Tanah Abang bagai Benang Kusut
Yanti (42), pejalan kaki, merengut sambil menggendong anaknya yang masih berumur empat tahun. Anaknya menangis di gendongannya. Rambut anak itu basah oleh keringat karena berdesak-desakan dengan orang yang berlalu lalang.
”Aduh, sabar Dek, ini bentar lagi lega jalannya,” kata Yanti kepada anaknya saat menembus keramaian trotoar kawasan Tanah Abang di Jalan Jatibaru Raya sebelah timur, Jakarta Pusat, Selasa (26/12).
”Wah, sepertinya saya akan pikir ulang untuk mengajak anak saya lagi datang ke tempat ini. Awalnya, saya penasaran seperti apa daerah ini setelah ditata oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,” ujar Yanti. ”Ternyata, setelah sampai di sini, malah lebih kacau daripada sebelumnya.”
Sehari setelah Natal, Selasa (26/12), kawasan perdagangan yang diklaim sebagai yang terbesar di Asia Tenggara itu dipadati pengunjung.
Pengunjung memenuhi trotoar dan Jalan Jatibaru Raya sebelah timur, yang kini dipenuhi pedagang kaki lima (PKL). Jalan dan trotoar sepanjang 400 meter itu penuh dan sesak.
Pekan lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meresmikan penutupan jalan itu dan memperbolehkan PKL untuk berdagang di salah satu sisi jalan.
Jalan Jatibaru Raya ditutup selama 10 jam, pukul 08.00 hingga 18.00. Jalan sebelah timur untuk berdagang, sedangkan jalan sebelah barat untuk lalu lintas bus transjakarta Tanah Abang Explorer, yang mengitari kawasan itu dari Pasar Blok A hingga Blok G.
Anies juga menjanjikan bahwa trotoar akan steril dan tidak ada lagi PKL.
Namun, pada praktiknya, trotoar masih diokupasi PKL dan membuat pejalan kaki terpaksa berdesak-desakan untuk lalu lalang di jalan tersebut.
Trotoar masih diokupasi PKL dan membuat pejalan kaki terpaksa berdesak-desakan untuk lalu lalang di jalan tersebut.
Maria (25), pejalan kaki, merasa kesulitan bernapas ketika berjalan di kawasan tersebut, baik di trotoar maupun sisi jalan yang digunakan PKL untuk berdagang. Siang itu merupakan yang kedua kali ia berkunjung ke Tanah Abang. Kesan kedua bagi Maria tentang Tanah Abang kian buruk.
”Pusing saya jalan di sini,” ujar Maria kesal. ”Saya sampai harus menepi sebanyak dua kali untuk berhenti terlebih dahulu mengatur napas.”
Pejalan kaki tidak hanya bersaing dengan pejalan kaki lainnya untuk melintas di kawasan itu. Pejalan kaki terkadang harus mengalah kepada pedagang asongan, penjual makanan, dan buruh pengangkut barang yang sama-sama berlalu lalang di sana.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengatakan, PKL yang saat ini mengokupasi trotoar itu bukan pedagang yang sudah didata oleh Pemprov DKI Jakarta.
”Mereka adalah pedagang baru. Melihat Tanah Abang ditata seperti ini, mereka juga ingin ikut berdagang di sini,” ujar Sandiaga yang siang itu berkunjung ke kawasan tersebut.
Pedagang yang telah didata berjumlah 458. Mereka yang didata adalah pedagang yang memang sejak lama berdagang di tempat itu.
Kepala Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Perdagangan (KUKMP) DKI Jakarta Irwandi membenarkan apa yang dikatakan Sandiaga. Ia menuturkan, pedagang yang telah didata berjumlah 458. Mereka yang didata adalah pedagang yang sejak lama berdagang di tempat itu.
”Mereka itu pedagang-pedagang existing. Yang kami data ada 458 PKL. Yang sudah dapat tempat 400 PKL. Nah, 58 PKL lagi masih waiting list,” lanjut Irwandi yang turut mendampingi Sandiaga, Selasa siang itu. ”Kalau semua diturutin, bisa mencapai 2.000 PKL yang mau ikut.”
Okupasi trotoar menjadi bukti bahwa trotoar belum benar-benar steril untuk pejalan kaki.
Sandiaga mengakui, hak pejalan kaki untuk berjalan secara leluasa di trotoar belum bisa dipenuhi. ”Masih ada banyak catatan yang harus kami evaluasi. Terlalu dini apabila kami memberikan penilaian sekarang,” ucap Sandiaga.
Terkait PKL yang masih mengokupasi trotoar, Sandiaga mengatakan akan menindak tegas. Penindakan itu dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Akan tetapi, siang itu, PKL yang berdagang di trotoar, baik di sebelah timur maupun barat, di Jalan Jatibaru Raya masih bisa leluasa menjajakan dagangannya.
Pukul 12.45, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kecamatan Tanah Abang Aries Cahyadi datang ke kawasan itu untuk menertibkan PKL yang masih menggunakan trotoar untuk berjualan. PKL yang berdagang di trotoar sisi barat diminta untuk pindah ke sisi timur.
Trotoar sisi barat memang tampak jauh lebih lengang daripada trotoar sisi timur. Terlihat kesan bahwa mereka ”boleh” saja berjualan di trotoar sisi timur.
”Cukup. Jangan tanya-tanya saya,” kata Aries saat hendak ditanyai tentang hal itu.
Integrasi angkutan
Selama 10 jam Jalan Jatibaru Raya ditutup, ada bus transjakarta Tanah Abang Explorer yang berkeliling di kawasan tersebut.
Sandiaga menyatakan, keberadaan bus itu sebagai bentuk terintegrasinya fasilitas angkutan umum di Tanah Abang. Penumpang tidak dipungut biaya untuk menggunakan bus itu.
”Integrasi antara pengguna kereta dan transjakarta Tanah Abang Explorer mencapai 10.000 orang per hari,” ujar Sandiaga.
Bus tersebut berhenti di sejumlah lokasi, yaitu Pasar Blok G, Pasar Blok B, Pasar Blok E, Auri, jalan layang Jatibaru Raya, lalu kembali ke lokasi pengangkutan awal di Stasiun Tanah Abang.
Camat Tanah Abang Dedi Arif Darsono menjelaskan, bus itu terus berputar dari pukul 08.00 hingga 18.00.
”Modelnya looping, berkeliling terus,” lanjut Dedi. ”Nanti, penumpang bisa turun di titik-titik yang sudah ditentukan dan melanjutkan perjalanan selanjutnya.”
Akan tetapi, belum banyak pengguna kereta yang mengetahui hal itu. Pada hari pertama diberlakukan penutupan jalan, Sinta (28), karyawan swasta, harus berlari-lari mencari tempat untuk memesan ojek daring.
Ia berlari dengan sepatu hak tingginya sejauh 250 meter dari pintu keluar Stasiun Tanah Abang di Jalan Jatibaru Raya menuju Jalan Jatibaru Bengkel. Waktu yang diperlukannya menuju tempat itu sekitar lima menit.
Tanpa menggunakan fasilitas bus transjakarta itu, Kompas mencoba berjalan dari pintu keluar Stasiun Tanah Abang di Jalan Jatibaru Raya menuju lokasi-lokasi transit angkutan umum lain. Waktu yang diperlukan jika berjalan kaki menuju sejumlah lokasi itu 5-10 menit.
Bus berhenti di sejumlah lokasi, yaitu Pasar Blok G, Pasar Blok B, Pasar Blok E, Auri, jalan layang Jatibaru Raya, lalu kembali ke lokasi pengangkutan awal di Stasiun Tanah Abang.
Bus yang disediakan itu masih kerap terhambat lajunya ketika melalui Blok G, Blok B, dan Blok E. Bus hanya bisa melaju dengan kecepatan di bawah 10 kilometer per jam saat melalui rute tersebut. Bus-bus lain yang memiliki rute antarkota sering berlama-lama mengetem di rute itu.
Satu bus antarkota bisa menunggu penumpang penuh dengan waktu 10-15 menit sehingga mengganggu kelancaran lalu lintas.
Selain itu, belasan angkot juga kerap berhenti seenaknya di tengah jalan dan ikut berlama-lama berhenti menunggu penumpang di rute yang dilalui bus transjakarta itu.
Mekanisme pengangkutan penumpang untuk menaiki bus transjakarta juga tergolong rumit. Trotoar berada di sebelah kanan bus, sedangkan pintu untuk masuk berada di sebelah kiri bus. Penumpang harus memutari bus terlebih dahulu untuk dapat masuk ke bus.
Alfred Sitorus, Ketua Koalisi Pejalan Kaki, menilai, hal itu tidak menguntungkan pejalan kaki penyandang disabilitas. ”Ini kalau pintunya langsung di sebelah kanan bus, orang yang pakai kursi roda bisa langsung masuk,” kata Alfred.
”Sekarang kalau pintunya ada di sebelah kiri, mereka harus putar dulu. Belum lagi kursi roda harus diangkat karena jarak pintu masuk dan tempat berpijak itu setinggi satu jengkal,” ujarnya.
Trotoar berada di sebelah kanan bus, sedangkan pintu untuk masuk berada di sebelah kiri bus. Penumpang harus memutari bus terlebih dahulu untuk dapat masuk ke bus.
Sehubungan dengan mekanisme tersebut, Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta Priyanto menjelaskan, keputusan menggunakan Jalan Jatibaru Raya sisi barat untuk lalu lalang bus transjakarta karena sisi timur jalan itu sudah terlebih dahulu secara dominan diokupasi oleh PKL.
”PKL di Jalan Jatibaru Raya sebelah timur itu sudah sejak awal jumlahnya banyak sehingga jalan sebelah timur yang ditutup dan digunakan untuk berdagang. Maka dari itu, jalan sebelah barat yang bisa digunakan untuk angkutan umum. Nah, bus yang tersedia itu kebetulan pintunya ada di sebelah kiri semua. Jadi penumpang harus agak muter,” kata Priyanto.
Iri hati
Pengamat transportasi dari Institut Studi Transportasi, Deddy Herlambang, menyatakan, keputusan untuk menutup jalan tersebut tidak tepat.
Hal itu melanggar Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Dalam UU itu dijelaskan bahwa penutupan jalan tersebut mengganggu fungsi jalan sebagai tempat lalu lintas kendaraan.
Deddy menambahkan, penutupan jalan untuk berjualan atau keperluan komersial lainnya tidak diizinkan apabila dilakukan secara terus-menerus.
”Itu melanggar regulasi. Kecuali, ada event khusus yang insidental, seperti car free day atau perayaan hari besar,” lanjut Dedy.
Terkait pelanggaran fungsi jalan itu, Kepala Dinas KUMKMP DKI Jakarta Irwandi mengatakan, hal itu masih diuji coba dan terus dievaluasi. ”Kalau ada kepentingan masyarakat yang lebih besar dan ini masih diujicobakan, itu bisa. Ini masih terus berkembang,” ujar Irwandi.
Dihubungi secara terpisah, Nirwono Joga, pengamat tata kota, mempertanyakan tentang masyarakat mana sebenarnya yang diuntungkan dengan penutupan jalan itu.
”PKL atau masyarakat secara umum? Pemerintah seharusnya adil untuk semuanya,” kata Nirwono.
Pembolehan PKL untuk berdagang menggunakan badan jalan guna berjualan dinilai Nirwono juga bisa menyebabkan keirian bagi PKL di pasar-pasar lain.
”Ya, kalau di Tanah Abang dilegalkan, PKL dari pasar-pasar lain pasti akan menuntut hal yang sama,” ucap Nirwono.
Selasa siang itu, PKL tampak mengokupasi sebagian trotoar di Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur, tepatnya di jalan menuju Pasar Jatinegara.
Pejalan kaki memang tidak terlihat cukup banyak. Akan tetapi, okupasi yang dilakukan PKL menyisakan lebar jalan tidak sampai 1 meter dari lebar semula yang mencapai 5 meter.
Barang dagangan PKL yang berupa pakaian sesekali mengenai kepala pejalan kaki yang tidak berhati-hati ketika berjalan.
Okupasi trotoar yang dilakukan PKL di jalan itu sepanjang 100-200 meter.
Kalau di Tanah Abang dilegalkan, PKL dari pasar-pasar lain pasti akan menuntut hal yang sama.
Hal serupa terjadi di Pasar Gembrong, Jakarta Timur. PKL di sana bahkan tidak menyisakan trotoar untuk pejalan kaki. Seluruh bagian trotoar digunakan untuk menata barang dagangan mereka. Adapun barang dagangan yang dijajakan berupa mainan dan karpet.
Okupasi trotoar terjadi sepanjang 400-500 meter di Jalan Basuki Rahmat, Jakarta Timur. Pejalan kaki terpaksa berjalan menggunakan sebagian bahu jalan dan berebut tempat dengan kendaraan bermotor yang melintas di jalan itu.
Salah satu PKL yang merasa iri adalah Wandi (40). Ia berjualan karpet di trotoar Jalan Basuki Rahmat, Jakarta Timur.
”Melihat kawasan Tanah Abang yang ditutup jalannya dan digunakan sepenuhnya untuk PKL, saya jujur merasa iri,” ujar Wandi. ”Di sini, kami dilarang-larang. Harusnya kalau PKL boleh dagang di jalan, semuanya juga dibolehkan. Itu tidak adil kalau hanya Tanah Abang.”
”Kami sadar, kami melanggar aturan. Tetapi, ini adalah cara kami cari uang. Seharusnya, semua PKL diperlakukan secara sama. Kalau tahu di Tanah Abang boleh berdagang di jalan, saya bisa ikut berjualan di sana nanti,” lanjut Wandi. (DD16)