Paru-paru Dunia Itu Kini Telah Koyak
Dahulu sekali, Kalimantan Barat pernah dikenal sebagai paru-paru dunia karena keberadaan hutannya. Namun, julukan itu sepertinya sudah tidak tepat lagi. Kalimantan Barat kini merana. Bencana banjir silih berganti menerpa daerah ini. Kehancuran lingkungan terasa tepat di depan mata.
Potret kerusakan lingkungan tergambar dari semakin maraknya bencana banjir melanda daerah tersebut pada 2017. Bahkan, banyak yang menilai, bencana yang terjadi semakin lama semakin parah di berbagai wilayah.
Sebagai contoh, akhir Agustus lalu, Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalbar, dilanda banjir bandang setinggi 2,5 meter. Meskipun tidak ada korban jiwa dalam bencana itu, setidaknya tujuh rumah di Jelai Hulu hanyut terbawa arus banjir yang deras. Selain itu, puluhan rumah rusak parah.
Warga yang rumahnya hanyut terpaksa kehilangan tempat tinggal. Mereka hingga kini masih mengungsi di rumah sanak keluarganya. Mereka tidak mampu membangun rumahnya kembali karena keterbatasan ekonomi.
Saat banjir menerjang, bahkan ada warga yang terpaksa bertahan di atas pohon selama sehari semalam tanpa makanan. Mereka terkepung banjir yang datang secara tiba-tiba. Arus yang deras membuat mereka tidak berdaya.
Banjir juga sudah beberapa kali menerjang kabupaten lain di Kalbar. Selain Ketapang, banjir juga menerjang Kabupaten Sekadau, Sintang, dan Melawi. Kabupaten Kapuas Hulu yang dijuluki ”Jantung Borneo” juga tak luput dari bencana. Banjir sudah beberapa kali terjadi pada tahun ini di daerah tersebut.
Kabupaten Kapuas Hulu yang dijuluki ’Jantung Borneo’ juga tak luput dari bencana. Banjir sudah beberapa kali terjadi pada tahun ini di daerah tersebut.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar Anton P Widjaya, Kamis (21/12), menilai, seringnya banjir menerjang Kalbar karena maraknya alih fungsi lahan. Berdasarkan data monitor evaluasi koordinasi dan supervisi perkebunan di Kalbar pada 2016, luas izin perkebunan sawit di Kalbar mencapai 5,4 juta hektar. Dari total luas izin itu, 1,1 juta hektar berada di Ketapang. Bisa dikatakan, izin terbesar berada di Ketapang.
Hal itu diperkuat lagi dengan data realisasi investasi. Jika dilihat dari realisasi investasi, Kalbar setiap tahun memang didominasi sektor primer, khususnya perkebunan.
Berdasarkan data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Kalbar, realisasi investasi di Kalbar periode Januari-September 2017 mencapai Rp 12,22 triliun atau 71,53 persen dari target nasional.
Investasi di daerah itu masih didominasi sektor primer dari bidang tanaman pangan dan perkebunan. Tahun-tahun sebelumnya juga tidak jauh berbeda, selalu didominasi sektor primer.
Demikian juga tahun 2016, total realisasi investasi di Kalbar Rp 17,78 triliun. Investasi didominasi sektor primer. Dari total investasi itu, Rp 6,01 triliun ada di Ketapang. Angka realisasi investasi di Ketapang merupakan yang terbesar dibandingkan dengan 14 kabupaten/kota lain di Kalbar. Salah satu penyumbang nilai investasi terbesarnya adalah perkebunan.
Tak hanya itu, daerah aliran sungai (DAS) utama di Kalbar sudah kritis. Berdasarkan data Walhi Kalbar, kondisi 70 persen dari sekitar 10 juta hektar DAS di Kalbar kritis akibat tambang dan perkebunan sawit. Air sungai sebagai sumber air bersih, perikanan, dan transportasi kini tercemar berbagai limbah.
Kondisi 70 persen dari sekitar 10 juta hektar daerah aliran sungai di Kalbar kritis akibat tambang dan perkebunan sawit.
Deforestasi
Ketua Dewan Pengurus Forest Watch Indonesia Christian Bob Purba mengatakan, banjir juga dipicu deforestasi. Periode 2009-2013 saja, deforestasi di Kalbar 426.390 hektar. Laju deforestasi Kalbar sekitar 100.000 hektar per tahun. Deforestasi disebabkan pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan.
Berdasarkan pantauan lapangan Kompas dalam beberapa kesempatan, daerah resapan air memang banyak yang gundul karena alih fungsi lahan. Kayu-kayu besar yang harusnya menjadi penyangga air malah ditebangi demi alih fungsi lahan.
Anton menegaskan, jangan ada lagi izin baru di daerah karena itu akan semakin membuat daerah sulit. Selain itu, izin-izin yang sudah ada hendaknya ditinjau ulang, terutama yang berada di gambut dan daerah yang topografinya 40-45 derajat.
Kondisi ini harus disikapi secara serius oleh pemangku kebijakan. Perlu ada langkah untuk mengembalikan fungsi-fungsi ekologis kawasan hutan. Penyelamatan kawasan hutan menjadi masalah yang krusial.
Oleh karena itu, berbagai regulasi terkait penyelamatan dan pemanfaatan sumber daya alam perlu segera dibuat. Dengan demikian, dalam jangka panjang ada skema penyelamatan sumber daya alam yang diimplementasikan.
Tidak bisa dimungkiri, di satu sisi, daerah membutuhkan investasi agar ekonominya bisa tumbuh. Namun, investasi itu hendaknya sejalan dengan upaya penyelamatan lingkungan sehingga tidak malah menimbulkan bencana di masyarakat. Pembangunan perkelanjutan jangan hanya sekadar selogan.
Selama puluhan tahun kekayaan alam Kalbar dikeruk. Kekayaan itu terus diambil. Kini saatnya manusia memberi kepada alam. Bencana yang semakin tahun semakin parah mengisyaratkan manusia hendaknya mengubah paradigma pengelolaan sumber daya alam.