Polisi dan Pengadilan Paling Banyak Dilaporkan ke Ombudsman
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian dan badan peradilan merupakan dua entitas di bidang penegakan hukum yang paling banyak dilaporkan publik ke Ombudsman RI.
Hal yang dipermasalahkan publik terkait kinerja dua institusi tersebut antara lain penyimpangan prosedur, kinerja yang lamban, tidak memberikan pelayanan, dan permintaan imbalan uang.
Banyaknya laporan publik terhadap kinerja kedua institusi itu dipaparkan dalam laporan akhir tahun Ombudsman RI (ORI), Jumat (29/12) di Jakarta. Dalam paparan itu, Ombudsman mengungkapkan kinerja lembaga dalam menanggapi laporan masyarakat di bidang hukum dan peradilan serta pertahanan dan keamanan.
Secara total, Ombudsman menerima sebanyak 7.999 laporan masyarakat selama 2017. Laporan itu dibagi menjadi 10 jenis maladministrasi pelayanan publik.
Lima jenis maladministrasi terbanyak ialah penyimpangan prosedur sebanyak 1.714 laporan, tidak memberikan pelayanan (1.355), tidak kompeten (802), penyalahgunaan wewenang (666), serta permintaan imbalan uang, barang, dan jasa (605).
Wakil Ketua Ombudsman Ninik Rahayu mengatakan, badan peradilan merupakan institusi yang paling banyak dilaporkan dalam bidang hukum dan peradilan. Dalam bidang tersebut, selain badan peradilan di bawah Mahkamah Agung (MA), Ombudsman juga menerima laporan terkait kinerja pelayanan publik kejaksaan dan lembaga pemasyarakatan (LP).
Khusus untuk bidang hukum dan peradilan, Ombudsman menerima 390 laporan. Dari jumlah itu, 266 laporan atau sekitar 68 persen adalah laporan terhadap kinerja badan peradilan di bawah MA. Sisanya, 88 laporan terhadap kejaksaan dan 36 laporan terhadap lembaga pemasyarakatan.
”Kami mencatat, ada tiga hal yang menjadi fokus laporan di bidang peradilan, yakni penindakan berlarut, penyalahgunaan prosedur, dan tindakan tidak patut atau permintaan uang,” ujarnya.
Lima jenis maladministrasi terbanyak ialah penyimpangan prosedur sebanyak 1.714 laporan, tidak memberikan pelayanan (1.355), tidak kompeten (802), penyalahgunaan wewenang (666), serta permintaan imbalan uang, barang, dan jasa (605).
”Saya menyayangkan pernyataan Wakil Ketua MA (Syarifuddin) tadi yang mengatakan hal ini ialah karena oknum. Kalau berkali-kali terjadi, ya, itu bukan oknum, tetapi perbuatan yang dilakukan secara sistemik. Kalau tidak dilakukan pembenahan secara serius oleh MA, ya, tetap saja akan terjadi pelanggaran ini,” tutur Ninik.
Ninik juga mengingatkan adanya calon-calon hakim baru yang masuk ke MA pada tahun 2017. Calon hakim tersebut diharapkan pada masa depan bisa memberikan warna baru bagi badan peradilan.
”Para calon hakim ini, kan, baru bergabung dengan MA, dan tentu masih merupakan orang-orang baik. Nah, kami berharap, mereka berada di dalam sistem yang baik karena kalau mereka berada di dalam sistem yang tidak baik, nanti mereka akan ikut menjadi tidak baik,” lanjut Ninik.
Ombudsman menilai, perlu segera ada langkah konkret dari MA untuk memulai pembenahan dan perbaikan sistem, terutama dalam pelayanan publik. Masyarakat akan dirugikan apabila MA menutup diri terhadap upaya pembenahan.
Berulangnya laporan masyarakat terhadap kinerja badan peradilan menunjukkan pelayanan publik oleh lembaga itu masih jauh dari harapan.
Untuk memulai perubahan di MA, Ninik berharap, pengawasan internal di MA diperkuat.
Perlu segera ada langkah konkret dari MA untuk memulai pembenahan dan perbaikan sistem, terutama dalam pelayanan publik.
”Pengawas internal ini harus sungguh-sungguh karena kalau tidak, akan berulang terus. Kenapa pengawasan MA tidak efektif? Karena mereka yang masuk ke badan pengawasan MA adalah juga hakim. Ibaratnya, jeruk makan jeruk,” ujarnya.
”Kami berharap, pengawasan internal MA membuka diri dan mengajak elemen masyarakat yang konsen pada bidang peradilan, termasuk NGO, untuk bersama-sama memperbaiki kinerja di MA,” lanjutnya.
Wakil Ketua MA Syarifuddin mengatakan, MA menerima semua hasil survei dan laporan dari Ombudsman. Laporan-laporan itu akan ditindaklanjuti dan dijadikan bahan masukan bagi perbaikan badan peradilan.
Namun, Syarifuddin membantah jika ada penanganan perkara yang lambat di MA, termasuk dalam penanganan kasus tilang yang banyak dilaporkan oleh masyarakat. ”Perkara-perkara itu semuanya diselesaikan cepat di MA,” katanya.
”Justice collaborator”
Ombudsman juga menemukan fenomena baru dalam ”jual-beli” status justice collaborator (orang yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar jaringan kejahatannya), yang diduga dilakukan aparat kepolisian dan kejaksaan.
Dari berbagai inspeksi yang dilakukan Ombudsman, banyak narapidana (napi) melaporkan adanya jual-beli status justice collaborator yang dilakukan pihak kepolisian dan kejaksaan.
Perdagangan status justice collaborator itu terutama dialami napi dalam kasus narkotika. Melalui keluarga dan penasihat hukumnya, para napi membayar sejumlah uang kepada pihak kepolisian dan kejaksaan. Nilainya berkisar Rp 1 juta hingga Rp 35 juta.
”Soal justice collaborator ini memang harus diperbaiki. Ke depan, seharusnya status justice collaborator tidak diberikan ketika seseorang sudah menjadi napi, tetapi saat dia diputus di pengadilan. Seperti di kasus korupsi, kan, seperti itu prosesnya. Jadi, nanti orang tidak perlu lagi minta-minta status justice collaborator dengan prosedur yang tidak jelas,” tutur Ninik.
Melalui keluarga dan penasihat hukumnya, para napi membayar sejumlah uang kepada pihak kepolisian dan kejaksaan. Nilainya berkisar Rp 1 juta hingga Rp 35 juta.
Fakta yang terjadi di lapangan, pemberian status justice collaborator kepada napi tidak disertai dengan prosedur yang jelas. Akibatnya, napi kesulitan mendapatkan status justice collaborator. Pada saat prosedur tidak jelas, di situlah rentan terjadi maladministrasi yang dimulai dengan buruknya birokrasi.
”Ada dua kemungkinan yang terjadi ketika suatu prosedur pelayanan publik tidak jelas. Pertama, maladministrasi melalui birokrasi yang buruk dan kedua adalah terjadinya korupsi,” ucap Ninik.
”Dalam kasus jual-beli status justice collaborator ini, kami menduga indikasinya ke arah korupsi, ya, antara dua institusi itu, kepolisian dan kejaksaan,” kata Ninik.
Kinerja LP juga dikritisi terutama dalam pemberian remisi dan pembebasan bersyarat. Selain itu, waktu pengiriman putusan MA yang lama kepada penegak hukum juga mengakibatkan sejumlah napi mendapatkan hukuman melebihi vonis hakim.
”Ada yang sampai kelebihan dipenjara 2 tahun. Kasus itu ada di Kalimantan Timur,” ujarnya.
Kepolisian lamban
Sektor penegakan hukum juga dikeluhkan warga terkait dengan kinerja kepolisian yang lama dalam menindaklanjuti laporan warga.
Khusus untuk laporan bidang pertahanan dan keamanan (hankam), Ombudsman menyebut kepolisian sebagai institusi yang paling banyak dilaporkan warga. Dari 182 laporan di bidang hankam, 164 laporan terkait dengan pelayanan kepolisian.
Jika dirinci, ada tiga jenis laporan yang menunjukkan kelambanan kinerja polisi secara lebih detail. Ombudsman membedakan usia laporan warga kepada polisi berdasarkan jangka waktu laporan hingga penindakan atau penanganan kasus itu oleh polisi.
Ada 323 laporan warga kepada polisi yang baru ditindaklanjuti dalam kurun waktu dua hingga empat tahun sejak laporan itu dibuat oleh warga. Jumlahnya pun makin besar untuk laporan warga yang usianya empat hingga enam tahun, yakni ada 360 laporan yang baru ditindaklanjuti.
Data terakhir, Ombudsman menemukan ada laporan warga kepada polisi yang usianya sudah enam hingga delapan tahun dan baru ditindaklanjuti, yakni 372 laporan warga. Total, ada 1.055 laporan warga yang lamban ditindaklanjuti oleh polisi pada 2017.
”Alasan yang paling banyak dari kepolisian ialah karena orangnya atau pelaku masuk DPO (daftar pencarian orang) sehingga laporan lamban ditindaklanjuti. Namun, seharusnya itu, kan, tidak menjadi alasan,” tutur Adrianus Meliala, Wakil Ketua Ombudsman.
”Oleh karena itu, kami meminta kepada polisi untuk membuat parameter yang jelas sampai seberapa lama suatu laporan warga itu bisa ditindaklanjuti oleh polisi,” lanjutnya.
Parameter yang jelas itu diharapkan bisa mengukur kinerja polisi secara lebih fair. Sebab, kerap ada keberatan dari kepolisian yang menilai tidak ada batasan khusus sampai kapan suatu laporan warga bisa ditindaklanjuti oleh polisi.
Ninik mengatakan, untuk kasus-kasus tertentu, terutama pidana umum, polisi seharusnya tidak beralasan orang atau pelakunya belum ditemukan sebab itulah tugas polisi.
”Laporan mengenai lambannya kinerja kepolisian ini telah kami sampaikan. Kalau belum juga ditindaklanjuti, kami akan menaikkannya menjadi rekomendasi. Jika rekomendasi juga tidak dijalankan, Ombudsman bisa memublikasikannya,” ujarnya.
Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Putut Eko Bayuseno mengatakan, pihaknya menindaklanjuti semua laporan warga yang masuk ke kepolisian. Namun, semua laporan itu memerlukan waktu untuk penindakan sebab tidak semua laporan juga bisa diteruskan hingga penyidikan.
”Lamanya kasus itu ditangani, kan, tergantung juga pada kasusnya, mudah atau sulit. Kalau seperti kasus perampokan di Pulomas itu, kan, juga dengan cepat ditangani. Tetapi, ada juga kasus yang lama ditangani karena sulit mencari bukti-bukti atau pelakunya buron,” kata Putut.
”Selama setahun ini, sebanyak 62 persen kasus telah kami tuntaskan di Polri dari sekitar 240.000 kasus di tingkat penyidikan,” lanjutnya.