Dari Sekadar Hobi Jadi Militan dan Kreatif
Tempat bertemu akhirnya disepakati di depan Rumah Sakit Sentra Medika yang bersebelahan dengan lahan milik RRI, Rabu (27/12) pukul 07.00. ”Memakai pakaian olahraga atau pakaian santai saja, ya? Jangan memakai seragam atau membawa tustel,” tulis Farah lewatWhatsapp.
Benar saja, saat melintas pos berboncengan dengan sepeda motor, beberapa anggota satuan pengaman (satpam) setempat tidak peduli. Perjalanan ke rumah mendiang Adriana Johanna Bake (1743-1787), istri kedua Gubernur Jenderal VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) Petrus Albertus van der Parra, pun lancar.
Di atas sepeda motor, Farah bercerita. Rumah seluas sekitar 1.000 meter persegi dan lahan seluas 200 hektar di Jalan Raya Bogor Km 34 itu awalnya milik Johanna, dibangun tahun 1775-1778 oleh David J Smith. Setelah Johanna meninggal, David membeli rumah tersebut.
”Entah bagaimana, tahun 1935, bangunan dan lahan tersebut milik WL Samuel De Meyer, dan tahun 1964 menjadi aset RRI. Sekitar tahun 1978, rumah sempat disekat-sekat dan dijadikan rumah tinggal beberapa karyawan RRI,” ujar Farah.
Setiap enam bulan sekali, tim Depok Heritage Community (DHC) bertemu mengevaluasi temuan dan pengamatan semua anggotanya terhadap sejumlah situs bersejarah, kawasan, dan bangunan cagar budaya di Depok dan sekitarnya.
Saat ada kabar bahwa semua bangunan rumah Johanna akan dirobohkan untuk didirikan kompleks universitas baru, DHC pun meradang.
”Anggota DHC yang aktif memang cuma 10 orang. Tetapi, saat darurat datang, kami bisa mengerahkan 300 anggota kami. Tugas utama mereka, melaporkan perkembangan obyek di lapangan, mencatat, dan memotret, mendampingi dan memberi data sejarah kepada wartawan, termasuk sejumlah narasumber yang mereka butuhkan,” papar Farah berapi api.
Timnya lalu ”menggambar” situasi di mana mereka atau wartawan bisa masuk lokasi target. ”Awalnya, secara terpisah, kami membawa tiga wartawan ke lokasi lewat pintu belakang. Tetapi, setelah salah satu di antara mereka menerbitkan tulisannya, semua pintu ke luar masuk dijaga ketat,” ungkapnya.
Rabu pagi kemarin, di satu bangunan megah yang dililit semak belukar, Farah mengingatkan agar berhati-hati melangkah sebab di depan teras ada dua sumur belukar.
Sambil keluar masuk, berkeliling bangunan, Farah menjelaskan, rumah Johanna atau yang lebih dikenal sebagai Rumah Cimanggis (RC) menjadi obyek utama DHC. Oleh karena itu, DHC secara berkala mencatat, memotret, bahkan mewawancara sejumlah saksi.
”Dulu pernah ada seorang pria mengaku gelandangan bernama Benny tinggal di tempat ini selama 30 tahun. Dia saksi utama saat bangunan ini masih berperabot, sampai daun-daun jendela hilang dicuri,” ujar Farah. Kesaksian Benny menjadi bahan DHC menelisik mencari informasi mengenai RC.
Tahun 2013, DHC mencatat dan memotret, daun-daun jendela RC masih ada. Tahun 2016, atap bangunan masih ada, dan sejak tahun lalu RC sudah tak lagi beratap.
”Kalau Anda datang akhir November lalu atau sebelumnya, bangunan ini nyaris tak tampak karena seluruhnya tertutup semak belukar. Baru sejak awal Desember lalu, semak belukar di sekeliling rumah dibersihkan seperti kondisi saat ini,” ujar Farah. Lewat telepon genggamnya, ia lalu menunjukkan laporan tertulis dan foto perkembangan setiap kawasan atau bangunan cagar budaya.
Bangunan RC terdiri dari satu ruang tamu diapit dua kamar, satu ruang keluarga yang juga diapit dua kamar, serta ruang dapur dan kamar budak. ”Dulu di depan rumah, sebelah kiri, ada lonceng budak yang mengatur jadwal harian pekerja perkebunan karet yang membentang di sekitar RC,” kata Farah.
Di teras belakang juga ada dua sumur tempat minum kuda sebagai pelengkap istal kuda. Halaman belakang berujung di situ. ”Lengkap, asri, dan indah, ya, lingkungan hidup mendiang Johanna,” ujar Farah seusai menjelaskan tentang RC.
Dokumentasi, inventarisasi
Farah menjelaskan, kelompok yang dipimpinnya dibentuk sejak 5 Juli 2011. ”Awalnya karena kesamaan hobi saja. Senang jalan-jalan, makan, melihat kawasan dan bangunan cagar budaya, lalu ketagihan,” kata Farah. Rasa ingin tahu anggota DHC yang makin dalam pun membuat mereka semakin serius. Mereka mulai membuat ”potret-potret” ringan.
Dari membuat potret-potret ringan tentang kondisi kawasan dan bangunan cagar budaya, mereka mulai mengawasi dan tumbuh menjadi militan. ”Dengan berbagai cara, terutama lewat media sosial, kami mengkritik dan mengingatkan pengambil kebijakan dan pelaksana agar tidak merusak, mengubah, menambah kawasan dan bangunan cagar budaya,” ucapnya.
Kepala Bidang Aset dan Sejarah Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein, Depok, Ferdy Jonathans mengakui militansi DHC. ”Mereka sangat keras mengawasi dan mengkritik kawasan cagar budaya di Depok. Kiprah dan jangkauan mereka lebih luas ketimbang kami,” ujarnya saat dihubungi terpisah.
Ia senang dengan kehadiran DHC di Depok. ”Setidaknya mereka mengingatkan warga agar tidak mengulang sejarah kelam Depok pada masa lalu,” kata Ferdy.
Lewat DHC, Farah dan kawan-kawan membangun jaringan sejarawan, antropolog, arkeolog, juga sosiolog. ”Lewat mereka, kami mendapat banyak masukan untuk mengawasi dan terlibat dalam pelestarian cagar budaya,” ucap Farah.
Dengan bimbingan mereka, DHC pernah merestorasi tiang telepon buatan tahun 1900 yang berada di pertigaan Jalan Kartini dan Jalan Pemuda. ”Kami bebaskan tiang telepon dari belitan tali-tali bekas spanduk dan bendera partai, lalu kami cat sesuai dengan petunjuk beberapa buku literatur sejarah dan budaya koleksi kami,” katanya.
Tahun 2013, DHC membuat dokumentasi dan inventaris cagar budaya Kota Depok, lalu bersama Pemerintah Kota (Pemkot) Depok melokakaryakan dan menerbitkan buku.
”Sampai sekarang Pemkot Depok masih meminta kami mengawasi dan menjaga aset cagar budaya di Depok. Salah satu contoh saat Jalan Kartini diperlebar,” kata Farah.
Ia menjelaskan, DHC mencatat, ada 53 titik situs di Kecamatan Pancoran Mas dan Kecamatan Beji. ”Setiap perubahan bangunan kami catat seperti saat Pastor Heuken SJ (penulis sejumlah buku sejarah Batavia-Jakarta) secara terus-menerus mengikuti perubahan kawasan Menteng dan rajin marah-marah jika melihat ada bangunan cagar budaya diubah-ubah,” ujar Farah.
DHC, lanjut Farah, sangat keras saat menghadapi perusakan bangunan cagar budaya di kawasan Depok lama. ”Jujur saja, kami banyak kalahnya daripada menangnya karena yang punya bangunan, kan, mereka,” ucap Farah.
Lewat DHC, Farah dan kawan-kawan ingin mengajak setiap warga mencintai kotanya dengan ikut terlibat menjaga dan melestarikan cagar budaya di kota masing-masing. ”Kota tanpa cagar budayanya seperti kota tak berbudaya,” katanya.