SURABAYA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo meresmikan dua jalan tol di Jawa Timur pada 2017. Tol Mojokerto-Jombang sepanjang 40,5 kilometer diresmikan pada September. Tol Surabaya-Mojokerto sepanjang 36,27 kilometer diresmikan pada Desember.
Dengan demikian, ruas bebas hambatan Surabaya-Mojokerto (Sumo) dan Mojokerto-Jombang (Mojo) yang digabungkan menjadi Sumojo memiliki panjang 76,77 kilometer. Tol Sumojo linear dengan arteri atau jalur tengah yang melintasi Surabaya-Sidoarjo-Mojokerto-Jombang-Nganjuk-Madiun-Ngawi di Jatim kemudian Sragen-Karanganyar-Surakarta atau Solo di Jateng.
Keberadaan Tol Sumojo menyediakan pilihan bagi pengguna kendaraan untuk perjalanan lewat jalur tengah. Jika jalan raya atau arteri dari Surabaya sampai Jombang ”lumpuh” akibat kemacetan atau bencana alam, pengendara bisa beralih ke Tol Sumojo. Namun, melewati tol, pengendara harus mengeluarkan biaya ekstra untuk membayar tarif.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, tarif tertinggi di Tol Sumo Rp 29.000 untuk golongan 1 (sedan, jip, pikap, bus), Rp 43.000 untuk golongan 2 (truk dua gandar), Rp 57.500 untuk golongan 3 (truk tiga gandar), Rp 72.000 untuk golongan 4 (truk empat gandar), dan Rp 86.500 untuk golongan 5 (truk lima gandar). Kemudian, tarif tertinggi di Tol Mojo Rp 43.000 untuk golongan 1, Rp 69.000 untuk golongan 2, Rp 92.000 untuk golongan 3, Rp 115.000 untuk golongan 4, dan Rp 138.000 untuk golongan 5.
Dosen senior Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Haryo Sulistyarso berpendapat, besaran tarif di Tol Sumojo akan sangat menentukan keinginan publik memakai atau menghindari prasarana tersebut.
”Jika tarif tol terlalu mahal, warga seperti saya akan memilih melewati jalan arteri,” katanya saat dimintai komentar seputar kemungkinan berbagai dampak keberadaan Tol Sumojo, Kamis (21/12).
Jika tarif tol terlalu mahal, warga seperti saya akan memilih melewati jalan arteri.
Pendapat Haryo rasanya selaras dengan salah satu karakter rakyat Jatim pengguna kendaraan yang cenderung memilih prasarana cuma-cuma tetapi tidak macet meski harus menambah jarak dan waktu daripada jalan tol yang berbayar. Anggapan memakai jalan tol memberatkan keuangan masyarakat perlu didudukkan dalam konteks ketersambungan prasarana itu untuk perjalanan jauh melewati jalur tengah.
Haryo memiliki banyak kerabat di Madiun. Apabila perjalanan dari Surabaya ke Madiun harus melewati dua tol dengan mobil pribadi golongan 1, Haryo harus mengeluarkan biaya ekstra Rp 72.000 untuk tarif tol sepanjang 76,77 kilometer. Jika melewati jalan raya yang paralel dengan tol, perjalanan dari Surabaya sampai Jombang sepanjang 84,4 kilometer.
Perjalanan melintasi jalan raya memang menjadi lebih panjang 8 kilometer. Namun, penambahan 8 kilometer itu bisa diasumsikan cuma menghabiskan sekitar 1 liter bensin atau solar untuk kendaraan golongan 1. Jika terjadi kemacetan, bolehlah diasumsikan konsumsi bahan bakar bertambah 1-2 liter lagi. Harga premium Rp 6.450 per liter dan solar Rp 5.150 per liter.
Apabila diambil rerata penambahan konsumsi bahan bakar sebanyak 2 liter, biaya ekstra untuk bahan bakar ialah Rp 12.900 untuk premium dan Rp 10.300 untuk solar. Terbukti bahwa perjalanan melewati jalan raya lebih irit dibandingkan dengan mengeluarkan biaya ekstra untuk tarif tol Rp 72.000.
Kendati demikian, penghitungan tadi bisa saja diabaikan oleh kelompok masyarakat yang mengutamakan perjalanan lebih cepat. Selain itu, mereka yang mapan dengan perekonomian menengah ke atas. Menurut Haryo, publik semacam itu yang juga pengguna kendaraan golongan 1 akan memakai jalan tol ketika arteri lumpuh atau macet parah.
Secara alami, jika melewati jalan tol lebih banyak manfaatnya, tentu jalan tol akan diandalkan. Namun, kalau sebaliknya, ya dihindari.
Ketua Organda Jatim Busairi Mustafa secara terpisah mengatakan, tarif tol yang tinggi akan memberatkan pengusaha angkutan umum. Ujung-ujungnya, tarif perjalanan memakai angkutan umum pasti dinaikkan. Dalam konteks itu, warga sebagai pengguna angkutan umum terbebani.
Menurut Mustafa, keberadaan jalan tol di satu sisi memang memangkas jarak dan waktu. Hal ini dalam transportasi berarti mempercepat pergerakan penumpang untuk sampai ke tujuan. Namun, untuk waktu tempuh yang lebih sedikit, ada penambahan ongkos yang harus dibebankan kepada pengusaha dan penumpang.
”Secara alami, jika melewati jalan tol lebih banyak manfaatnya, tentu jalan tol akan diandalkan. Namun, kalau sebaliknya, ya dihindari,” katanya.