JAKARTA, KOMPAS — Satu per satu upaya hukum yang ditempuh mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto kandas. Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta pada 7 Desember telah menolak gugatan mantan Ketua Umum Golkar itu dalam perkara pencegahan dirinya ke luar negeri dan pencabutan sementara paspornya oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Kuasa hukum Novanto dalam perkara ini, Muhammad Ainul Syamsu, Selasa (26/12) di Jakarta, mengatakan, pihaknya tidak akan mengajukan upaya hukum lanjutan atau banding. ”Sampai dengan hari ini, kan, perkara itu telah melewati batas waktu yang diberikan oleh hakim untuk mengajukan upaya hukum lanjutan atau tidak. Kami tidak mengajukannya sehingga putusan itu secara otomatis seharusnya telah berkekuatan hukum tetap,” katanya.
Mengenai perkara Novanto itu, Ainul mengembalikannya kepada pihak Novanto dan keluarga. Sebab, dalam perkara Novanto, dirinya hanya menangani perkara terkait gugatan ke PTUN.
”Soal Pak Nov menerima putusan PTUN ini atau tidak, kan, itu tergantung kepada beliau pribadi. Namun, sampai hari ini, kami tidak ada arahan untuk mengajukan upaya banding. Jadi, ya, putusan itu yang berlaku,” tutur Ainul.
”Kami berpikir, Pak Nov mungkin sekarang lebih fokus pada upaya pembelaan dalam perkara pidananya karena sekarang perkara itu masih berlangsung,” lanjutnya.
Kami berpikir, Pak Nov mungkin sekarang lebih fokus pada upaya pembelaan dalam perkara pidananya karena sekarang perkara itu masih berlangsung.
Akan tetapi, baik pihak Novanto maupun Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM sampai saat ini belum menerima salinan putusan lengkap dari PTUN.
Perkara gugatan terhadap Dirjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM ini ditempuh pihak Novanto karena merasa surat pencegahan ke luar negeri dan pencabutan paspor sementara yang dikeluarkan Dirjen Imigrasi Nomor IMI.5.GR.02.05-3.0656, tertanggal 2 Oktober 2017, bertentangan dengan hukum.
Setelah status tersangka Novanto sempat dibatalkan oleh hakim praperadilan Cepi Iskandar, 29 September lalu, pihak Novanto beralasan seharusnya pencegahan oleh Dirjen Imigrasi dihentikan dan paspor dikembalikan. Namun, berdasarkan permintaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, pencegahan terhadap Novanto itu diperpanjang per 2 Oktober hingga enam bulan ke depan.
Dalam petitum gugatannya ke PTUN, Novanto meminta majelis agar menyatakan surat pencegahan itu tidak sah atau batal, dan memerintahkan kepada tergugat (Dirjen Imigrasi) agar mencabut surat pencegahan ke luar negeri tersebut.
Namun, majelis hakim PTUN yang dipimpin Oenoen Pratiwi serta dua anggota majelis, Tri Cahya Indra Permana dan Rony Erry Saputro, memutuskan untuk menolak gugatan Novanto tersebut. ”Menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 263.000,” ucap Hakim Oenoen dalam amar putusannya yang dikutip di situs PTUN Jakarta.
Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Agung Sampurno menyambut baik putusan PTUN tersebut. Sedari awal pihaknya meyakini bahwa hakim tidak akan mengabulkan gugatan Novanto karena Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Imigrasi secara jelas menyebutkan, Ditjen Imigrasi hanya melaksanakan permintaan pencegahan yang diajukan sejumlah lembaga dan instansi. Salah satunya ialah penyidik KPK. Oleh karena itu, pihak berwenang yang mencabut perintah pencegahan ke luar negeri itu bukanlah Dirjen Imigrasi, melainkan penyidik KPK.
Sedari awal Ditjen Imigrasi meyakini bahwa hakim tidak akan mengabulkan gugatan Novanto karena Undang-Undang Imigrasi secara jelas menyebutkan, Ditjen Imigrasi hanya melaksanakan permintaan pencegahan yang diajukan sejumlah lembaga dan instansi.
”Berbeda dengan lembaga lain, seperti kepolisian, BNN, atau Kementerian Keuangan, permintaan dari penyidik KPK dalam melakukan pencegahan terhadap seseorang itu sifatnya adalah perintah. Oleh karena itu, permintaan tersebut harus dipenuhi oleh Ditjen Imigrasi,” tutur Agung.
Kuasa hukum Novanto juga sempat ragu untuk meneruskan gugatan ke PTUN karena pernah ada rencana pencabutan gugatan. Namun, akhirnya perkara itu diteruskan setelah Novanto secara pribadi meminta perkara tersebut diteruskan kendati dirinya telah menjadi tahanan KPK. Total, PTUN menggelar enam kali persidangan sejak 14 November lalu dalam perkara ini.