Keresahan di Tengah Hutan Siberut
Selama berbulan-bulan, Daniel Toggilat Sabulukkungan (70) merasa sangat tertekan.
Hari-hari Sikebbukat Uma atau Kepala Suku Sabulukkungan yang menempati wilayah Dusun Puro, Desa Muara Siberut, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, itu selalu dihantui rasa bersalah.
Hal itu karena pohon durian berusia 50 tahun yang menjadi kirekat atau prasasti bagi saudara dan anaknya yang telah meninggal ditebang untuk proyek pembangunan jalur Trans-Mentawai.
Dalam budaya masyarakat adat Mentawai, pohon yang ditetapkan sebagai kirekat tidak boleh ditebang.
Kalau tidak ada hukum di negara ini, mungkin saya akan membunuh orang yang menebang kirekat tersebut. Menebang pohon itu sama saja dengan membunuh mereka untuk kedua kalinya.
”Kalau tidak ada hukum di negara ini, mungkin saya akan membunuh orang yang menebang kirekat tersebut. Menebang pohon itu sama saja dengan membunuh mereka untuk kedua kalinya,” kata Daniel, akhir November 2017.
Alih-alih membalas dendam, Daniel dan keluarga besar Sabulukkungan justru menggelar ritual adat sebagai bentuk permohonan maaf.
Jika ritual tidak dilakukan, penebangan kirekat itu dipercaya akan menimbulkan bencana.
Setelah ritual, Daniel mengaku lebih tenang. Meski demikian, dia dan anggota suku Sabulukkungan sesungguhnya tidak bisa menyembunyikan keresahan dan kegelisahan yang jauh lebih besar.
Keresahan itu karena ancaman bukan hanya untuk satu batang pohon, melainkan juga wilayah adat mereka di Hutan Siberut, yakni rencana masuknya hutan tanaman industri.
Keresehatan itu karena ancaman bukan hanya untuk satu batang pohon, melainkan juga wilayah adat mereka di Hutan Siberut, yakni rencana masuknya hutan tanaman industri.
Pada 2 Mei 2017, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengeluarkan Surat Persetujuan Prinsip (Rattusip) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) dengan Nomor 19/1/S-IUPHHK_HTI/PMDN/2017 untuk PT Biomas Andalan Energi (BAE) seluas 20.030 hektar (ha). Rattusip dikeluarkan atas permohonan perusahaan itu pada 6 Oktober 2016.
Setelah itu, pada 13 September 2017, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Barat mengadakan Rapat Komisi Penilai Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) untuk dokumen amdal serta Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)/Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).
Pemerintah daerah mengklaim, jika dalam proses hingga izin lingkungan usaha keluar, mereka melibatkan masyarakat. Tetapi, masyarakat adat Mentawai menyangkal hal itu.
Atas rekomendasi kelayakan dari Komisi Penilai Amdal, Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno menerbitkan Izin Lingkungan Usaha HTI PT BAE dengan Nomor 660-8-2017, 25 September 2017. Tetapi, luas yang disetujui berdasarkan Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup (SKKL) menjadi 19.876, 59 ha.
Menurut Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), yang mendampingi dan mengadvokasi hak-hak masyarakat Mentawai, lokasi rencana HTI PT BAE berada di enam desa, yaitu Desa Cimpungan (5.398,02 ha), Desa Saibi Samukop (3964,08 ha), Desa Saliguma (3659,72 ha), Desa Bojakan (2.090,37 ha), Desa Sirilogui (2.669,42 ha), dan Desa Sotboyak (2.248,39 ha). Jika jadi beroperasi, warga yang dikhawatirkan terdampak mencapai 9.903 orang.
Pemerintah daerah mengklaim, jika dalam proses hingga izin lingkungan usaha keluar, mereka melibatkan masyarakat. Tetapi, masyarakat adat Mentawai menyangkal hal itu.
Katanya ada sosialisasi. Komisi Amdal sudah bertemu masyarakat. Tapi, kami sama sekali tidak tahu tentang itu. Justru kami terkejut saat tahu kalau wilayah adat kami masuk area HTI.
”Katanya ada sosialisasi. Komisi Amdal sudah bertemu masyarakat. Tapi, kami sama sekali tidak tahu tentang itu. Justru kami terkejut saat tahu kalau wilayah adat kami masuk area HTI,” kata Bruno Tatebburuk (64), penasihat suku Sabulukkungan.
Menurut Bruno, hal itu kemudian direspons dengan munculnya berbagai penolakan dari masyarakat. Bukan hanya dari desa yang wilayahnya akan dicaplok area HTI, melainkan juga suku-suku di Siberut.
Tercatat ada 6 desa, 5 dusun, 1 organisasi kemasyarakatan, dan 52 suku membuat surat pernyataan menolak HTI. Selain itu, penolakan juga disampaikan lewat aksi demonstrasi oleh mahasiswa asal Mentawai di Padang dan juga di Jakarta.
Jika hutan rusak, ke mana kami mencari hidup lagi? Karena merusak hutan sama saja dengan membunuh kami.
Penolakan itu wajar terjadi. Apalagi bagi masyarakat adat Mentawai, hutan sangat penting dalam beragam aspek. Tidak hanya untuk kebutuhan hidup primer seperti sandang, pangan, tetapi juga kebutuhan yang bersifat budaya dan religi.
”Jika hutan rusak, ke mana kami mencari hidup lagi? Karena merusak hutan sama saja dengan membunuh kami,” kata Teu Lakka Tatebburuk (78), sikerei atau tokoh spiritual Mentawai.
Direktur YCMM Rifai mengatakan, penolakan itu merupakan penolakan serupa sejak PT BAE mengajukan izin eksploitasi Hutan Siberut untuk pertama kalinya pada 2016.
Izin pada pengajuan pertama itu tidak dikabulkan karena PT BAE tidak bisa memenuhi syarat amdal sesuai tenggat yang diberikan. Baru tahun 2017 mereka bisa mendapatkan Rattusip dan rekomendasi dari Pemerintah Provinsi Sumbar.
Sayangnya, izin pada pengajuan pertama itu tidak dikabulkan karena PT BAE tidak bisa memenuhi syarat amdal sesuai tenggat yang diberikan. Baru tahun 2017 mereka bisa mendapatkan Rattusip dan rekomendasi dari Pemerintah Provinsi Sumbar.
Tidak menyejahterakan
Bruno mengatakan, alasan penolakan juga karena eksploitasi Hutan Mentawai, terutama di Siberut, tidak pernah bisa menyejahterakan mereka. ”Setiap kali ada yang akan masuk, kami dijanjikan banyak hal. Tapi, setelah itu tidak ada,” kata Bruno.
Alasan penolakan juga karena eksploitasi Hutan Mentawai, terutama di Siberut, tidak pernah bisa menyejahterakan mereka. Setiap kali ada yang akan masuk, kami dijanjikan banyak hal. Tapi, setelah itu tidak ada.
Sejak 1969, pemerintah menyerahkan hampir seluruh kawasan hutan di Mentawai kepada badan hukum usaha baik koperasi, PT Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan PT Perkebunan. Tercatat sudah ada belasan perusahaan yang mengeksploitasi Hutan Siberut.
Meski demikian, seperti yang disebutkan Bruno, kehadiran perusahaan-perusahaan itu tidak mensejahterakan masyarakat Mentawai.
Hal itu terbukti dari sulitnya Mentawai keluar dari wilayah dengan kategori terluar, terdepan, dan tertinggal (3T). Mentawai bahkan menjadi kabupaten dengan jumlah desa sangat tertinggal paling banyak, yakni 12 desa dari 43 desa.
Selain itu, 20 desa masih tertinggal, 7 berkembang, dan hanya 4 yang masuk kategori maju.
Eskploitasi sejak 1969 itu juga tidak menyumbang banyak pada perbaikan infrastruktur Mentawai. Hingga saat ini aksesibilitas masih menjadi persoalan utama di Mentawai. Pembangunan jalur Trans-Mentawai yang diharapkan bisa membuka ketertinggalan Mentawai belum kunjung selesai.
Eskploitasi sejak 1969 itu juga tidak menyumbang banyak pada perbaikan infrastruktur Mentawai. Hingga saat ini aksesibilitas masih menjadi persoalan utama di Mentawai.
Pembangunan jalur Trans-Mentawai yang diharapkan bisa membuka ketertinggalan Mentawai pun belum kunjung selesai.
Dalam beberapa kali kunjungan Kompas ke wilayah yang terletak sekitar 150 kilometer dari daratan Sumatera Barat itu, masyarakat sangat mengeluhkan terbatasnya akses darat.
Akibatnya, sebagian besar masih harus mengandalkan jalur sungai atau laut untuk menjangkau wilayah lain. Kondisi itu berdampak pada tidak terdistribusinya komoditas hasil ladang atau kebun masyarakat.
Akibatnya, sebagian besar masih harus mengandalkan jalur sungai atau laut untuk menjangkau wilayah lain. Kondisi itu berdampak terhadap tidak terdistribusinya komoditas hasil ladang atau kebun masyarakat.
Selain itu, dampak lain yang turut muncul seusai banyaknya eksploitasi hutan Siberut adalah bencana alam.
Menurut Direktur Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Sumbar Uslaini, setelah hutan Siberut dibabat, desa-desa yang ada di sekitar lokasi itu rawan sekali banjir.
Seharusnya pemerintah menetapkan ini menjadi kawasan yang dilindungi ekosistemnya. Tujuannya agar masyarakat di sini tidak lagi berada dalam posisi yang lebih terancam lagi.
”Ini seharusnya menjadi perhatian. Sebagai wilayah kepulauan yang rentan, mereka punya ancaman bencana bukan hanya dari darat, melainkan juga dari laut. Seharusnya pemerintah menetapkan ini menjadi kawasan yang dilindungi ekosistemnya. Tujuannya agar masyarakat di sini tidak lagi berada dalam posisi yang lebih terancam lagi,” kata Uslaini.
Uslaini menambahkan, kekhawatiran yang sangat besar dari HTI di Siberut adalah konflik antara masyarakat pemilik ulayat dan yang akan menggarap lokasi.
”Konflik antara klaim negara bahwa hutan itu adalah hutan negara dan klaim masyarakat bahwa itu adalah tanah ulayat. Itu saja sampai hari belum ada penyelesaian, belum ada resolusi konflik, atau pembicaraan untuk menyelesaikan persoalan itu,” kata Uslaini.
Kekhawatiran akan munculnya konflik memang besar. Apalagi, pada 2001, masyarakat adat Mentawai membakar camp milik Koperasi Andalas Madani yang dikelola Universitas Andalas.
Kekhawatiran akan munculnya konflik memang besar. Apalagi, pada 2001, masyarakat adat Mentawai membakar camp milik Koperasi Andalas Madani yang dikelola Universitas Andalas. Pembakaran itu sebagai penolakan atas hak HPH koperasi tersebut.
Oleh karena itu, menurut Uslaini, alih-alih memaksakan HTI masuk ke Siberut, pemerintah seharusnya mendorong skema perhutanan sosial di Siberut.
Apalagi sudah ada Peraturan daerah(Perda) Pengakuan dan Perlindungan Uma sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (PPUMHA) yang bisa menjadi dasar pengakuan oleh pemerintah atas wilayah adat orang Mentawai di Siberut.
Hati-hati
Keputusan terakhir, yakni izin operasional, saat ini ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Oleh karena itu, menurut Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi Nasional Khalisah Khalid, pemerintah pusat diharapkan mempertimbangkan aspek kehati-hatian.
Kalau negara merasa tidak mampu menanggulangi bencana ekologis yang akan timbul dari investasi yang akan mengancam deforestrasi, sosial budaya, termasuk global perubahan iklim, mestinya jangan mengeluarkan kebijakan yang akan meligitimasi bencana ekologis itu.
”Kalau memang dirasa negara merasa tidak mampu menanggulangi bencana ekologis yang akan timbul dari investasi yang akan mengancam deforestrasi, sosial budaya, termasuk global perubahan iklim, semestinya jangan mengeluarkan kebijakan yang akan meligitimasi bencana ekologis itu,” kata Khalisa.
Menurut Khalisa, Presiden sudah berjanji untuk memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap masyarakat adat termasuk di dalamnya hak-hak mereka.
Hutan adat adalah bagian dari hak-hak masyarakat adat yang harus diakui dan harus dilindungi. Jelas sekali dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 menegaskan bahwa hutan adat bukan hutan negara sehingga wajib mengakui dan melindunginya.
”Hutan adat adalah bagian dari hak-hak masyarakat adat yang harus diakui dan harus dilindungi. Jelas sekali dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 menegaskan bahwa hutan adat bukan hutan negara sehingga wajib mengakui dan melindunginya,” kata Khalisa.
Khalisa mengatakan, pengakuan dan perlindungan itu penting karena ancaman terhadap hutan adat di seluruh Indonesia termasuk di Siberut luar besar masif.
Ancaman itu mulai dari HTI, sawit, tambang, dan juga pembangunan infrastruktur sekala besar yang semuanya mengancam wilayah kelola masyarakat dan hutan adat.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sumbar Siti Aisyah mengatakan, rekomendasi untuk PT BAE dikeluarkan dengan sangat hati-hati dan melalui tahap serta prosedur yang berlaku.
”Rekomendasi sudah dibahas dengan seluruh pemangku kepentingan. Setelah surat rekomendasi, kini terserah KLHK mau menerbitkan izin operasional atau tidak,” kata Siti.
Direktur Utama PT BAE Syamsu Rizal Arbi mengatakan, yang akan mereka dorong di Mentawai adalah hutan tanaman energi untuk menghasilkan energi baru terbarukan yang akan berdampak positif bagi masyarakat.
Direktur Utama PT BAE Syamsu Rizal Arbi mengatakan, yang akan mereka dorong di Mentawai adalah hutan tanaman energi untuk menghasilkan energi baru terbarukan yang akan berdampak positif bagi masyarakat.
Terkait dengan kekhawatiran akan munculnya konflik dan bencana, dia mengatakan, itu sudah terjawab melalui kajian, termasuk kearifan lokal di Mentawai. ”Semua itu sudah dikaji dan ada di dokumen amdal,” kata Syamsu Rizal.