Kasus Kekerasan Seksual pada Anak Dominan Sepanjang 2017
JAKARTA, KOMPAS — Kasus kekerasan seksual pada anak masih mendominasi sepanjang tahun 2017. Ironisnya, pelaku kekerasan seksual ini berasal dari orang-orang terdekat di lingkungan anak. Pemerintah didesak untuk segera menerapkan undang-undang baru tentang perlindungan anak dalam penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual ini.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) merilis data selama tahun 2017, jumlah kekerasan seksual terhadap anak masih mendominasi dibandingkan kasus kekerasan lainnya. Berdasarkan laporan yang diterima Komnas PA, ada 2.737 laporan mengenai kasus kekerasan pada anak.
”Jumlah laporannya menurun dibandingkan tahun 2016 sebanyak 3.339 kasus. Namun, trennya mengalami pergeseran. Di tahun 2016, sekitar 48 persen jumlah kasus kekerasan seksual pada anak, sementara tahun 2017, jumlahnya 52 persen dari keseluruhan jumlah aduan,” kata Ketua Umum Komnas PA Arist Merdeka Sirait di Jakarta Timur, Rabu (27/12).
Arist menuturkan, dari 2.737 laporan yang diterima, total korban 2.848 orang anak. Kemudian, kekerasan seksual terhadap anak sebanyak 1.424 kasus atau 52 persen dari jumlah laporan. Selain itu, ada pula kekerasan fisik sebanyak 825 kasus atau 30 persen dari jumlah laporan. Paling sedikit jumlahnya yaitu kekerasan psikis, 477 kasus atau 17 persen dari jumlah laporan.
”Kasus sodomi menjadi yang paling banyak terjadi dalam kekerasan seksual, kemudian diikuti kasus pencabulan, pemerkosaan, dan inses,” kata Arist.
Dihubungi terpisah, Komisioner Bidang Pendidikan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menjelaskan, KPAI juga merilis data mengenai jumlah kasus keterlibatan anak terhadap pornografi dan kejahatan siber sepanjang tahun 2017.
”Tercatat, jumlah laporan yang masuk sebanyak 517 kasus terkait pornografi dan cyber crime di kalangan anak-anak,” ungkap Retno.
Berdasarkan data KPAI, jumlah laporan yang masuk ini menurun dari tahun 2016 sebanyak 587 kasus. Namun, trennya cenderung meningkat dari tahun 2013 sebanyak 247 kasus, tahun 2014 sebanyak 322 kasus, dan tahun 2015 sebanyak 463 kasus.
Data KPAI tahun 2017 ini mencakup jumlah kasus anak sebagai korban kejahatan seksual dari daring sebanyak 94 kasus dan anak korban pornografi dari media sosial sebanyak 131 kasus. Selain itu, KPAI juga mencatat, anak sebagai pelaku kejahatan seksual dari daring sebanyak 88 kasus dan anak pelaku kepemilikan konten pornografi sebanyak 103 kasus.
Pelaku kekerasan seksual terhadap anak ini sebagian besar berasal dari lingkungan terdekat anak. Pelaku dari orang-orang terdekat, seperti teman korban, tetangga, keluarga, saudara kandung, hingga pacar korban.
Jumlah korban kekerasan terhadap anak didominasi oleh anak laki-laki sebanyak 1.689 anak, sedangkan anak perempuan sebanyak 1.131 anak. Rentang usia paling banyak, yaitu 6-12 tahun dan berasal dari kalangan ekonomi menengah.
”Sebarannya merata, baik dari Ibu Kota maupun di daerah. Kalau di daerah, pelaku kekerasan seksual cenderung bergerombol. Hal ini disebabkan efek video porno dan minuman keras. Kecenderungan masyarakat daerah menganggap video porno merupakan hal baru dan memicu tingkat kekerasan seksual pada anak,” ungkap Arist.
Arist menjelaskan, pelaku kekerasan seksual terhadap anak ini sebagian besar berasal dari lingkungan terdekat anak. Pelaku dari orang-orang terdekat, seperti teman korban, tetangga, keluarga, saudara kandung, hingga pacar korban.
”Ironis, orang-orang terdekat ini seharusnya menjadi benteng perlindungan terhadap anak. Namun, saat ini mereka malah menjadi pelaku utama,” ungkap Arist.
Sekretaris Jenderal Komnas PA Dhanang Sasongko menuturkan, kondisi lingkungan keluarga yang tidak harmonis bisa menjadi pemicu kekerasan terhadap anak. Ia menuturkan, anak-anak pun juga berpotensi menjadi pelaku kekerasan.
”Akibat dari tidak harmonisnya keluarga ini, anak-anak yang punya karakter kuat bisa berpotensi menjadi pelaku kekerasan bagi teman-temannya, sedangkan yang karakternya lemah berpotensi sebagai korban,” kata Dhanang.
Akibat dari tidak harmonisnya keluarga, anak-anak yang punya karakter kuat bisa berpotensi menjadi pelaku kekerasan bagi teman-temannya, sedangkan yang karakternya lemah berpotensi sebagai korban.
Selain itu, konten pornografi yang beredar di internet juga berpotensi mengakibatkan anak-anak menjadi pelaku kekerasan seksual. Dhanang mengimbau agar lingkungan sekitar, seperti orang tua hingga tetangga, bisa menjadi pengawas bagi anak-anak.
Penerapan undang-undang
Terkait masih maraknya kasus kekerasan seksual pada anak-anak ini, Arist menuturkan, pemerintah harus mulai menerapkan UU baru yang telah disahkan di tahun 2017 terkait perlindungan anak.
”Di pertengahan Juni 2017, DPR telah mengesahkan UU Nomor 17 Tahun 2016 sebagai lanjutan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Undang-undang ini mengatur tentang Perlindungan Anak,” kata Arist.
Dalam UU No 17/2016, ada peningkatan hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak. Hukuman bagi para predator (pelaku kekerasan seksual) minimal 10 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara hingga hukuman mati atau seumur hidup. Awalnya, pelaku hanya dikenai hukuman minimal 5 tahun penjara dan maksimal 15 tahun.
”Selain itu, ada juga hukuman kebiri bagi para pelaku, tetapi belum tahu siapa yang akan menjadi eksekutor untuk hukuman ini,” kata Arist.
Arist menjelaskan, Komnas PA akan meminta MA agar semua pengadilan bisa menggunakan UU No 17/2016. Hal ini akan disinkronisasi juga dengan pihak kepolisian dan jaksa yang nantinya bisa mulai memberlakukan UU ini.
Arist menuturkan, pada tahun 2018, tingkat kekerasan seksual pada anak masih akan mendominsasi. Selain itu, perhatian pemerintah mungkin saja lebih terfokus pada kepentingan politik mengingat tahun 2018 akan ada pilkada serentak serta pemilu di tahun 2019.
”Mungkin saja nanti di tahun politik, kasus-kasus kekerasan pada anak ini tidak menjadi perhatian pemerintah. Padahal, di tahun politik nanti, anak-anak juga berpotensi tertular dari penanaman rasa kebencian akibat kampanye serta aktivitas politik orang dewasa,” tutur Arist. (DD05)