Lirik Lagu Politis: Dari Korupsi sampai Propaganda KB
Tahun 2018 nanti banyak disebut sebagai tahun politik karena ada 171 pemilihan kepala daerah serentak di Indonesia. Bukan kebetulan juga, sepanjang 2017 ada banyak album musik yang bernuansa politis. Yak, siapa tahu lirik-lirik dari mereka bisa jadi bahan renungan sebelum memutuskan mau memilih siapa; pun memilih atau abstain.
Musik bertema politik sebenarnya wajar saja. Apa pun tema liriknya mencerminkan sikap penulis lagunya, entah itu lagu tentang pahlawan moral, antikorupsi, pentingnya literasi, kedaulatan pangan, hingga resepsi pernikahan.
Album bercorak folk masih banyak beredar tahun 2017. Sejatinya, corak musik ini adalah lirik-lirik yang dihasilkan musisinya yang menceritakan bermacam tema, umumnya potret kondisi sosial-politik berbingkai kekinian.
Solois Jason Ranti adalah salah satu nama yang sepanjang tahun ini jadwal manggung-nya padat. Itu berkat album perdananya, Akibat Pergaulan Blues, yang membetot perhatian. Lewat album itu, Jason berpanjang-lebar cerita tentang banyak hal, mulai dari pemuja bulan, sinisme dalam kancah seni rupa, hingga ketakutan berlebih pada hal-hal berbau kiri.
Pertunjukan Jason Ranti pernah dihentikan paksa oleh pihak otoritas lokasi acara.
Gayanya slebor; kaus kegedean, rambut gondrong nanggung, dan cengengesan. Kalau manggung, dia cuma bawa gitar dan sesekali harmonika. Jason serius ketika membawakan lagu ”Suci Maksimal” yang temponya pelan-pelan saja itu.
Penontonnya dibuat tersipu-sipu dengan lirik macam begini, ”ku lihat TV/pak penjahat safari moral/ku baca koran/pak penjahat banyak simpenan/kebanyakan cinta/doanya kencang/jahatnya tetap/hatinya hitam/baju berkilau//”
Dia lalu mengulang bagian reff dengan bertanya seperti menyindir, ”Apakah tidurmu puas? Lama dan pulas?”
Dengan lirik yang agak ”nyerempet” begitu, Jason pernah dapat penolakan. Pertunjukannya pernah dihentikan paksa oleh pihak otoritas lokasi acara. Kepalang tanggung, dia geser ke luar gedung bawa gitar dan milih tempat di halaman berumput. Pertunjukan dilanjutkan.
Karib Jason, Bagus Dwi Danto alias Sisir Tanah, juga mengeluarkan album perdananya pada 2017 berjudul Woh. Solois dari Bantul, Yogyakarta, itu juga agak cengengesan ketika menyapa penonton dari panggung. Tapi, saat menyanyikan liriknya, suasana senyap menghanyutkan.
Dia pernah tampil di Bentara Budaya Jakarta awal November silam. Itu adalah pertunjukan yang ia rancang bersama beberapa kolaborator lintas seni. Ia mengatur tata cahaya sedemikian temaram sehingga ketika melantunkan lirik ”jika orang-orang serakah itu datang, harus dihadang” dalam ”Lagu Hidup” rasanya makin memantik keberanian.
Pertunjukan tunggal itu dibuka dengan aksi teatrikal menggunakan instalasi rancangan FJ Kunting. Seniman gondrong itu menggantungkan sekarung semen pada langit-langit. Tali penggantung dibakar perlahan ketika terdengar sayup-sayup lagu ”Rayuan Pulau Kelapa”, lagu yang menggambarkan keelokan alam Nusantara. Ketika tali terputus, karung semen itu jatuh ke lantai, dan lagu itu berhenti.
Sekarung semen bisa menyimbolkan laju pembangunan gedung berbahan semen. Bisa juga mewakili pembukaan tambang semen. Kondisi itu dikontraskan secara apik dengan lagu yang mengisahkan kekayaan alam Indonesia. Keelokan itu seperti dipaksa berhenti ketika semen datang.
Lagu-lagunya terasa mendapat ruang dan melipatgandakan energi.
Simbolisasi itu selaras dengan lirik pembuka ”Lagu Hidup”. ”Kita akan selalu butuh tanah/kita akan selalu butuh air/kita akan selalu butuh udara//” Bukan butuh semen.
Sisir Tanah ada di panggung ketika warga Kendeng melakukan aksi penolakan pembangunan pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah. Ia juga tampil ketika ada aksi solidaritas bagi warga Kulon Progo, Yogyakarta, yang tergusur akibat rencana pembangunan bandara internasional. Lagu-lagunya terasa mendapat ruang dan melipatgandakan energi.
Masih dari kancah folk, tahun ini penyanyi dan penulis lagu Oscar Lolang meluncurkan album perdana juga, yaitu Drowning in a Shallow Water. Lewat lagu ”Mr Othar’s Vacation Blues”, ia menceritakan ketimpangan sarana transportasi antara Pulau Jawa dan Papua.
Mahasiswa jurusan antropologi itu juga berani menyuarakan sikapnya atas kejahatan hak asasi manusia pada lagu ”Green Man”. Ia juga mempertentangkan mitos dengan fasisme kanan di tembang ”Unwanted Temple”.
Tentang keluarga
Album sarat nuansa politis lainnya lahir pada September 2017 dari band rock veteran Melancholic Bitch. Pada album penuh ketiga berjudul NKKBS Bagian Pertama ini, mereka hendak menceritakan seluk-beluk keluarga produk sentralistik Orde Baru.
Lagu andalan yang paling menempel, ”Bioskop, Pisau Lipat”, menceritakan pemaksaan menonton film Pengkhianatan G 30 S/PKI yang meninggalkan trauma. ”Itu kan mengerikan. Negara sampai mengatur tontonan apa untuk anak,” kata Ugoran Prasad, penyanyi dan penulis lirik band itu.
Mereka menguliti program Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera warisan Orde Baru dari berbagai sudut. Mereka menyinggung konstruksi moral dalam pernikahan, misalnya mitos keperawanan. Di akhir lagu disebutkan, si penjaga moral itu mati bunuh diri karena kebanyakan utang akibat kalah judi.
Pada ”Lagu untuk Resepsi Perkawinan”, Melancholic Bitch menghadirkan musik yang ceria, cocok untuk berpesta, lengkap dengan sapaan ramah pembawa acara. Tapi, sepertinya pernikahan tak semeriah pesta resepsinya. Larik ”cinta tinggal di rumah sekam” menawarkan kegetiran. Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera tak berarti memastikan kebahagiaan.
Ragam tema yang tak melulu berkutat pada roman picisan menyodorkan wacana pemikiran di kalangan pendengar musik. Seperti yang dituliskan pengamat budaya Idi Subandy Ibrahim, musik sebagai produk budaya populer punya peran deliberatif, membebaskan pendengarnya untuk memperbincangkan dan mendebatkan apa yang mereka dengar. Fungsi itu bisa membangun kesadaran kolektif.
Perubahan hanya akan lahir dari kesadaran bersama itu. Lagu-lagu berlirik bagus dipercaya akan jadi kendaraan pengantarnya.