Cukup Jakarta Saja, Jangan yang Lain
Pergantian tahun dalam hitungan hari. Tahun depan, sejumlah agenda, termasuk pemilihan kepala daerah, digelar di lima kabupaten/kota di sekitar Jakarta, yakni Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, Kota Tangerang, dan Kabupaten Tangerang.
Melihat Jakarta hampir setahun terakhir, tidaklah mungkin melupakan dua babak pertarungan dalam Pemilihan Kepala
Daerah DKI. Aroma ”medan laga” pun masih tercium hingga kini.
Masih terekam jelas bagaimana tiap-tiap kubu memainkan isu demi memenangi pilkada, mulai dari cara santun hingga saling serang, saling tangkis, dan saling hindar. Pertarungan tak hanya terjadi antarkandidat atau tim kampanye. Pribadi atau kelompok yang tak berurusan langsung dengan calon atau tim kampanye pun berhadap-hadapan.
Adu program dan argumentasi tidak hanya terjadi di media cetak, media elektronik, televisi, atau media daring. Justru di media sosial pertarungan keras, tajam, panas, dan tanpa tedeng aling-aling (vulgar) muncul secara banal. Sungguh, tidaklah elok.
Sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) mencuat tak terkendali. Beranak pinak membelah bangsa, masyarakat, komunitas, hingga keluarga. Media sosial menunjukkan rupa buruknya.
Ada kisah, bagaimana suami istri keluarga sederhana di Jakarta Utara dengan latar pendidikan rendah harus memilih. Pada putaran kedua, mereka membagi pilihan karena pertimbangan keyakinan.
Belakangan terbukti bahwa isu SARA diproduksi dan direproduksi secara terencana dan masif. Hukum sudah berproses, tetapi berita bohong, fitnah, isu memecah belah, hingga perilaku antikebinekaan masih tersisa.
Para pengamat sosial dan politik sepakat, inilah babak pilkada paling panas dan kasar, hingga mengancam indahnya kebinekaan dan pluralisme. Barangkali inilah yang disebut dosen Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Gun Gun Heryanto, dengan ”ritus prosedural mengerikan” yang menghalalkan segala cara untuk berkuasa.
Hari esok
Semesta Jakarta sudah memutuskan, pergantian pemimpin Ibu Kota harus terjadi. Inilah buah sistem demokrasi yang harus diterima dan dihargai.
Saatnya Jakarta bergerak maju. Lebih baik dari era-era sebelumnya meskipun masih ada yang pesimistis. Memberi waktu kepada pasangan Gubernur DKI Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno, itulah yang harus dilakukan. Salah satunya adalah memastikan rekonsiliasi pascapilkada yang membelah.
Anies menyatakan, memimpin Jakarta tidaklah mudah. Jakarta adalah ibu kota negara. Bahkan, salah satu kota yang jadi perhatian di Asia. Di kancah nasional, Jakarta adalah acuan. Pembangunan daerah-daerah pun meniru Ibu Kota. Baik-buruknya Jakarta sedikit banyak memengaruhi wajah nasional.
Dari sisi penataan kota, satu tahun terakhir muncul asa pada Jakarta yang bersih, rapi, dan tertata apik. Secara perlahan tapi pasti, warga Ibu Kota mulai merasakan sentuhan layanan birokrasi yang melayani.
Seiring pergantian pemimpin, harus diakui, harapan pada Jakarta yang lebih baik sempat meredup. Namun, standar pembangunan telah tertancap.
Jangan ada kata mandek menuju hal-hal baik. Apalagi mundur. Satu tahun ke depan adalah ujian menjawab harapan warga.
Dari sisi politik, dari Jakarta, Komisi Pemilihan Umum Pusat bergegas membuat aturan meredam ”cetakan” isu SARA yang akan digunakan dalam pilkada serentak di 171 daerah tahun 2018. Lima di antaranya di wilayah Jabodetabek.
Sosiolog Tamrin Amal Tomagola berujar, apa yang dilakukan dalam pilkada di DKI jangan diterapkan di daerah lain karena hanya akan memelihara konflik.
Sudahlah, cukup Jakarta saja.
(GSA)