Tuah Kopi Sinabung
Petani kopi di lingkar Gunung Sinabung baru setahun terakhir bisa merasakan nikmatnya kopi sendiri. Mereka kini belajar merawat kopi dan mengolahnya selayaknya ”barista” di kota-kota. Ini berkat para pelaku kafe yang turut membantu petani bangkit dari keterpurukanakibat letusan Gunung Sinabung.
Tak kurang dari 31 petani kopi di lingkar Gunung Sinabung duduk melingkar di rumah Johari Bangun (67) di Desa Batu Karang, Kecamatan Payung. Desa ini sekitar 10 kilometer arah barat daya dari Sinabung. ”Mana kopi kita itu, biar minum dulu kita sebelum rapat,” kata Johari meminta Heri Santoso Sembiring (22) untuk menjerang air dan menyeduh kopi.
Sementara Heri menjerang air, Hermawan (27) dibantu petani lain menyiapkan gelas, timbangan, dan ketel. Heri pelan-pelan menimbang bubuk kopi lalu menyeduhnya dengan air panas. Dia tahu betul volume air harus presisi 10 kali dibandingkan berat kopi. ”Silakan dicicipi, ini kopi arabika dari Desa Cimbang.”
Kopi Cimbang yang diseduh dengan cara V60 disajikan dalam ketel kaca leher angsa, dituang ke gelas-gelas mungil, itu pahit ringan dengan aksen manis di ujungnya. Itu khasnya kopi Cimbang. ”Sekarang kalau ngopi sudah serasa di kafe, ha-ha-ha,” kata Johari.
Cara Heri menyeduh kopi dan menyajikannya tidak kalah gaya dengan para barista di kafe. Heri tidak sendiri, ada beberapa anak muda petani kopi yang juga mahir menyeduh kopi. Priyan Sitepu (25), petani di Desa Naman, Kecamatan Naman Teran, juga semahir Heri.
Dalam dua tahun terakhir ini para petani kopi di lingkar Gunung Sinabung seolah mendapatkan kesadaran baru. Betapa kopinya begitu berharga. Juga betapa nikmatnya kopi itu. ”Dulu kami tahunya kopi tubruk campur gula, itu pun beli di warung. Sekarang kami tahu rasa kopi sendiri,” kata sang tuan rumah Johari Bangun.
Para petani di lingkar Gunung Sinabung yang terdiri atas 14 desa di empat kecamatan, yakni Simpang Empat, Tiganderket, Naman Teran, dan Payung, perlahan bangkit dengan memperbanyak tanaman kopi. Itu setelah tanaman lain, seperti sayuran dan jeruk, limbung ketika Gunung Sinabung meletus. Hanya tanaman kopi yang terbukti kuat menahan gempuran erupsi yang berlangsung sejak empat tahun lalu itu.
Dulu, petani memperlakukan kopi sebagai tanaman pagar yang tak begitu dihiraukan. Jangankan dipupuk atau dipangkas biar berdaun lebat. Kopi cenderung ditelantarkan. Meskipun begitu, kopi tetap berbuah karena tanah Karo yang subur.
Dulu, petani memperlakukan kopi sebagai tanaman pagar yang tak begitu dihiraukan.
Bagi petani, kalau kopi berbuah, ya, untung, kalau tidak pun, petani tak pernah sedih. Mereka menyebutnya tanaman tuah dibata, hadiah Tuhan. Kalau kopi berbuah, berarti Tuhan tengah memberi hadiah. Ada juga yang menyebutnya singgalar utang alias pembayar utang karena kopi baru dipanen ketika petani tercekik utang.
”Itu dulu. Sekarang kopi kami rawat betul-betul karena tinggal dia yang bisa diandalkan,” kata Nur Hayati Sembiring (75), petani di Desa Cimbang, Kecamatan Payung, sekitar 11 kilometer dari puncak Sinabung.
Memanjakan kopi
Kesadaran petani ini berkat kegemasan para pelaku kafe di Karo. Salah satunya adalah Andika Sahputra (30), pemilik kafe Biji Hitam di Berastagi. Dia pernah menjadi barista di Starbucks, lalu keluar dan mendirikan kafe dengan tujuan utama mengenalkan kopi karo. Oleh karena itu, dia tidak memakai sebutan single origin, melainkan single state, lebih spesifik. Maka, di kafenya muncul beberapa state yang merujuk pada nama-nama tempat di Karo, seperti state Cimbang, Naman Teran, Simpang Empat, Aji Julu, Aji Jahe, dan Lingga Julu.
”Kami senang kali nama desa dijadikan nama kopi. Diminum bule-bule dan orang kaya di kafe,” kata Derpan Ginting (51), petani kopi Desa Naman Teran.
Dika, panggilan Andika, ingin kopi-kopi itu bisa dinikmati dengan cita rasa sempurna. Oleh karena itu, dia mendidik petani agar memperlakukan kopi secara benar. ”Saya mengajari cara petik merah, cuci biji dengan benar. Dulu, petani mencuci kopi dengan detergen. Petiknya pun digenggam dan ditarik sehingga yang masih hijau ikut terpetik,” papar Dika.
Petik merah berarti hanya memetik biji kopi tua, yang mereka sebut mutiara merah. Tentu cara itu tidak mudah. Banyak petani, yang jauh lebih tua, tersinggung. Namun, Dika tak patah arang. Dia hanya mau membeli biji kopi dari petani yang mengikuti cara dia dengan harga lebih tinggi. Itu dia sampaikan juga kepada pengepul dan penyalur kopi seperti Imam S Tarigan (37) di Cimbang.
Petik merah berarti hanya memetik biji kopi tua, yang mereka sebut mutiara merah.
Seiring waktu, jumlah kafe bertambah hingga 11 kafe di Berastagi dan Kabanjahe, seperti Kafe Juma, Jabu, Deep Art, dan Sapo Kahoowa. Pertumbuhan ini sebangun dengan gelombang kopi sebagai gaya hidup. Mereka berada pada momentum yang pas ketika anak muda merasa minder jika tidak mengenal
kopi. Para pengunjung kafe ini adalah anak-anak muda tadi yang juga gila media sosial. Dari situlah harum kopi karo tercium sampai jauh, sampai Jerman dan Belanda
Para pelaku kafe ini mempunyai tekad yang sama, memajukan kopi karo. Mereka ikut mendidik petani menanam, memetik, hingga memperlakukan kopi pascapanen dengan benar.
Mereka bersedia membeli gabah kopi Rp 3.000 lebih mahal dibandingkan dengan tengkulak lain. Ini efektif mengerek harga kopi dan menyejahterakan petani. Jika empat tahun lalu harga gabah kopi hanya Rp 26.000,
kini Rp 31.000 per kilogram.
Para pelaku kafe sendiri masih terus belajar mengembangkan usaha. Gayung bersambut, beberapa organisasi nirlaba bersedia membantu mereka. Sebutlah Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang membantu pelatihan serta Komunitas Alumni ITB Bergerak yang menyalurkan dana hingga Rp 500 juta untuk membantu pengungsi Sinabung. Salah satu programnya adalah membawa delapan pelaku kopi dan kafe di Karo untuk belajar penanganan kopi pascapanen di Ciwidey, Bandung. ”Kami ingin petani kopi karo mandiri dan bangkit meski Sinabung terus erupsi,” kata Koordinator KA ITB Noor Choolis.
Dari beragam latihan itu, pelaku kopi dapat membangun jaringan. Andreas Sembiring (30), pemilik Sapo Kahoowa, misalnya, dalam sebulan mampu mendistribusikan kopi sampai 5 ton. Itu dia kirim ke Jepang, Malaysia, Singapura, dan Australia.
Latihan ”barista”
Para petani sangat terbantu dengan kehadiran organisasi nirlaba dan kafe-kafe itu. Mereka merasa mendapat kepastian penyaluran kopi dengan harga lebih menjanjikan. Untuk itu, mereka beramai-ramai memperluas lahan buat menanam kopi dan merawatnya lebih serius. Pada tahun 2012, jumlah lahan kopi di empat kecamatan di lingkar Sinabung yang semula hanya 1.743 hektar sekarang jadi 2.012 hektar kopi. Hasilnya 1.322 ton pada 2016.
”Saya sudah ada lahan 3.000 meter persegi yang akan ditanami kopi. Dulu ini ditanami sayuran,” kata Erno Bangun (45), petani Desa Batu Karang yang sekarang baru mempunyai 700 batang kopi.
Nurdin Ginting (57), petani Desa Naman, kembali tertarik dengan kopi setelah melihat rekan-rekannya berhasil dan sejahtera karena kopi. Dia meninggalkan tanaman muda, seperti sayuran dan jeruk, karena habis diterpa erupsi. Dia memiliki lahan 1 hektar yang semuanya ditanami kopi.
Para petani tak ingin hanya bisa menanam kopi yang mereka sebut sebagai mutiara merah. Mereka juga ingin bisa mengolahnya menjadi minuman. Beberapa petani sudah mulai mahir mengolah biji kopi menjadi bean honey, natural, ataupun wash dengan kandungan air tinggal 11 persen sampai 12 persen.
Pada pertemuan di rumah Johari tadi, petani membentuk serikat. Mereka ingin berdaulat, terutama dalam menentukan harga sehingga tidak didikte tengkulak.