JAKARTA, KOMPAS — Pekerja rumahan yang selama ini menjadi bagian dari proses produksi barang di perusahan belum terjamin hak-haknya. Untuk itu, keberadaan mereka harus diakui melalui perangkat regulasi yang mungkin untuk memastikan semua hak mereka terpenuhi.
Hal itu mengemuka dalam diskusi atas hasil penelitian yang dilakukan Trade Union Rights Center (TURC) Indonesia di Jakarta, Jumat (22/12). Hasil penelitian dipaparkan Koordinator Divisi Informasi TURC Yasinta Sonia.
Turut hadir menjadi narasumber Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kementerian Tenaga Kerja John W Daniel Saragih serta Koordinator Divisi Penelitian dan Pengembangan TURC Syarifah Ratnawati. Diskusi tersebut merupakan bagian dari rangkaian Festival Perempuan Pekerja Rumahan yang dilaksanakan TURC.
Penelitian dilakukan dalam setahun terakhir di Jakarta Utara, DKI Jakarta, serta Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Sukabumi di Jawa Barat. Penelitian difokuskan pada perusahaan penghasil sepatu di Jakarta, rotan di Cirebon, dan garmen di Sukabumi.
Yasinta menyatakan, dari penelitian tersebut, terungkap hampir 70 persen proses produksi barang dikerjakan di luar pabrik. Perempuan, terutama ibu rumah tangga, mengerjakan pekerjaan tersebut di rumah.
”Artinya, mereka bagian dari rantai produksi barang, termasuk sejumlah merek terkenal. Sayang, mereka tidak diakui sebagai pekerja formal dengan segala hak yang melekat,” katanya.
Karena berstatus pekerja informal, pekerja rumahan tidak mendapatkan hak memadai. Mereka diupah rendah. Upah mereka berkisar Rp 100.000-Rp 300.000 per minggu. Upah itu masih di bawah upah minimum di tiga daerah tersebut. Total seminggu mereka menghabiskan hingga 65 jam, jauh melampaui pekerja formal yang ”hanya” 40 jam.
Selain masalah upah, pekerja rumahan juga tak mendapatkan jaminan sosial, berupa jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan.
Perlu regulasi
Yasinta menyebutkan, dengan posisinya dalam rantai produksi barang, pekerja rumahan perlu diatur dengan regulasi untuk memastikan hak-hak mereka terpenuhi. Regulasi tersebut bisa diatur di tingkat kabupaten atau provinsi yang mencantumkan tanggung jawab perusahaan. Regulasi itu minimal semacam prosedur standar operasi (SOP) penggunaan pekerja rumahan.
Untuk jangka panjang, keberadaan pekerja rumah perlu dipikirkan lagi dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Syarif menambahkan, pekerja rumahan menjadi kontributor utama dalam gerak ekonomi keluarga. Karena itu, selayaknya mereka diberi perlindungan. Revisi undang-undang bisa saja menjadi salah satu opsinya.
John mengakui, pekerja rumahan tidak terakomodasi dalam regulasi ketenagakerjaan saat ini. Namun, hak-hak mereka sebaiknya jangan hanya dilihat dalam kacamata hukum positif.
Pada kesempatan berbeda, mantan wartawan Kompas, Maria Hartiningsih, menyatakan, media sebagai corong publik tidak memberikan perhatian besar terhadap isu pekerja informal. Kalaupun diberitakan, media tidak mengangkat masalahnya secara komprehensif.
”Padahal, inti masalah pekerja informal terkait dengan isu hak asasi manusia,” katanya.