Sapi, Biogas, dan Kemandirian Energi
Terobosan yang dibuat di Desa Pakutik sejatinya bukan sesuatu yang baru. Namun, bagi warga setempat, terobosan itu benar-benar baru dan besar manfaatnya.
Pada tahun 2015, mereka membuat program percontohan biogas dengan memanfaatkan kotoran ternak sapi. Dengan biogas, warga kini bisa mandiri dalam pemenuhan energi.
Kamis (23/11), lewat tengah hari, Maruki (57), warga Desa Pakutik, baru pulang dari ladang. Peluh masih membasahi tubuhnya.
Ia lalu meminta seorang anaknya agar dibuatkan minuman untuk tamu yang sudah menunggu sekitar 30 menit.
Tak lama kemudian, kopi panas bersama buah pisang dihidangkan. ”Silakan dinikmati,” ujar Maruki.
Api kompor biogas yang berasal dari limbah ternak tidaklah bau seperti yang dikira sebagian orang. Nyalanya juga biru.
Sambil menikmati kopi dan pisang matang yang masih segar, Maruki mengobrol bersama tamunya di teras depan rumah.
”Air untuk membuat kopi ini tadi dimasak menggunakan kompor biogas. Bahan baku gasnya dari kotoran sapi di kandang itu,” kata Maruki sambil menunjuk kandang yang ditempati empat sapi di samping rumahnya.
”Serius, Pak?” tanya seorang tamu. Ada keraguan dan sedikit kepanikan terpancar dari wajahnya.
”Ini kopi saya sudah mau habis, tapi enggak ada aroma dan rasa yang aneh sih. Kopinya tetap nikmat,” lanjutnya. Maruki bersama istri dan anak-anaknya pun tertawa.
Menurut Maruki, keluarganya dalam tiga tahun terakhir memanfaatkan biogas untuk memasak kebutuhan sehari-hari.
Api kompor biogas yang berasal dari limbah ternak tidaklah bau seperti yang dikira sebagian orang. Nyala apinya juga biru.
Maruki sebelumnya biasa memasak menggunakan ”gas melon”, sebutan untuk tabung elpiji 3 kilogram dan kayu bakar.
”Sekarang, kami tidak perlu repot lagi mencari kayu bakar. Enggak pusing juga saat ’gas melon’ langka dan mahal seperti sekarang. Kompor biogas kami selalu siap digunakan kapan saja,” tutur bapak lima anak yang sudah memiliki lima cucu ini.
Hal yang sama dirasakan Ningwar (44) sekeluarga yang rumahnya berjarak sekitar 1 kilometer dari rumah Maruki.
Menurut Ningwar, mereka tidak lagi pusing mencari gas melon sejak menggunakan kompor biogas. Apalagi, di desanya, harga gas elpiji 3 kg itu kini menembus Rp 30.000 per tabung.
”Waktu masih menggunakan gas melon, satu tabung rata-rata digunakan selama dua minggu sampai satu bulan. Sekarang sudah enggak pernah beli gas lagi. Biogas di rumah lancar terus,” lanjut petani yang memiliki tiga anak ini.
Sama seperti Maruki, api kompor biogas di rumah Ningwar yang siap dinyalakan kapan saja juga berasal dari kotoran sapi.
Ningwar memiliki tiga sapi. Kandang sapi persis di samping rumahnya, berada di bawah pepohonan karet. Dari kandang yang berjarak sekitar 10 meter dari dapurnya itulah biogas dialirkan dan dirasakan manfaatnya.
Percontohan
Menurut Kepala Desa Pakutik Suroso, biogas yang digunakan warganya saat ini adalah program percontohan dari pemerintah daerah dan perusahaan.
Desa Pakutik mendapat bantuan program biogas pada 2015 setelah mengajukan usulan ke Dinas Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Banjar.
Tantangannya, petani masih enggan mengeluarkan biaya untuk pembuatan biogas. Apalagi, pembangunan instalasi biogas tergolong cukup mahal, lebih kurang Rp 8 juta per unit.
Desa Pakutik yang terletak di Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, berjarak sekitar 70 kilometer dari Martapura, ibu kota Kabupaten Banjar. Desa tersebut berada di sekitar areal pertambangan PT Pamapersada Nusantara (PAMA) dan PT Prima Multi Mineral (PMN).
”Program biogas sangat besar manfaatnya bagi warga kami. Kini, warga yang menerima bantuan program itu tidak lagi bergantung pada elpiji karena sudah mandiri dalam pemenuhan energi,” tutur Suroso.
Koordinator Lembaga Pengembangan Bisnis (LPB) Banua Prima Persada (Baprida) Djoko Handono Warih mengemukakan, Desa Pakutik merupakan desa binaan PT PAMA dan PT PMM.
Program biogas di desa tersebut mengadopsi program biogas rintisan Grup Astra di Desa Simpang Empat, Kabupaten Banjar. LPB Baprida bertugas mendampingi petani penerima program biogas itu.
Di Simpang Empat, api perdana biogas dinyalakan pada Februari 2015. ”Program biogas di Simpang Empat terealisasi atas kerja sama PT PAMA, PT PMM, PT United Tractors Tbk, dan Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA),” ujar Djoko.
Menurut Djoko, program biogas yang dibuat di Simpang Empat dan Pakutik sedikit berbeda dari biogas yang pernah dibuat sebelumnya. Di sini, reaktornya tidak lagi menggunakan tandon berbahan fiber, tetapi langsung dicor atau dibeton sehingga lebih kuat dan tahan lama.
”Tenaga lokal juga sudah dilatih untuk membangun instalasi biogas serta memeliharanya. Jadi, kalau ada masalah atau kerusakan, tidak perlu lagi mendatangkan tukang dari Jawa,” katanya.
Diperluas
Program biogas yang sudah terealisasi di Desa Pakutik, menurut Djoko, masih perlu diperluas agar semakin banyak warga yang merasakan manfaatnya.
Namun, tantangannya adalah petani masih enggan mengeluarkan biaya untuk pembuatan biogas. Apalagi, pembangunan instalasi biogas tergolong cukup mahal, lebih kurang Rp 8 juta per unit.
”Biogas sebetulnya bisa menjadi investasi jangka panjang dan mewujudkan desa mandiri energi. Untuk itu, perlu sosialisasi terus-menerus agar masyarakat sadar betapa pentingnya memanfaatkan energi yang bersumber dari limbah ternak di sekitarnya,” ujarnya.
Ketua Kelompok Tani Tunas Jaya Agus Kusworo dari Simpang Empat, yang sudah terlatih membangun instalasi biogas, menjelaskan, instalasi biogas bisa digunakan secara komunal.
Biogas dari satu unit reaktor dimungkinkan dialirkan ke beberapa rumah yang berdekatan. Namun, kendala di Pakutik, sebagaimana di Simpang Empat, rumah warga berjauhan.
Biogas bisa menjadi investasi jangka panjang dan mewujudkan desa mandiri energi. Perlu sosialisasi terus-menerus agar masyarakat sadar betapa pentingnya memanfaatkan energi yang bersumber dari limbah ternak di sekitarnya.
Untuk program jangka panjang, kata Suroso, dirinya berencana memperluas program biogas di desanya agar semakin banyak warga yang merasakan manfaat biogas dalam kehidupan sehari-hari. Ia ingin Desa Pakutik menjadi desa mandiri energi.
”Ke depan, alokasi dana desa juga akan kami arahkan penggunaannya untuk pengembangan biogas. Sekarang ini, fokus kami masih pada pembangunan infrastruktur jalan dan drainase serta pengembangan badan usaha milik desa,” lanjutnya.