Siswa dan Guru Terpapar Paham Radikal dan Intoleran
Oleh
Videlis Jemali
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah siswa dan guru terpapar paham radikal dan intoleran melalui materi ajar dan media sosial. Pemerintah dan kelompok moderat perlu lebih aktif untuk menutup ruang-ruang berkembangnya paham yang mengancam keutuhan bangsa-negara.
Guru Besar Antropologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Jumhari Makruf memaparkan hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta dalam acara kajian titik temu ke-41 yang dilaksanakan Nurcholis Madjid Society di Jakarta, Kamis (21/12). Selain Jumhari, hadir sebagai narasumber Direktur Masyarakat Dialog Antaragama Trisno S Sutanto.
”Penelitian ini menunjukkan, paham radikal dan intoleran di dunia pendidikan seperti api dalam sekam,” ujar Jumhari.
Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta tersebut dilakukan terhadap 1.859 siswa SMA dan mahasiswa serta 322 guru dan dosen di 65 kota di 34 provinsi. Penelitian dilaksanakan pada 1 September-7 Oktober 2017.
Hasilnya, 34,3 persen siswa memiliki pandangan (opini) intoleran dengan 17,3 persen mewujudkannya dalam tindakan. Hasil penelitian tersebut juga mengungkapkan, 58,5 persen siswa punya opini radikal dan 7 persen menyatakannya dalam tindakan.
Di kalangan guru, 29,2 persen berpikir intoleran dan 24,2 persen mewujudkannya menjadi aksi nyata. Sebanyak 23 persen guru punya pandangan radikal dan 6,4 persen dari sampel menyatakannya dengan tindakan konkret.
Di kalangan guru, 29,2 persen berpikir intoleran dan 24,2 persen mewujudkannya menjadi aksi nyata. Sebanyak 23 persen guru punya pandangan radikal dan 6,4 persen dari sampel menyatakannya dengan tindakan konkret.
Menurut Jumhari, hidupnya paham radikal dan intoleran disebabkan akses sumber pengetahuan agama yang gampang di era digital. Media sosial dengan konten paham-paham keras diakses siswa. Ini dikonfirmasi data 84,94 persen dari responden pengguna internet berkecenderungan radikal dan intoleran.
Selain konten media sosial, lanjut Jumhari, materi ajar terutama untuk pelajaran agama di sekolah dan kampus turut membuka ruang tumbuhnya paham radikal dan intoleran. Dengan alasan otonomi, sejumlah daerah memproduksi buku yang mengandung dua paham tersebut.
Kampanye positif
Untuk mengatasi kondisi itu, kelompok-kelompok moderat harus aktif mengisi media sosial dengan kampanye positif secara masif. Jumri terutama menekankan agar konten media sosial terkait tema-tema itu yang menjawab keingintahuan generasi muda. Tema tersebut diformulasikan secara sederhana.
Terkait materi ajar, pemerintah perlu memeriksa buku-buku tersebut. Untuk jangka panjang, guru agama perlu dilatih, baik terkait perkembangan materi ajar, metode pembelajaran, maupun wawasan kebangsaan.
Siswa perlu diberi ruang untuk bisa berjumpa dengan siswa lain dari latar belakang agama, suku, dan budaya berbeda. Ruang-ruang seperti itu menumbuhkembangkan pemahaman dan penerimaan atas perbedaan.
Trisno menyebutkan, siswa perlu diberi ruang untuk bisa berjumpa dengan siswa lain dari latar belakang agama, suku, dan budaya berbeda. Ruang-ruang seperti itu menumbuhkembangkan pemahaman dan penerimaan atas perbedaan.
”Para pemuka agama harus menggalang terobosan-terobosan konkret seperti ini dengan menggerakkan banyak orang,” ucapnya.