JAKARTA, KOMPAS — Laju inflasi Indonesia pada bulan Desember 2017 sebesar 0,71 persen. Adapun secara tahunan (year on year/yoy) inflasi 2017 mencapai 3,61 persen.
Dalam konferensi pers di Jakarta pada Selasa (2/1), Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto mengatakan, pemicu inflasi pada Desember 2017 bersifat musiman, yakni adanya liburan Natal dan Tahun Baru.
Kenaikan harga tertinggi selama Desember 2017 terjadi pada beras eceran, yakni sebesar 1,22 persen, disusul gabah yang naik sebesar 1,17 persen.
Meningkatnya harga beras selama Desember 2017 disebabkan oleh tingginya permintaan bahan pokok itu. ”Pada akhir tahun, permintaan beras cenderung meningkat. Jika tidak dibarengi dengan pasokan yang cukup, harga akan melonjak,” kata Suhariyanto.
Sementara itu, harga tiket pesawat naik karena melonjaknya jumlah penumpang selama liburan Natal dan Tahun Baru. Jumlah penumpang pesawat rute domestik selama Januari-November 2017 naik 11,51 persen dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya. Adapun jumlah penumpang rute internasional naik 14,01 persen.
Sementara itu, pemicu utama inflasi selama 2017 adalah tarif listrik yang naik sebesar 0,81 persen dan biaya perpanjangan surat tanda nomor kendaraan (STNK) sebesar 0,24 persen.
Kenaikan biaya perpanjangan STNK terjadi pada awal tahun 2017, sedangkan tarif listrik sejak Januari hingga Mei 2017. ”Dampak keduanya terasa signifikan pada Januari 2017 dengan tingkat inflasi mencapai 0,97 persen,” kata Suhariyanto.
Daya beli
Menurut Suhariyanto, laju inflasi harus tetap rendah agar daya beli atau konsumsi masyarakat terjaga dan terus meningkat.
Saat dihubungi secara terpisah, dosen Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, mengatakan, daya beli memang tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah karena bersifat struktural. ”Tetapi, pemerintah dapat mengendalikan pasokan untuk menjaga stabilitas harga,” ujarnya.
Menurut Suhariyanto, terkait dengan pola konsumsi masyarakat, ada sejumlah indikasi yang perlu diwaspadai pemerintah. Pertama, persentase pendapatan yang ditabung meningkat sehingga tingkat belanja pun menurun.
”Ini perlu dianalisis lebih lanjut terkait latar belakang masyarakat menahan uangnya. Apakah karena sadar akan pentingnya investasi atau karena ragu terhadap prospek ekonomi nasional,” ujarnya.
Kedua, perubahan gaya hidup. Suhariyanto mengatakan, orientasi gaya hidup dari nonrekreasi menjadi rekreasi mempengaruhi pola konsumsi masyarakat.
Kontrol harga
Berdasarkan analisisnya, laju inflasi 2017 ini lebih dipengaruhi faktor administired price atau harga-harga yang diatur pemerintah. ”Berbeda dengan tahun sebelumnya yang dipengaruhi oleh komponen bergejolak atau volatile,” ucap Suhariyanto.
Akan tetapi, komponen bergejolak itu tetap harus menjadi perhatian pemerintah. Suhariyanto mengatakan, kecukupan produksi, ketersediaan stok, dan distribusi harus diperhatikan.
Lana menyoroti harga minyak mentah ke depannya yang berpotensi semakin meningkat karena dipicu oleh faktor geopolitik, terutama kebijakan dari Amerika Serikat. ”Kenaikannya tidak bisa dikendalikan, tapi bisa diatasi. Penting untuk mengatasinya karena kenaikan harga minyak mentah akan memberikan efek domino pada kenaikan harga lainnya,” tuturnya.
Menurut Lana, angka inflasi Desember ini tak lepas dari keberhasilan pemerintah dalam mengatasi kenaikan harga minyak dunia sepanjang 2017. Namun, ke depannya perlu dipertimbangkan sampai sejauh mana pemerintah mampu menghadapi kenaikan harga minyak dunia. (DD09)