Mengenal Gajah Jinak dan Aktivitas di Taman Nasional Tesso Nilo
Dalam dunia dongeng, Jumbo adalah nama seekor gajah raksasa. Dari cerita anak-anak itu, nama jumbo berkembang dan kerap diidentikkan dengan benda berukuran besar.
Namun, dalam kelompok gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis) peliharaan Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Jumbo adalah gajah terkecil. Usianya baru 13 tahun.
Dibandingkan dengan dua gajah peliharaan lainnya, yaitu Dono dan Novi, yang berumur 35 tahun, ukuran Jumbo setengahnya saja.
Keberadaan tiga gajah peliharaan Yayasan TNTN ini memiliki kisah tersendiri. Jumbo adalah gajah asli Taman Nasional Tesso Nilo, di wilayah Kabupaten Pelalawan, Riau. Ketika masih berusia 7 tahun, bapak dan ibu Jumbo mati akibat diracun oleh manusia.
Kejadiannya berlangsung pada 2012. Kala itu, konflik antara gajah dan manusia perambah yang menanam kelapa sawit di kawasan hutan TNTN sangat tinggi.
Menurut Yuliantoni, Direktur Yayasan TNTN, kematian orangtuanya membuat Jumbo kehilangan orientasi. Dia bergerak tidak tentu arah dan terpisah dari rombongan besarnya.
Menurut Yuliantoni, Direktur Yayasan TNTN, kematian orangtuanya membuat Jumbo kehilangan orientasi. Dia bergerak tidak tentu arah dan terpisah dari rombongan besarnya.
”Kalau dibiarkan terlalu lama menyendiri, gajah jantan kecil seperti itu akan mati. Dia ditemukan di pinggir Jembatan Pelalawan. Balai TNTN kemudian menyerahkan anak gajah itu kepada kami untuk dirawat,” kata Yuliantoni dalam perbincangan dengan Kompas pada akhir 2017.
Novi dan Dono merupakan gajah asli Riau, tetapi bukan dari TNTN. Dua gajah itu pernah dipelihara oleh seorang pengusaha kaya asal Tanjung Balai, Sumatera Utara. Namun, ternyata bisnis pengusaha itu goyang sehingga Novi dan Dono kurang makan dan tidak terawat.
Balai TNTN kemudian menyerahkan dua gajah itu kepada Yayasan TNTN untuk dipelihara.
Balai TNTN dan Yayasan TNTN merupakan dua lembaga berbeda. Balai TNTN adalah instansi pemerintah di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Adapan Yayasan TNTN adalah lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap konservasi satwa dan keanekaragaman hayati di TNTN. Yayasan TNTN sudah berdiri sejak 2006.
Selain Yayasan TNTN, ada beberapa LSM lain yang memiliki tujuan sama di TNTN. Misalnya World Wildlife Fund (WWF) Riau yang lebih dulu beroperasi pada 2004.
Selain Yayasan TNTN, ada beberapa LSM lain yang memiliki tujuan sama di TNTN. Misalnya World Wildlife Fund (WWF) Riau yang lebih dulu beroperasi pada 2004.
WWF juga memiliki gajah jinak untuk mendukung patroli di kawasan TNTN. Nama kelompok gajahnya disebut Flying Squad. Jumlah gajah WWF sudah mencapai delapan ekor.
Tiga gajah Yayasan TNTN awalnya merupakan gajah liar. Namun, berkat ”sekolah” di Flying Squad WWF, gajah-gajah itu kini dapat bekerja sendiri.
Untuk merawat gajahnya, Yayasan TNTN memiliki tujuh mahout atau pawang. Tugas mahout persis seperti pengasuh anak manusia. Mahout merupakan orang yang paling dekat dengan gajah peliharaannya.
Yayasan TNTN dan WWF Riau merupakan dua LSM yang diberi mandat oleh Balai TNTN untuk mengawasi areal ekosistem TNTN seluas 300.000 hektar.
Yayasan TNTN dan WWF Riau merupakan dua LSM yang diberi mandat oleh Balai TNTN untuk mengawasi areal ekosistem TNTN seluas 300.000 hektar.
Adapun wilayah inti TNTN sendiri hanya 83.000 hektar. Baik kawasan inti maupun ekosistem di luar TNTN sebagian besar sudah luluh lantak akibat perambahan.
Kawasan inti TNTN kini hanya tersisa 20.000 hektar lagi, atau sudah hilang 63.000 hektar, berubah menjadi kebun kelapa sawit.
Balai TNTN sendiri tentu tidak mampu menjaga TNTN. Namun, warga Desa Lubuk Kembang Bunga yang sebagian besar wilayahnya berada di kawasan TNTN justru pesismistis terhadap kiprah Balai TNTN.
”Jangankan menjaga hutan, menjaga kantornya saja mereka tidak mampu,” kata Hamencol (54), tokoh adat Desa Lubuk Kembang Bunga.
Pernyataan Hamencol itu merujuk pada salah satu bangunan Balai TNTN di Resor Lancang Kuning, Desa Lubuk Kembang Bunga, yang sudah rusak dan tidak kunjung diperbaiki.
Ekosistem TNTN juga termasuk hutan produksi yang sudah habis izin hak pengelolaan hutan atau yang sudah berubah menjadi hutan tanaman industri. Beberapa dari HPH yang sudah berakhir atau dicabut izinnya juga sudah dirambah secara besar-besaran.
Populasi gajah TNTN telah berkurang drastis akibat perambahan. Menurut data WWF Riau, sejak tahun 2004, diperkirakan sekitar 100 gajah telah mati terbunuh akibat konflik dengan manusia.
Populasi gajah TNTN telah berkurang drastis akibat perambahan. Menurut data WWF Riau, sejak tahun 2004, diperkirakan sekitar 100 gajah telah mati terbunuh akibat konflik dengan manusia.
”Sekarang ini kami memperkirakan jumlah gajah TNTN sekitar 140 ekor lagi. Pendataan itu dilakukan berdasarkan uji sampel kotoran gajah yang ditemukan di hutan TNTN,” kata Yuliantoni.
Pengawasan terhadap ekosistem TNTN seluas 300.000 hektar dibagi dalam lima blok. Yayasan TNTN mendapat tugas patroli di dua bagian seluas 180.000 hektar dan WWF tiga bagian sisanya. Yayasan TNTN memiliki tim patroli bermotor yang bekerja selama 15 hari dalam sebulan.
Gajah peliharaan tidak diikutkan dalam patroli. Gajah-gajah itu hanya dipakai jika diperlukan untuk mengusir gajah liar yang masuk perkampungan penduduk atau kebun warga.
Pekerjaan patroli ini bukan hal mudah. Anggota patroli harus siap mental dan fisik menghadapi medan keras hutan dan kemungkinan bertemu dengan perambah nekat dan binatang buas.
Tugas patroli yang paling utama adalah memberikan edukasi kepada warga atau perambah agar dapat berdampingan hidup dengan gajah.
Tugas patroli yang paling utama adalah memberikan edukasi kepada warga atau perambah agar dapat berdampingan hidup dengan gajah.
Apabila muncul konflik, ketika gajah masuk perkampungan atau kebun, warga diminta tidak melakukan balas dendam dengan cara meracun, memberikan aliran listrik, ataupun membuat jerat mematikan.
Adapun menemukan aktivitas perambahan di tengah hutan adalah sebuah nilai tambah buat tim patroli.
”Berkat edukasi dan memberikan pengertian yang dilakukan oleh petugas patroli, pada tahun 2017, tidak ada konflik gajah dan manusia yang menyebabkan kematian di tempat kami. Petugas patroli baru dapat berhasil jika mampu membangun kolaborasi dengan masyarakat,” ujar Yuliantoni.
Untuk mendukung tugas-tugas berat itu, Yayasan TNTN mendapat bantuan dana dari Tropical Forest Conservation Act. Pengawasan dan fasilitasi bantuan itu dilakukan lembaga Pundi Sumatera.
Pekerjaan konservasi satwa liar untuk jangka panjang adalah upaya kerja keras yang sangat mahal dan harus melibatkan semua pihak. Padahal, selama ini, masalah koordinasi para pihak itulah kelemahan utamanya.
Menurut Damsir dari Pundi Sumatera, pekerjaan konservasi satwa liar untuk jangka panjang adalah upaya kerja keras yang sangat mahal dan harus melibatkan semua pihak. Padahal, selama ini, masalah koordinasi para pihak itulah kelemahan utamanya.
”Yang paling penting adalah mendorong kemitraan antarlembaga di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dinas kehutanan, korporasi, warga masyarakat, dan LSM lingkungan untuk dapat berbagi peran. Tidak dapat lagi bekerja sendiri-sendiri. Semua harus memikirkan langkah penyelesaian secara bersama. Yang diurusi bukan hanya satwa, melainkan juga manusia yang berada di wilayah konflik,” kata Damsir.