Masa Depan Pembangunan Transportasi Berbasis Rel di Indonesia
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan melanjutkan pembangunan transportasi berbasis rel pada tahun 2018 ini. Pembangunan dilakukan untuk mendorong konektivitas nasional sehingga dapat mengurangi kesenjangan wilayah, mengentaskan rakyat dari kemiskinan, dan menguatkan daya saing.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, alokasi dana infrastruktur dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar Rp 410,4 triliun. Angka tersebut naik dari APBN 2017 sebesar Rp 387,7 triliun. Dana untuk Kementerian Perhubungan sebesar Rp 48,2 triliun.
Alokasi dana untuk Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkeretaapian sebesar Rp 16,023 triliun. Sebagai pembanding, dana untuk Ditjen Perhubungan Laut sebesar Rp 11,6 triliun dan Ditjen Perhubungan Udara Rp 9,162 triliun.
”Pembangunan yang pasti masih dilanjutkan karena proyek bersifat multiyears (tahun jamak),” kata Kepala Humas Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Joice Hutajulu di Jakarta, Jumat (5/1).
Ditjen Perkeretaapian fokus pada beberapa isu strategis pada tahun ini. Isu-isu tersebut adalah pengembangan kapasitas dan penambahan jaringan serta pengembangan transportasi perkotaan. Selain itu, fokus akan berada pada peningkatan konektivitas antarmoda melalui pembangunan akses menuju pelabuhan, bandara, dan kawasan industri.
Beberapa proyek intermoda kereta api (KA) yang dilanjutkan adalah jalur Bandar Tinggi-Kuala Tanjung sepanjang 21 kilometer (km). Pelanjutan jalur KA Padang-Bandara Internasional Minangkabau (BIM), yang terdiri dari peningkatan jalur KA sepanjang 1,3 km, penambahan jembatan 7 unit, dan pengembangan stasiun 2 unit.
Untuk proyek perkeretaapian perkotaan, pemerintah akan melanjutkan pembangunan jalur rel dwiganda (double double track) Manggarai-Cikarang dan Maja-Rangkasbitung. Selain itu, pemerintah akan meneruskan pembangunan kereta api ringan (LRT) di Sumatera Selatan dan Jabodebek serta jalur Layang Medan-Bandar Khalifah sepanjang 8 kilometer.
Sementara itu, perkeretaapian antarkota yang dilanjutkan adalah pembangunan jalur ganda lintas selatan Jawa. Jalur tersebut terdiri dari Purwokerto-Kroya sepanjang 17,8 km, jalur Kroya-Kutoarjo 76 km, Solo-Kedungbanteng 41 Km, Kedungbanteng-Madiun 57 km, serta Madiun-Jombang 86 km.
Selain itu, terdapat proyek lanjutan pembangunan jalur Martapura-Baturaja dan Prabumulih-Kertapati serta jalur Cianjur-Padalarang dan Bogor-Sukabumi. Pemerintah juga melanjutkan pembangunan Trans-Sumatera (Langsa-Besitang, Binjai-Besitang, dan Rantau Prapat-Kota Pinang) dan Trans-Sulawesi (Makassar-Parepare dan Manado-Bitung).
Adapun pemerintah juga akan memulai proyek reaktivasi jalur lintas Semarang-Tanjung Mas sepanjang 2,2 km, pembangunan KA Bandara Kulon Progo, dan pembangunan KA Bandara Adi Soemarmo.
”Yang pasti pembangunan tidak gampang. Jaringan masih banyak yang bermasalah sehingga untuk sementara jalur kereta hanya ada di Pulau Jawa dan sebagian Pulau Sumatera,” kata Joice. Pembangunan kereta yang berkelanjutan dan konektivitas akan membantu masyarakat memiliki akses.
Yang pasti pembangunan tidak gampang. Jaringan masih banyak yang bermasalah sehingga untuk sementara jalur kereta hanya ada di Pulau Jawa dan sebagian Pulau Sumatera.
Pengerjaan proyek, lanjutnya, selama ini terkendala dalam masalah pembebasan dan ketersediaan lahan dalam melakukan pembangunan. Pemerintah pusat terus berupaya berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat. Pengurusan masalah pengalihan lahan pun membutuhkan waktu yang tidak cepat.
”Pemerintah akhirnya menyiasati dengan mengoperasikan beberapa petak yang telah dapat difungsikan,” kata Joice. Misalnya, proyek Trans-Sulawesi yang memiliki panjang jalur sebesar 144 km. Kereta akan segera dioperasikan jika rel telah mencapai panjang tertentu, seperti 44 km. Strategi itu dilakukan karena waktu yang dibutuhkan akan sangat lama jika menunggu semua pengerjaan jalur selesai.
Fokus pemerintah juga tidak hanya terkait masalah pengangkutan orang, tetapi juga barang. Fokus pembangunan jalur kereta di pulau luar Jawa adalah untuk membantu pergerakan barang dalam pulau tersebut. Masyarakat di luar Pulau Jawa selama ini masih banyak yang kesulitan menyalurkan barang dari tempat produksi, pengolahan, dan pelabuhan untuk dipasarkan.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menyatakan, perencanaan pembangunan infrastruktur harus jelas agar proyek tidak berhenti di tengah jalan. Proyek yang Agus contohkan belum jelas pembangunannya adalah jalur KA Trans-Kalimantan. Hal itu terjadi karena pemerintah terlalu tergesa-gesa dalam melakukan pembangunan.
”Selain itu, masih ada proyek infrastruktur transportasi yang bergelut masalah pembiayaan setelah beroperasi,” kata Agus. Ia mencontohkan, kereta rel listrik (KRL) Bandara Soekarno-Hatta yang beroperasi di Jakarta baru-baru ini masih belum memiliki dana operasi sehingga harga tiket menjadi mahal, sekitar Rp 70.000.
Bahkan, harga tiket direncanakan menjadi Rp 100.000. Harga tiket tersebut dinilai tidak sesuai dengan daya beli masyarakat. Apalagi ketika masih tersedia sarana transportasi lain, seperti bus, menuju Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, yang lebih murah dan waktu tempuh yang hampir sama.
Agus mengungkapkan, pemerintah harus memiliki alokasi anggaran yang jelas. Selain untuk mendorong konektivitas, infrastruktur KA Indonesia juga masih kalah dibandingkan Singapura, Thailand, dan Malaysia.
”Pembiayaan harus jelas dari mana. Bisa dari obligasi, penyertaan modal negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, ataupun utang,” ujar Agus. (DD13)