Perekonomian RI Diprediksi Tetap Kuat di Tahun Politik
JAKARTA, KOMPAS — Memanasnya suhu politik pada 2018 dinilai tidak akan berdampak signifikan pada perekonomian. Angka pertumbuhan ekonomi 2018 malah diprediksi akan meningkat meskipun tipis.
Pada tahun ini, terdapat dua perhelatan politik besar. Pada Juni 2018 akan dilakukan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 171 wilayah, meliputi 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Dua bulan setelahnya, tahapan awal pemilihan presiden (pilpres) untuk pencalonan kandidat dimulai.
Dua ajang politik ini dikhawatirkan menimbulkan gejolak yang berakibat langsung pada pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, hal itu dibantah oleh pengamat ekonomi Yuswohady. Ia mengatakan, pebisnis dan konsumen mulai terbiasa dengan kondisi politik yang cukup panas.
”Hal itu sudah kita lalui tiga kali. Sesuatu yang berulang tak akan seheboh sebelumnya,” ucapnya saat dihubungi Kompas, Rabu (3/1).
Dua kejadian yang dimaksud Yuswohady adalah Pilpres 2014 dan Pilkada Jakarta 2017. Menurut dia, gejolak terbesar sudah terjadi saat Pilkada Jakarta yang lalu. Hal itu dikarenakan ada ucapan yang memunculkan sentimen agama. Ia pun menilai hal ini tidak akan muncul dan sebesar sebelumnya. ”DKI puncak, tidak akan ada yang lebih lagi,” katanya.
Setelah dua momen politik itu pun, pelaku ekonomi bisa lebih prediktif tentang dampak konflik. Tidak seperti saat tahun 1999, ketika kondisi sosial politik masih penuh dengan ketidakjelasan.
Apalagi, ujar Yuswohady, akan ada pendingin suasana sejenak pada tahun ini, yaitu Piala Dunia Rusia 2018 dan Asian Games Jakarta 2018. Dua ajang yang dimainkan pada rentang Juni-September itu akan menjadi pengalihan isu dari topik politik. ”Dua ajang itu akan membuat sisi serius politik bisa diimbangi obrolan yang menghibur sehingga ada penawarnya,” sebutnya.
Pertumbuhan ekonomi
Yuswohady malah memprediksi pertumbuhan ekonomi pada 2018 akan meningkat dari 5,1 persen ke 5,2-5,3 persen. Pertumbuhan itu akan bertumpu pada industri hiburan atau leisure yang kini menjadi primadona baru.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga pada triwulan III tumbuh 4,93 persen, turun dibandingkan pertumbuhan periode sama tahun sebelumnya yang sebesar 5,01 persen.
Penurunan laju konsumsi terjadi pada sektor makanan dan minuman, pakaian, serta perlengkapan rumah tangga. Namun, laju konsumsi hotel dan restoran justru meningkat dari 5,01 persen menjadi 5,52 persen. Tingkat hunian hotel cenderung meningkat, dari 60,31 persen pada 2014 menjadi 64,99 persen pada 2017.
Fenomena itu menandakan adanya perubahan pola perilaku konsumsi masyarakat, dari kebutuhan dasar ke hiburan. ”Tahun depan industri hiburan masih akan kuat sebagai tumpuan pertumbuhan. Duit menganggur setelah kebutuhan utama akan dimanfaatkan ke arah sana,” ucap Yuswohady.
Menurut dia, laju konsumsi yang bersifat hiburan akan terus meningkat seiring makin banyaknya jumlah kelas menengah di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, jumlah masyarakat berpenghasilan menengah ke atas akan bertambah dari 45 juta orang pada 2010 menjadi 85 juta jiwa pada 2020.
Bahkan pada 2045, 255 juta dari 319 juta penduduk merupakan kelas menengah.
Selain itu, pengaruh digitalisasi di Indonesia juga ikut menggeser pola perilaku. ”Kini kebutuhan utama mereka adalah untuk pamer di media sosial. Kalau dulu untuk kepuasan sendiri. Kini bisa menunjukkan ke orang lain sedang di Bali atau Paris. Itu jadi motivasi mereka mencari hiburan seperti konser, makan malam mewah, atau liburan,” kata Yuswohady.
Jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 132,7 juta orang. Dari jumlah tersebut, 106 juta menggunakan media sosial.
Menurut data We Are Social 2017, jumlah pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 132,7 juta orang. Dari jumlah tersebut, 106 juta menggunakan media sosial. Artinya, sekitar 40 persen penduduk Indonesia sudah menggunakan media sosial.
Faktor peningkatan konsumsi hiburan yang paling besar adalah kebangkitan milenial. Data BPS menyebutkan, 32 persen penduduk Indonesia adalah milenial. Sedangkan milenial memiliki perspektif berbeda tentang konsumsi.
Milenial lebih mengutamakan pengalaman (experience) daripada bentuk fisik barang itu sendiri. ”Generasi yang pencari pengalaman. Dibanding barang, lemari es, rumah, motor. Generasi yang mulai shifting ke arah pengalaman, makan malam, liburan, nonton konser,” katanya.
Program pemerintah
Untuk itu, ia mendorong pemerintah lebih fokus pada hiburan, yaitu pariwisata sebagai sumber pendapatan negara. Ia juga meyakini, sumber devisa negara akan didominasi oleh sektor pariwisata pada tahun-tahun ke depan, menggantikan kelapa sawit.
Hal senada diucapkan Managing Director Ciputra Group Harun Hajadi. Menurut dia, pariwisata merupakan cara paling mudah untuk mendapatkan devisa. Apabila Indonesia tetap aman, pariwisata akan menjadi primadona yang luar biasa.
Apalagi, pariwisata juga sedang digalakkan oleh Presiden Joko Widodo. Segala macam bentuk promosi dan pembangunan infrastruktur terus dilakukan. Terakhir, Presiden Jokowi mempromosikan wisata Bali di medsosnya.
Pariwisata merupakan cara paling mudah untuk mendapatkan devisa. Jika keamanan dan kenyamanan terus dijaga, pariwisata akan menjadi primadona yang luar biasa
Ia menyampaikan, Bali sudah aman dan bisa kembali dikunjungi. Hal itu dilakukan untuk mengembalikan kunjungan ke Bali yang sempat turun karena erupsi Gunung Agung.
Jokowi juga mempromosikan Danau Toba di Sumatera Utara sebagai tempat wisata yang harus dikunjungi. Kehadirannya di sana sekaligus untuk meresmikan Bandar Udara Silangit, Sumatera Utara, yang dapat memudahkan akses menuju Danau Toba.
Program pemerintah seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang fokus pada pariwisata juga digenjot. Teranyar, kawasan Mandalika, Lombok, NTB, dijadikan KEK pariwisata. KEK itu akan mempercepat pembangunan infrastruktur di Mandalika. Selain itu, juga memudahkan proses investasi yang akan masuk.
Selesaikan PR
Menurut ekonom dari PT Samuel Aset Manajemen, Lana Soelistianingsih, masih banyak pekerjaan rumah di bidang ekonomi yang harus diselesaikan pemerintahan Jokowi. Jika mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2014-2019, target penurunan tingkat kemiskinan dan ketimpangan belum tercapai.
Lana mengusulkan dana bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat miskin perlu ditingkatkan. Dana itu diharapkan bisa menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya beli masyarakat kelas bawah. ”Dengan itu, ekonomi bisa tumbuh lebih tinggi,” ucap Lana.
Realisasi bansos pun harus tepat waktu. Jangan sampai seperti tahun 2017, ketika Lebaran, dana bansos mundur sebulan. Akibatnya, daya beli masyarakat menurun yang berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi.
Lana yakin pada tahun politik, pertumbuhan ekonomi tidak akan berubah banyak, yaitu 5,15 persen. ”Investasi pasti ada perbaikan, tetapi tidak bisa dipungkiri investor akan sedikit khawatir menghadapi tahun pemilu,” kata Lana. (DD06)