Harga Karet Masih Anjlok, Petani Cari Cara Bertahan Hidup
Setiap tahun petani karet masih menghadapi masalah yang sama, baik di hulu, tata niaga, maupun di hilir. Nasib petani karet suram karena nyaris tidak diperhatikan.
Harga karet selama 2017 anjlok hingga hanya Rp 5.000-Rp 6.000 per kilogram (kg). Pada Januari 2017, sebenarnya petani sempat bergembira karena harga karet cukup bagus, sekitar Rp 10.000 per kg.
Harga karet yang bagus itu tak terlepas dari kebijakan pengurangan ekspor oleh Dewan Tripartit Karet Internasional yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand.
Dewan Tripartit Karet Internasional telah mengurangi ekspor karet 615.000 ton selama 1 Maret hingga 31 Agustus 2016. Indonesia mengurangi ekspor karet alam 238.736 ton, Thailand 324.005 ton, dan Malaysia 52.259 ton.
Namun, beberapa bulan setelah itu, tepatnya April, harga karet di Kalimantan Barat anjlok hingga menjadi Rp 5.000-Rp 7.000 per kg. Anjloknya harga karet terus bertahan hingga Desember 2017.
Anjloknya harga karet membuat petani mencari berbagai cara agar tetap bisa memenuhi kebutuhan hidup. Ada yang kembali menekuni pekerjaan di perkebunan sawit dan bekerja pada proyek infrastruktur. Ada pula yang tetap menggantungkan hidup pada sektor karet karena tidak ada pilihan lain.
Anjloknya harga karet membuat petani mencari berbagai cara agar tetap bisa memenuhi kebutuhan hidup.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, setidaknya ada 319.396 kepala keluarga petani karet di Kalbar.
Tak kunjung selesai
Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Kalbar Jusdar Sutan, Rabu (20/12), mengingatkan, masalah pada komoditas karet tak kunjung selesai karena masalah dari hulu, tata niaga, hingga hilir tidak pernah diselesaikan. Di hulu, masalahnya di tingkat petani.
”Pemerintah hendaknya lebih mengoptimalkan penyuluh. Bantulah petani meremajakan karet, cara menyadap dan memelihara karet yang benar. Itu penting untuk meningkatkan produktivitas. Jika produktivitas tinggi meskipun harga rendah, minimal masih bisa menikmati penghasilan lebih tinggi,” tuturnya.
Masalah komoditas karet tak kunjung selesai karena masalah dari hulu, tata niaga, hingga hilir tidak pernah diselesaikan. Di hulu, masalahnya di tingkat petani.
Produktivitas tanaman karet di Indonesia, khususnya Kalbar, masih rendah, rata-rata 600 kg per hektar per tahun. Bandingkan dengan Thailand yang mencapai 1,8 ton per hektar per tahun. Akibatnya, pabrik karet kekurangan bahan baku. Dari 17 pabrik karet di Kalbar, sejak tahun 2015 ada dua pabrik yang tutup karena kekurangan bahan baku. Sekitar 500 pekerja pabrik kehilangan pekerjaan.
Sementara 15 pabrik karet, meskipun masih beroperasi, tidak dalam kapasitas penuh. Kapasitas produksi yang terpasang untuk 514.000 ton per tahun, tetapi bahan baku yang tersedia hanya 220.000 ton, karena itu pabrik tidak efisien.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman menilai, membangun sektor karet harus bersamaan dari hulu, tata niaga, hingga hilir. Tata niaganya juga belum diatur.
Seharusnya ada badan khusus di daerah yang bertugas membeli karet petani saat harga karet anjlok supaya tidak dimainkan spekulan. Di tingkat hilir, selain membangun industri lihir, pemerintah juga hendaknya mendorong pembentukan kelompok tani secara serius agar petani memiliki posisi tawar.
Seharusnya ada badan khusus di daerah yang bertugas membeli karet petani saat harga karet anjlok supaya tidak dimainkan spekulan.
Sementara itu, di tingkat hulu, meskipun sering ada pemberian bantuan bibit dan pupuk kepada petani, belum memperhatikan efektivitas program. Hanya sebatas penyerapan anggaran.
Selain itu, agar dilakukan hilirisasi di daerah. Dengan demikian, karet akan terserap di pabrik dalam negeri dalam bentuk produk jadi. Dengan demikian, ada nilai tambah dan meminimalkan dampak gejolak pasar internasional.
Sektor primer
Namun, jika dilihat dari realisasi investasi di Kalbar, belum ada realisasi untuk memperkuat industri hilir. Realisasi masih berkutat pada sektor primer. Realisasi investasi di Kalbar pada Januari-September mencapai Rp 12,22 triliun atau 71,53 persen dari target nasional.
Investasi di daerah itu masih didominasi sektor primer dari bidang tanaman pangan dan perkebunan. Investasi di bidang perkebunan pun bukan karet yang banyak diusahakan rakyat, melainkan sawit yang notabene diusahakan korporasi.
Berdasarkan data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Kalbar, realisasi investasi tersebut terdiri dari Rp 6,14 triliun penanaman modal asing (PMA) dan Rp 6,09 triliun penanaman modal dalam negeri (PMDN). Jika dilihat dari sektornya, PMA berjumlah 458 proyek dan 275 proyek untuk PMDN. Semuanya didominasi sektor primer bidang tanaman pangan dan perkebunan.
Jika dilihat per kabupaten, realisasi investasi terbesar terdapat di Kabupaten Ketapang sebesar Rp 2,95 triliun dari target Rp 11,9 triliun. Realisasi itu terdiri dari Rp 676,5 miliar dari PMDN dan Rp 2,28 triliun dari PMA.
Lada
Saat karet mulai dirasa sulit untuk menjadi penopang ekonomi rakyat. Harapan muncul dengan adanya komoditas lada. Namun, komoditas yang sebagian besar berada di perbatasan Indonesia-Malaysia ini pun tak luput dari fluktuasi harga.
Pada bulan Juli, harga lada di sejumlah wilayah Kalbar anjlok hingga 59 persen dalam enam bulan terakhir. Penyebabnya, rendahnya kualitas panen dan ada pula dugaan permainan pihak-pihak tertentu untuk mengatur harga.
Petani lada di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Sabinus, mengatakan, harga lada hitam biasanya Rp 70.000 per kg, sekarang hanya Rp 32.000 per kg. Lada putih juga demikian, turun dari Rp 150.000 per kg menjadi Rp 62.000 per kg.
”Anjloknya harga lada terjadi berlahan sejak Maret, baik jika dijual ke pembeli Malaysia maupun dalam negeri. Penurunan harga tahun ini sangat tajam. Beberapa tahun lalu, meskipun harga lada pernah turun, masih di level yang wajar,” ujar Sabinus.
Perlu ada keberpihakan dan keseriusan pemerintah dalam mengelola komoditas yang diusahakan rakyat. Sebab, menyangkut kesejahteraan mereka, jika tidak ada keseriusan dan keberpihakan pada komoditas itu, setiap tahun akan selalu bergelut dengan masalah yang sama. Struktur ekonomi daerah tidak ada perubahan.