kuno Nusantara sejak awal 1990-an.
Dengan realitas tersebut, keraton dan kerajaan seharusnya segera mengamankan peninggalan leluhurnya. Belum banyak yang mengerjakan hal itu. Keraton Kasepuhan salah satu yang memulai penyelamatan naskah sejak 2014. Bekerja sama dengan Perpusnas, sebanyak 146 naskah kuno Cirebon diinventarisasi. Bahkan, sudah ada yang didigitalkan.
Di Belanda saja, naskah kita ada 13.000. Penyebabnya, salah satunya adalah makelar naskah yang menjualnya ke luar negeri.
”Keraton tidak mampu menjaga naskah kuno sendiri. Selain keterbatasan sumber daya manusia, juga terbatas biaya. Naskah tersebut juga banyak dalam kondisi rusak,” kata Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat.
Pihaknya juga dibantu sejumlah perusahaan dan pemerintah daerah telah membangun Museum Pusaka Keraton Kasepuhan. Tujuannya menarik wisatawan. Abdi dalem kerap menjadi pemandu wisata untuk menjelaskan seluk beluk Keraton Kasepuhan. Menurut Arief, selain benteng pelestarian, keraton ke depan menjadi tempat edukasi sekaligus wisata.
HM Ahman Sya mengatakan, keraton dan kerajaan yang telah menjadi destinasi wisata sebagian besar berada di Jawa. Di luar Jawa, masih jarang. Padahal, sebanyak 60 persen wisatawan di Indonesia tertarik dengan seni budaya. ”Tahun ini, kami melatih 32.000 sumber daya manusia untuk pariwisata dan melakukan sertifikasi pada 65.000 pemandu wisata,” ujarnya.
Saya yakin peninggalan kita jauh lebih bagus, tetapi kita jarang merawatnya.
Modal besar
Presiden Joko Widodo saat menutup FKN XI di Goa Sunyaragi, Senin (18/9) malam, menegaskan betapa pentingnya keraton dan kerajaan sebagai modal bagi Indonesia menghadapi persaingan global. ”Saya lihat banyak negara mengandalkan peninggalan bersejarah sebagai obyek pariwisata yang menarik. Saya yakin peninggalan kita jauh lebih bagus, tetapi kita jarang merawatnya,” ujar Presiden.
Nilai-nilai budaya dari keraton dan kerajaan juga berpotensi menjadi semangat untuk terus menjaga kebinekaan. Di Luwu, misalnya, ada ungkapan wanua mappatuo yang berarti daerah menghidupkan manusianya. Tidak memilih apa agama, ras, dan etnis orangnya. Daerah memberikan kebaikan dari sumber daya alamnya selama seseorang menjaganya dan menjunjung adat istiadat setempat.
Nilai-nilai budaya dari keraton dan kerajaan juga berpotensi menjadi semangat untuk terus menjaga kebinekaan.
Nilai itu juga termasuk dalam tujuh rekomendasi Musyawarah Agung Raja dan Sultan di FKN XI untuk pemerintah. Rekomendasi itu ialah, keinginan keraton se-Nusantara menjaga keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila, mendorong anggaran kebudayaan minimal 2 persen dari APBN dan APBD, revitalisasi keraton, mendorong pemerintah mengembangkan sektor kemaritiman, serta memanfaatkan tanah keraton dan lahan tidur untuk ketahanan pangan.
”Selain itu, kami juga mendorong peran aktif sultan dan raja dalam forum pimpinan daerah dan melanjutkan kegiatan rutin FKN yang tahun depan digelar di Kerajaan Pagaruyung, Sumatera Barat,” ujar Arief.
Menurut Arief, Presiden Jokowi telah mengapresiasi keberadaan keraton dengan hadir pada FKN. Namun, pada saat yang sama, keraton masih diselimuti berbagai masalah.
Rekomendasi tersebut merupakan gambaran harapan masa depan keraton se-Nusantara. Keraton dan pemerintah perlu menata diri. Paling tidak duduk bersama untuk langkah awal. Jika tidak, kerajaan dan keraton se-Nusantara hanya tinggal kenangan dan berakhir dengan cerita: dulu….