JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia hari Senin (25/12) memberikan pengurangan masa tahanan atau remisi kepada 9.333 warga binaan beragama Nasrani yang berkelakuan baik di seluruh Indonesia. Selain sebagai motivasi untuk warga binaan untuk terus berkelakukan baik, remisi yang diberikan dinilai menjadi salah satu upaya mengatasi permasalahan jumlah narapidana atau tahanan yang melebihi kapasitas sel (over capacity) lembaga pemasyarakatan di Indonesia.
Remisi Natal tahun ini juga diberikan kepada mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.
Kepala Subbagian Publikasi Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Rika Aprianti mengatakan, remisi yang diberikan pada perayaan Natal hari ini hanya ditujukan kepada narapidana yang beragama Katolik dan Kristen. Hal itu sesuai dengan ketentuan remisi hari raya bahwa warga binaan akan mendapatkan remisi keagamaan sesuai dengan hari besar agamanya.
”Warga binaan Muslim akan mendapatkan remisi saat Idul Fitri, warga binaan beragama Buddha akan menerima remisi saat Waisak, dan warga binaan beragama lain sesuai dengan hari raya agamanya,” ujar Rika saat dihubungi Kompas, Senin.
”Alasan utamanya memang adalah agar (remisi) menjadi motivator dan reward (hadiah) kepada narapidana yang berkelakuan baik,” kata Rika.
Dari 9.333 warga binaan yang mendapatkan remisi pada hari ini, 175 langsung dinyatakan bebas. Jumlah pengurangan masa tahanan yang diberikan bervariasi, mulai dari 15 hari hingga dua bulan. Lama remisi yang didapat tergantung dari masa tahanan yang sudah dijalani warga binaan tersebut.
Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mendapatkan remisi Natal selama 15 hari. Pada 9 Mei, Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis Basuki dengan pidana 2 tahun penjara. Ia terbukti melanggar Pasal 156 Huruf a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penistaan agama.
”Remisi Natal didapatkan (Basuki) sebanyak 15 hari karena yang bersangkutan dianggap memenuhi persyaratan substantif dan administratif. Salah satunya beliau sudah menjalani masa tahanan selama enam bulan,” tutur Rika.
Dari jumlah remisi yang diberikan hari ini, terdapat tiga wilayah yang warga binaannya mendapatkan remisi dengan jumlah terbanyak. Tiga wilayah tersebut adalah Sumatera Utara (1.844 warga binaan), Sulawesi Utara (952 warga binaan), dan Papua (814 warga binaan).
Efisiensi
Rika menjelaskan, selain sebagai pendorong agar para warga binaan berkelakuan baik, remisi yang diberikan juga menjadi salah satu cara untuk melakukan efisiensi, baik dari segi anggaran operasional maupun permasalahan kapasitas berlebih.
Permasalahan kapasitas berlebih saat ini menjadi salah satu persoalan yang dihadapi lapas di Indonesia. Hingga saat ini, terdapat 233.000 warga binaan yang menempati 526 lapas dan rumah tahanan di seluruh Indonesia.
”Penghematan yang dilakukan untuk remisi Natal tahun ini saja itu sekitar Rp 3,8 miliar,” tutur Rika. Penghitungan penghematan tersebut didapat dari jumlah hari yang dikurangi, yaitu 260.760 hari dikalikan biaya makan seorang warga binaan per harinya sebesar Rp 14.000.
”Pemberian remisi ini juga sebagai salah satu strategi mengurangi kepadatan hunian (lapas dan rutan). Seperti yang kita tahu, permasalahan di lapas adalah over kapasitas,” kata Rika.
Bukan solusi
Kepala Bidang Advokasi Fair Trial Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana menilai, pemberian remisi yang dijadikan salah satu strategi untuk mengurangi kepadatan hunian rutan merupakan hal yang tidak tepat. Diperlukan cara lain secara menyeluruh dibandingkan hanya bergantung pada pemberian remisi.
”Tidak mungkin bisa selesai permasalahan over kapasitas hanya dengan remisi. Permasalahan tersebut juga terkait dengan sistem peradilan terpadu yang ada di Indonesia,” tutur Arif.
Menurut Arif, sistem peradilan terpadu di Indonesia berperan besar terhadap permasalahan kapasitas berlebih di rutan dan lapas. Para penegak hukum di Indonesia dinilainya cenderung berorientasi memidanakan seseorang dibandingkan dengan mengadili.
”Doktrin hukum pidana itu, pemidanaan seseorang adalah upaya hukum terakhir. Kalau sekarang justru terlihat cenderung memidana menjadi prioritas. Padahal, selain kurungan penjara, ada hukuman kerja sosial dan denda,” ujar Arif.
Arif menyoroti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah dirancang oleh Dewan Perwakilan Rakyat saat ini. Dalam RKUHP tersebut, terdapat 1.711 tindak pidana yang diancam hukuman pidana, sementara hanya 59 yang diancam hukuman kerja sosial. Hal tersebut hendaknya dapat menjadi perhatian, bukan hanya bagi Kemenkumham, melainkan juga para anggota DPR sebagai pembuat undang-undang.
”Yang menurut saya juga keliru itu terpidana narkoba. Seharusnya mereka direhabilitasi, bukan dipenjara. Kalau semua dipenjara, hal itu jelas akan menimbulkan over capacity. Seperti yang kita ketahui, saat ini penghuni lapas sebagian besar terpidana narkoba,” kata Arif. (DD14)