JAKARTA, KOMPAS – Angka kemiskinan nasional menurun 1,18 juta orang atau sekitar 0,58 persen dalam setahun. Garis kemiskinannya juga turun dengan selisih Rp 25.170. Akan tetapi, rasionalitas standar garis kemiskinan ini perlu dikaji lebih lanjut sehingga penduduk miskin yang terdata jumlahnya sesuai dengan keadaan ekonominya.
Dalam laporan yang dipublikasikan pada awal Januari 2018, Badan Pusat Statistik menyebutkan, jumlah penduduk miskin per September 2017 berkisar 26,58 juta orang dengan proporsi 10,12 persen. Dibandingkan dengan September 2016, jumlahnya sekitar 27,76 juta orang dengan proporsi 10,70 persen.
Penggolongan penduduk miskin tersebut berdasarkan kelompok orang yang pengeluaran per kapita per bulannya di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan pada September 2017 ditetapkan Rp 387.160. Angka ini naik 6,95 persen dari September 2016 yakni, Rp 361.990.
Garis kemiskinan pada September 2017 ini 73,35 persennya berasal dari komponen makanan, sedangkan sisanya dari nonpangan. Komponen pangan disetarakan dengan pengeluaran untuk memenuhi 2.100 kkalori.
Angka garis kemiskinan itu disoroti oleh Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati. "Rasionalitas garis kemiskinan yang menjadi acuan perlu dipertimbangkan. Standar internasional untuk garis kemiskinan berkisar 2 dollar AS," katanya di Jakarta, Jumat (5/1).
Secara sederhana, jika Rp 387.160 dibagi 30 hari hasilnya berkisar Rp 12.900. Dengan kisaran 70 persen dialokasikan untuk makanan, angkanya sekitar Rp 9.000.
Saat dihubungi secara terpisah, Ahli Gizi dari Rumah Sakit Pelni Jakarta Juwalita Surapsari mengatakan, uang Rp 9.000 per hari tidak akan cukup memenuhi standar kebutuhan gizi manusia dalam sehari. Dia mencontohkan, dalam satu kali makan dibutuhkan Rp 3.000 - 5.000 untuk 1-2 porsi nasi, Rp 3.000 untuk sayur, dan sisanya lauk. Padahal, manusia standarnya makan 3 kali sehari dengan 2 kali selingan kudapan.
Uang Rp 9.000 per hari tidak akan cukup memenuhi standar kebutuhan gizi manusia dalam sehari
Padahal, konsumsi setara 2.100 kkalori seminimal mungkin terdiri dari makan 3 kali sehari dengan selingan. Satu kali makan meliputi nasi 1,5-2 porsi, 1 potong lauk hewani, dan 1 potong lauk nabati. Selingannya berupa buah atau kepingan biskuit.
Konsumsi 2.100 kkalori dinilai Juwalita cukup untuk orang dewasa dengan aktivitas fisik sedang. Artinya, tidak melakukan aktivitas seperti tukang bangunan atau atlet. Akan tetapi, dia mengatakan, nilai gizi 2.100 kkalori tidak cukup dengan uang Rp 9.000 per hari.
Enny menambahkan, kondisi konsumsi makanan itu diperparah dengan naiknya tingkat kedalaman kemiskinan dalam setahun. Tingkat kedalaman menandakan rata-rata pengeluaran cenderung menjauhi garis kemiskinan. Pada September 2016 angkanya 1,74, sedangkan pada September 2017 mencapai 1,79. "Kondisi ini akan meningkatkan potensi gizi buruk pada penduduk miskin karena pengeluarannya semakin di bawah garis kemiskinan," ujarnya.
Untuk mengeluarkan kelompok penduduk itu dari kategori miskin, dibutuhkan pemetaan. Enny mengatakan, tujuan pemetaan ini ialah, agar solusi pengentasan kemiskinan menjadi lebih fokus dan spesifik.
Akar masalah kemiskinan menurut Enny adalah kecukupan penghasilan. Pengentasannya dapat melalui program yang menyokong pekerjaan bagi penduduk miskin. “Pemerintah sebaiknya menentukan program-program yang efektif untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan,” ucapnya.
Pemerintah sebaiknya menentukan program-program yang efektif untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan
Pekerjaan yang memadai itu membutuhkan tiga akses. Enny memaparkan, ketiga hal itu terdiri dari, akses terhadap sumber-sumber produktif, fasilitas dasar seperti kesehatan dan pendidikan, serta kesempatan untuk mendapatkan sumber pembiayaan.
Bantuan langsung
Ditemui secara terpisah sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, salah satu kebijakan yang telah diambil ialah memberikan bantuan tunai nonpangan. “Bantuan ini diberikan langsung ke keluarga yang membutuhkan, tidak melalui kelurahan atau kepala desa,” ujarnya.
Menurut Darmin, bantuan ini dapat menjadi salah satu cara untuk menurunkan angka kemiskinan hingga di bawah 10 persen secara bertahap. Hasilnya dapat dilihat turunnya persentase penduduk miskin secara konsisten dalam dua tahun terakhir.
Namun, bantuan langsung itu dianggap belum efektif oleh Enny. Ada kemungkinan kelompok penduduk itu kembali tergolong miskin jika bantuan itu berhenti. “Keberlanjutannya perlu ditinjau. Jangan sampai hanya menjadi ‘penawar’ kemiskinan tapi tidak menyembuhkan sumber masalahnya,” katanya.
Pembagian lahan
Darmin juga mengatakan, strategi lainnya untuk menurunkan tingkat kemiskinan ialah pembagian sertifikat lahan. Targetnya 5 juta hektar tahun ini.
Program pembagian sertifikat tanah itu, menurut Enny, memerlukan pemberdayaan masyarakat untuk mengolah lahannya sehingga mampu bernilai ekonomi. “Kalau tidak, potensi pindah tangan atau penjualannya cukup tinggi” katanya.
Tidak hanya pengolahan lahan yang perlu ditindaklanjuti oleh program dari pemerintah, tetapi juga pengolahan produk lahan itu. Enny mengatakan, hal itu bertujuan untuk menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi sehingga mampu memberikan penghasilan cukup bagi penduduk yang tergolong miskin itu. (DD09)