Sistem Informasi Kesehatan Lemah
”Pemerintah kurang berinvestasi guna membangun sistem kesehatan masyarakat dan menjaga mutu kesehatan anak Indonesia,” kata Ketua Terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Ede Surya Darmawan di Jakarta, Jumat (29/12).
Kurangnya investasi itu membuat pemerintah kurang waspada dengan meningkatnya kasus difteri di beberapa daerah. Saat lonjakan kasus dan kematian akibat difteri kian banyak, pemerintah baru bereaksi.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan, selama Januari-November ada 593 pasien dan 32 orang meninggal akibat difteri yang tersebar di 19 provinsi. Namun, hingga akhir Desember atau jeda satu bulan, total kasus difteri sudah mencapai 903 orang dan tersebar di 28 provinsi (Kompas, Kamis, 28/12). Itu berarti tinggal enam provinsi yang belum ada laporan difteri.
Lonjakan kasus difteri itu seharusnya sudah jadi perhatian pemerintah sejak dini. Berbagai data yang dipublikasikan pemerintah, seperti Profil Kesehatan Indonesia dan Survei Sosial Ekonomi Nasional, menunjukkan turunnya cakupan imunisasi.
Data Kemenkes menunjukkan, sejak 2011-2016, cakupan imunisasi terus turun dan belum mampu menyamai cakupan imunisasi tertinggi selama 9 tahun terakhir, yaitu 93,6 persen, yang dicapai pada 2010.
Bahkan, Laporan Tahunan Indonesia 2015 dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak (Unicef) sudah mengingatkan, Indonesia adalah negara keempat tertinggi di dunia dengan kasus anak tak tervaksinasi atau tak mendapat vaksinasi lengkap. Peningkatan anak yang tak diimunisasi lengkap itu ada di wilayah miskin perkotaan.
Pentingnya cakupan imunisasi yang tinggi untuk mencegah penularan penyakit infeksi, seperti difteri, bisa dilihat dari kasus difteri yang muncul di Jakarta.
Dokter spesialis anak dari Divisi Infeksi dan Pediatri Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Jakarta, Nina Dwi Putri, menyebutkan, difteri di Jakarta paling banyak diderita anak berusia 1-19 tahun. Sebanyak 43 persen kasus terjadi pada mereka yang imunisasi dasarnya tidak lengkap, 7 persen tak pernah diimunisasi dan 44 persen riwayat imunisasinya tidak jelas.
”Fakta itu menunjukkan cakupan imunisasi yang rendah bisa menyebabkan menyebarnya penyakit,” ujarnya.
Reaktif
Difteri hanya salah satu penyakit menular yang butuh penanganan cepat pemerintah. Penanganan berbagai kejadian luar biasa penyakit menular sebelumnya pun terkesan reaktif, kurang terantisipasi.
Untuk mencegah penyebaran penyakit, peningkatan upaya kesehatan masyarakat (UKM) di puskesmas harus jadi tumpuan utama. Namun, sejak era Jaminan Kesehatan Nasional dimulai pada 2014, puskesmas juga jadi penjaga terdepan dalam upaya kesehatan perorangan (UKP).
Hal itu membuat beban puskesmas kian berat. Selain bertanggung jawab memberi layanan promosi dan pencegahan penyakit, puskesmas juga harus melayani terapi. Karena aspek kuratif memiliki anggaran jelas, kini banyak puskesmas fokus ke upaya kuratif dan kurang memperhatikan promotif-preventif.
”Jika puskesmas tetap mau dijadikan garda terdepan menjaga kesehatan masyarakat, puskesmas harus diperbaiki,” kata Ede. Selain meningkatkan anggaran dan sumber daya manusianya, citra dan kehormatan puskesmas harus diperbaiki.
Sistem informasi kesehatan puskesmas pun harus diperbaiki. Jadi saat ada lonjakan kasus penyakit, data puskesmas langsung bisa dijadikan dasar pengambilan kebijakan oleh pemerintah kabupaten atau kota hingga pusat.
Vaksinasi dewasa
Sementara itu, serangan difteri nyatanya tak hanya menyerang anak-anak. Sebanyak 18 persen pasien difteri 2017 ialah orang dewasa berusia 19-40 tahun. ”Jadi, vaksin difteri bagi dewasa penting untuk mencegah meluasnya penularan penyakit,” kata konsultan Alergi Imunologi FKUI -RSCM Jakarta Iris Rengganis.
Vaksin difteri dewasa itu kian penting bagi orang dewasa yang tak diimunisasi atau belum mendapat imunisasi lengkap. Penting juga diberikan kepada orang dewasa yang ada atau bepergian ke daerah endemik difteri dan tinggal di area padat atau tak sehat.
Berbeda dengan vaksin difteri untuk anak dalam program outbreak response immunization (ORI) yang ditanggung pemerintah, vaksin difteri dewasa ditanggung mandiri oleh tiap orang.
Untuk orang dewasa, vaksin difteri yang dipakai adalah vaksin Td (tetanus difteri). Bagi mereka yang sudah mendapat imunisasi difteri lengkap, hanya perlu divaksin Td sekali dan diulang setiap 10 tahun sekali.
Jika riwayat imunisasinya tak lengkap, sebaiknya menjalani vaksinasi sesuai dengan jadwal ORI pemerintah. (ADH/MZW)