Busung Lapar yang Membangunkan Kesadaran
Masih teringat tragedi busung lapar tahun 1980-an karena hilangnya sumber makanan, baik di darat maupun di laut.
Santa dyuh santa prthivi, santam idam urvantariksam, santa udan vatir apah, santa nah sautu osadih.
”Semoga langit penuh damai, semoga bumi bebas dari gangguan-gangguan, semoga suasana lapisan udara yang meliputi bumi yang luas menjadi tenang, semoga perairan yang mengalir menyejukkan, dan semoga suasana tanaman dan tumbuhan menjadi bermanfaat untuk kami.” (Kitab Atharvaveda XIX.9.1)
Pesan suci inilah yang teringat saat mengunjungi Desa Pemuteran di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Desa sederhana nan tenang. Desa yang bisa dijangkau sekitar empat jam dari Denpasar, Bali, atau dua jam dari Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, ini pernah mengalami langsung pahit dan manisnya mengelola laut.
Masih teringat tragedi busung lapar karena hilangnya sumber makanan, baik di darat maupun di laut. Peristiwa yang berlangsung tahun 1980-an itu menjadi momentum berbenah diri dalam relasi dengan lingkungan demi memperbaiki hubungan dengan sesama manusia serta Sang Pencipta.
Mengunjungi Pemuteran kini akan sulit memercayai bahwa desa yang makmur dari usaha pariwisata berkualitas lewat wisata selam itu pernah memiliki anak-anak yang kekurangan pangan. Kenangan masa sulit itu sangat membekas dalam ingatan Made Gunaksa (45), pecalang segara (laut) Desa Pemuteran.
Seperti masuk ke perangkap lingkaran setan, masyarakat dengan motif mengisi perut kala itu mengambil manfaat dari laut dengan cara yang destruktif. Bom dipakai untuk mencari ikan sehingga merusak terumbu karang. Sebagian karang juga diambil untuk bahan bangunan. Karang diolah menjadi kapur melalui pengolahan tungku kayu bakar. Kayu itu pun diambil dari hutan.
Sumber makanan utama dari laut menjadi sangat terbatas. Mencari ikan yang biasanya hanya butuh 1-2 jam, saat itu berubah menjadi 1-2 hari dengan risiko biaya membengkak. Ajaran Tri Hita Karana yang menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dan Hyang Widi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa (Parahyangan), sesama (Pawongan), dan alam lingkungan (Palemahan) sempat terabaikan.
Makanan warga kala itu adalah gadung dari hutan. Sebelum diolah, harus dibawa ke pantai untuk dibersihkan karena mengandung racun. ”Kami juga pernah makan batang lunak pohon kamboja. Kalau mau membuat urap, kami menggunakan daun pohon intaran,” kata Jero Mangku Pura Pemuteran, Ketut Wirdika (42), mengenang kisah pahit itu.
Perintis konservasi di Desa Pemuteran dan pendiri organisasi Reef Seen, Christopher E Brown, mengatakan, alam yang rusak justru semakin membuat mereka lapar. Tindakan perusakan karang dan penangkapan ikan dengan peledak tak bisa dicegah petugas patroli gabungan pemerintah, polisi, dan TNI.
”Awig-awig”
Pola hidup yang merugikan lingkungan itu terbukti sulit ditertibkan dengan perangkat hukum positif. Hukum tak mampu menimbulkan efek jera saat berhadapan dengan warga dengan perutnya yang lapar.
Hingga muncul solusi untuk menggunakan hukum adat atau awig-awig. Ketentuan adat yang disepakati tahun 2000 itu berisi larangan mencari terumbu karang untuk bahan bangunan, mencari ikan dengan bom atau racun. Juga dilarang menangkap ikan hias untuk diperdagangkan.
Seperangkat sanksi dipersiapkan untuk pelanggarnya, mulai dari peringatan, tidak dilayani upacara adat, hingga dikeluarkan dari desa adat atau kesepekang. Pecalang segara dibentuk untuk menegakkan awig-awig. ”Tugas kami berpatroli di lepas laut dan pantai untuk mengawasi pelanggaran-pelanggaran awig-awig. Pecalang bersama lembaga swadaya masyarakat mengonservasi kembali terumbu karang yang rusak,” kata Made Gunaksa.
Konservasi di Desa Pemuteran itu menghasilkan perbaikan terumbu karang yang rusak. Berbagai cara dilakukan dengan membuat biorock, taman dewa, dan pura di dasar laut.
Di darat, pesisir pantai dijaga dari kebisingan dan material sampah. Salah satunya dengan membuat aturan pedagang dilarang berjualan di tepi pantai. Di gunung, konservasi tanaman dilakukan untuk melindungi satu-satunya sumber air Desa Pemuteran yang berada di Pura Pemuteran.
Nyepi Segara
Modalitas kearifan lokal menjaga laut itu juga dilakukan masyarakat Bali di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Berbeda dengan Pemuteran yang daerahnya gersang dan tandus, daerah tiga pulau yang berjuluk ”Surga Biru” ini masih memiliki areal agraris, sumber air bersih, pesisir, dan keindahan alam bawah laut.
Namun, mereka pernah melakukan kesalahan yang sama, seperti di Desa Pemuteran, yakni tidak bijak dalam memanfaatkan sumber daya alam. Penggunaan bom ikan, penangkapan ikan dengan kompresor, dan perburuan hiu atau pari manta pernah mencoreng nama Nusa Penida.
Seiring inisiatif daerah menjadi Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida, tradisi Nyepi Segara yang memberikan waktu istirahat bagi laut menemukan momentum. Ritual penutupan laut bagi aktivitas perikanan, pariwisata, dan penyeberangan itu dilakukan setiap purnama sasih kapat atau purnama keempat berdasarkan penanggalan Bali. Hal itu kini rutin dilakukan yang biasanya dilakukan pada awal Oktober.
Tradisi itu sudah dilakukan masyarakat sejak tahun 1600-an atau saat masa pemerintahan Raja Dalem Waturenggong. Nyepi Segara merupakan bentuk penghormatan kepada Dewa Baruna, yang adalah penguasa laut dan samudra, serta sebagai wujud bentuk menjaga hubungan antara manusia dan alam sekitar.
”Laut telah memberikan kehidupan kepada kami, maka kami memberikan waktu istirahat baginya,” kata Prajuru Pura Ped Nusa Penida, Nyoman Sukarta, kepada tim Jelajah Terumbu Karang, Rabu (25/10).
Majelis Alit Nusa Penida, Wayan Supartawan, menambahkan, para tokoh adat berupaya menjaga ajaran Sadkertih. Sad artinya enam dan kertih artinya suatu karya yang positif. Keenam hal yang patut dijaga itu adalah Atma (kesucian) Kertih, Samudra (laut) Kertih, Wana (hutan) Kertih, Danu (sumber-sumber air tawar) Kertih, Jagat (bumi) Kertih, dan Jana (kualitas manusia) Kertih.
Wayan Supartawan ingin di tengah pesatnya perkembangan pariwisata yang pesat, alam dan manusia tetap terjaga baik. Konkretnya, para tokoh adat juga berupaya membuat awig-awig, aturan desa untuk melindungi keharmonisan.
Selain pelindungan bagi laut, masyarakat setempat juga memiliki perlindungan terhadap penangkapan burung. Tidak mengherankan, burung jalak bali yang statusnya terancam punah itu berkembang biak setelah dilepasliarkan 11 tahun lalu di Nusa Penida.
Dalam Babad Nusa Penida disebutkan, Nusa Penida berasal dari istilah Manusa Pandita. Pada tahun Saka 50, dua manusia bernama Jumpungan dan Dukuh itu bertapa dan berkarya di Gunung Mundhi. Masyarakat setempat menyebut mereka sebagai Manusa Pandita.
Dengan nilai luhur yang masih melekat dalam diri masyarakat ini, kiranya alam dan manusia tetap terjaga baik. Nusa Penida atau Bali secara umum diharapkan tetap bisa menjadi pulau bagi manusia-manusia yang pandita atau memiliki moral yang baik.
(HEN/ELD/ILO/ICH)