JAKARTA, KOMPAS — Delapan provinsi menjalani imunisasi difteri ulang mulai tahun 2018 menyusul tiga provinsi yang telah memulainya Desember ini. Harapannya, upaya ini bisa mengendalikan kasus penyakit difteri yang masih muncul hingga sekarang.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Mohamad Subuh, Kamis (28/12), di Jakarta mengatakan, delapan provinsi itu antara lain Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, dan Jawa Timur. Imunisasi ulang akan dilakukan di 70 kabupaten atau kota di delapan provinsi itu. Sebanyak 24 juta anak berusia 1-19 tahun menjadi sasarannya.
Dengan demikian, awal tahun 2018 imunisasi ulang sebagai respons atas kejadian luar biasa atau outbreak response immunization (ORI) difteri menyasar 32 juta anak berusia 1-19 tahun di 11 provinsi. Sebanyak 8 juta anak di antaranya adalah sasaran ORI difteri di DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Awal tahun 2018 imunisasi ulang sebagai respons atas kejadian luar biasa atau outbreak response immunization (ORI) difteri menyasar 32 juta anak berusia 1-19 tahun di 11 provinsi.
”Beberapa provinsi seperti Sumatera Selatan dan Lampung diikutkan tahun depan karena untuk menunjang keamanan penyelenggaraan Asian Games 2018,” kata Subuh.
Dalam pelaksanaan ORI difteri tahun 2018, Kemenkes bertanggung jawab menyiapkan logistik seperti vaksin dan alat suntik. Pemerintah daerah berperan menyiapkan dana operasional.
Subuh mengatakan, stok vaksin diperkirakan mencukupi untuk kebutuhan sampai Agustus 2018 saat jadwal pemberian imunisasi ulang ketiga di delapan provinsi dilakukan.
Sekretaris Korporat PT Bio Farma Bambang Heriyanto mengatakan, pihaknya akan meningkatkan kapasitas total produksi vaksin mengandung komponen difteri, yakni vaksin DPT-Hb-Hib, DT, dan Td. Hal itu bertujuan untuk menunjang kebutuhan pemerintah.
Dengan begitu, di luar kebutuhan program imunisasi dasar nasional, akan ada penambahan pasokan vaksin difteri, yakni 1,2 juta vial vaksin DT 10ds, 7 juta vial vaksin Td 10ds, dan 4 juta vial vaksin DPT-Hb-Hib.
Evaluasi
Sejauh ini kasus difteri terus bertambah. Pada Januari-Desember 2017, jumlah kasus penyakit itu secara nasional 903 orang. Di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, misalnya, ada enam kasus difteri pada 2017. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon Enny Suhaeni, salah satu pasien meninggal.
Difteri ialah penyakit infeksi yang menyerang membran muskosa tenggorokan dan hidung disebabkan bakteri Corynebacterium diphtheriae. Infeksi itu menyebabkan terbentuk selaput tebal di tenggorokan sehingga pasien kesulitan bernapas.
Merebaknya kasus difteri di sejumlah daerah sepanjang 2017, menurut Subuh, jadi bahan evaluasi semua pihak. Bagi Kemenkes dan dinas kesehatan di daerah, hal itu menunjukkan cakupan imunisasi belum optimal.
Cakupan imunisasi dasar lengkap di tingkat desa seharusnya merata. Jangan berpuas diri ketika cakupan di tingkat provinsi atau nasional bagus. Sebab, jika dilihat kondisi lapangan, cakupan antardaerah belum merata.
Hal lain yang jadi bahan evaluasi ialah bagaimana mutu rantai dingin (cold chain) yang ada di daerah. Apakah rantai dingin sudah sesuai standar atau belum.
Mulai tahun 2015 hingga 2019, Kemenkes memperbarui rantai dingin ke daerah-daerah. Tahun ini baru 92,7 persen daerah yang sudah dikirimi fasilitas penyimpanan vaksin sesuai standar.
Selain itu, tata laksana program imunisasi perlu dievaluasi. Contohnya, apakah proses pengiriman, penyimpanan, hingga pemberian vaksin sudah benar. Semua ini amat berpengaruh pada mutu imunisasi.
Subuh menekankan, imunisasi adalah urusan bersama semua pihak, tak hanya sektor kesehatan. ”Daerah juga berperan dalam imunisasi,” ujarnya.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia Aman Bhakti Pulungan menegaskan, ORI difteri harus serentak, tidak tambal sulam seperti saat ini. Hal itu untuk memutus penyebaran penyakit.
Merebaknya difteri adalah buah dari lemahnya upaya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit di daerah. Sebab, pemerintah terlalu fokus di terapi. Pemda perlu menyadari, imunisasi menjadi tanggung jawab mereka. Semua sektor harus terlibat, termasuk pendidikan.
Imunisasi bagi anak sekolah melalui program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) harus jadi perhatian. Sekolah tak boleh lengah karena biasanya saat masuk bangku sekolah, anak-anak yang seharusnya menjalani imunisasi difteri ke-5 sampai ke-7 justru luput. Itu mengakibatkan imunisasi yang dijalani tak lengkap dan kekebalan terbentuk tak sempurna. (ADH/IKI)