Merawat ”Indonesia Mini” di Tanah Harapan
Sejak belasan dasawarsa lalu, Lampung menjadi tanah harapan bagi ratusan ribu transmigran dari Jawa dan Bali. Bukan semata perbaikan ekonomi keluarga yang diraih, mereka juga mampu merawat keberagaman.
Nanik Birhaniah (60) tak akan lupa kenangan saat pertama kali menginjakkan kaki di Lampung pada 1974. Saat itu di sekelilingnya hanya ada hutan dan semak belukar.
Usianya waktu itu 17 tahun. Ia yang datang bersama kedua orangtuanya dan dua saudara kandung mengikuti program transmigrasi spontan. Keluarga asal Yogyakarta itu ditempatkan di kawasan Way Abung II, Kabupaten Lampung Utara, kini bagian dari Desa Mulya Jaya, Tulang Bawang Tengah, Kabupaten Tulang Bawang Barat.
”Selain keluarga saya, ada empat tetangga dari Yogyakarta yang ikut transmigrasi,” kata Nanik, sambil melihat wajah ayah dan ibunya yang sudah meninggal belasan tahun lalu dalam foto yang mulai buram, Kamis (21/12). Muzakir, ayahnya, saat itu hanya memberi tahu mereka akan pergi ke tanah harapan di ujung Sumatera.
Selain keluarga saya, ada empat tetangga dari Yogyakarta yang ikut transmigrasi
Setiap keluarga tidak langsung mendapatkan rumah dan tanah seluas 2 hektar seperti yang dijanjikan pemerintah. Mereka harus menunggu tiga bulan sehingga belum bisa bekerja dan harus menumpang di rumah transmigran yang lebih dulu berada di sana.
Berbekal tabungan selama bekerja di Yogyakarta, keluarga Nanik membeli rumah semipermanen dari warga di desa lain, berukuran 4 meter x 6 meter.
Setelah menerima rumah dan tanah fasilitas pemerintah, ayah Nanik yang semula pembatik banting setir menjadi petani. Mereka harus bekerja keras untuk membuka lahan pemberian negara itu. Dengan bergotong royong, semak belukar diubah menjadi kebun singkong, karet, dan kelapa sawit.
Guna memenuhi kebutuhan hidup, pemerintah memberi jatah bahan pokok selama setahun. Namun, setelah jatah bahan pokok habis, lahan belum produktif.
Kondisi ini membuat ekonomi keluarga transmigran, termasuk keluarga Nanik, kembang kempis. Untuk mendapatkan lauk, mereka berburu hewan liar, seperti ular dan babi hutan. Setelah dikuliti, daging hewan itu digarami, direbus, lalu digoreng. ”Waktu itu, kami tidak berpikir soal haram atau halal, yang penting bisa makan dan tetap hidup,” ucap Nanik.
Semua kerja keras itu berbuah hasil. Kini, setelah 43 tahun berlalu, Nanik yang menikah dengan Wisnu Katiran (69), juga pendatang dari Yogyakarta, sudah punya rumah yang tergolong megah, dan sepeda motor. Pasangan itu juga menyekolahkan ketiga anaknya hingga minimal lulus SMA, bahkan salah satunya menjadi sarjana.
Dua anak pasangan Wisnu-Nanik yang bekerja di Pulau Jawa juga mampu membeli kebun karet di Desa Mulya Jaya untuk dikelola bersama. ”Dulu, kami pernah punya kambing 30 ekor, tapi dijual semua karena tidak ada yang mengurus,” kata Wisnu, yang kini aktif sebagai seniman karawitan Jawa di Tulang Bawang Barat.
Melestarikan budaya
Kerja keras dan kemampuan beradaptasi membuat Wisnu bertahan di Lampung, tetap dengan menjaga identitas sebagai keturunan Jawa. Tahun 1982, ia mendirikan Sanggar Seribu Daya. Sanggar itu menjadi wadah bagi transmigran lain yang rindu budaya kampung halaman. Di sanggar itu, mereka berlatih ketoprak dan karawitan.
Sesekali, Wisnu juga menerima panggilan manggung. Meski order itu pasang surut, Wisnu tetap aktif berkesenian. ”Saya pernah mencari nafkah dengan berkebun, beternak, sampai berjualan es lilin. Tapi, seni adalah hidup saya,” ucap Wisnu yang kini lebih sering diundang sebagai dalang dalam acara perkawinan adat Jawa itu.
I Wayan Sukadana (49), keturunan transmigran Bali generasi ke-2 kelahiran Lampung, juga setia dengan tradisi leluhurnya. Wayan yang mengelola bisnis home stay menampilkan dekorasi khas Bali di penginapannya. Wayan juga mendatangkan patung Ganesha dari Bali. Patung itu diletakkan di halaman, menghadap ke gerbang.
Para transmigran menemui kenyataan bahwa mereka datang dari beberapa daerah, berlatar belakang suku yang beragam, dan harus bertetangga dengan warga asli Lampung. Dari saling melihat, berkomunikasi, saling mengenal, lalu berbaur.
Pembauran itu terlihat dalam diri Wayan yang mampu berkomunikasi dalam bahasa Lampung atau Jawa meski logat Balinya kental. ”Ada juga yang menikah dengan warga berbeda suku sehingga kami lebih kompak,” ucap Wayan
Dewan Penasihat Federasi Marga Empat, yang menaungi komunikasi antarmarga asli Kabupaten Tulang Bawang Barat, Hermani menuturkan, warga asli Lampung menerima kehadiran pendatang.
Kini, mayoritas penduduk asli Lampung bermukim di 11 kampung tua di Tulang Bawang Barat. Kampung-kampung tua itu di dekat aliran sungai Way Kiri dan Way Kanan. Penduduk asli Lampung juga masih menjaga tradisi, antara lain menggelar begawi atau upacara pernikahan, pemberian adokh (gelar marga), dan cakak pepadun atau tradisi pengangkatan pemimpin dalam keluarga besar.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Tulang Bawang Barat Hasan Badri mengatakan, sekitar 80 persen penduduk Tulang Bawang Barat merupakan warga transmigran dan keturunannya, asal Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Mereka menyebar di sembilan kecamatan dan umumnya bisa beradaptasi serta hidup berkecukupan.
Keberagaman itulah yang membuat Bupati Tulang Bawang Barat Umar Ahmad menggagas konsep kota multikultural dengan meletakkan seni budaya sebagai dasar pembangunan daerah. Dua tahun terakhir, pemkab bekerja sama dengan para seniman dari Studio Hanafi dari Jawa Barat mendampingi anak-anak muda mengembangkan budayanya, dan ditampilkan dalam Festival Tubaba.
”Pemerintah tak ingin hanya menyiapkan infrastruktur, tetapi juga sumber daya manusianya. Tulang Bawang Barat diharapkan menjadi percontohan kota multikultural,” kata Umar, di sela-sela pembukaan Festival Tubaba, Rabu (20/12).