Gerakan Nasional Nontunai Belum Optimal
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah uang cetak yang beredar di Indonesia meningkat. Sementara itu, transaksi nontunai juga meningkat namun pertumbuhannya melambat.
Hal itu mengindikasikan, Gerakan Nasional Nontunai yang dicanangkan pemerintah sejak 2014 belum optimal.
Berdasarkan data yang dihimpun Bank Indonesia, pertumbuhan volume transaksi nontunai.
Pertumbuhan volume transaksi menggunakan kartu debet melambat dalam lima tahun terakhir dari 24 persen (2012 ke 2013), 17 persen (2013 ke 2014), 10 persen (2014 ke 2015), dan 15 persen (2015 ke 2016).
Sedangkan, dalam tiga tahun terakhir volume transaksi menggunakan kartu kredit juga melambat sebesar 14,19 persen (2013 ke 2014), 9,99 persen (2014 ke 2015), dan 0,17 persen (2015 ke 2016).
Untuk transaksi menggunakan uang elektronik cenderung fluktuatif dalam lima tahun terakhir, yakni, 47,47 persen (2012 ke 2013), 14,17 persen (2013 ke 2014), 59,14 persen (2014 ke 2015), dan 33,70 persen (2015 ke 2016).
Meskipun masyarakat memiliki berbagai macam kartu untuk transaksi nontunai, uang tunai tetap menjadi simpanan utama di dompet.
Saat dihubungi secara terpisah, Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih mengatakan, meskipun masyarakat memiliki berbagai macam kartu untuk transaksi nontunai, uang tunai tetap menjadi simpanan utama di dompet.
“Masyarakat masih belum yakin sepenuhnya, transaksi nontunai bisa diterima secara umum,” ujarnya, Jumat (5/1).
Saat ini, masyarakat Indonesia masih dalam tahap peralihan dari pembayaran tunai menjadi nontunai.
Lana mengatakan, perlu regulasi atau kebijakan yang memaksa untuk mencapai pembayaran yang didominasi nontunai. Contohnya, pembayaran tarif tol dan transportasi umum di Jakarta.
Dalam laporannya, Bank Indonesia mencatat, uang yang diedarkan pada 2017 meningkat 13,4 persen dari tahun.
Total nilai uang yang beredar mencapai Rp 694,8 triliun pada tahun ini, sedangkan pada 2016 nilainya Rp 612,6 triliun.
"Dalam tiga tahun terakhir, ini peningkatan tertinggi yang dicapai," kata Direktur Eksekutif Kepala Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia Suhaedi dalam konferensi pers di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Jumat.
Jumlah uang kertas yang dicetak Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia selama 2017 mencapai 11,026 milyar bilyet. Sedangkan, jumlah uang logam yang dicetak mencapai 2,29 milyar keping.
Meningkatnya jumlah uang yang beredar disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi.
Menurut Suhaedi, meningkatnya jumlah uang yang beredar disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi.
"Peredaran uang mengikuti kegiatan ekonomi. Kalau transaksinya meningkat, uang yang beredar juga meningkat," ujar Suhaedi.
Sementara itu, tren transaksi nontunai juga meningkat. Transaksi menggunakan uang elektronik dari Januari sampai September 2017 telah mencapai Rp 7,5 triliun, sedangkan total pada periode yang sama di tahun 2016 mencapai Rp 4,9 triliun.
Volume transaksi menggunakan kartu debet dari Januari sampai November 2017 lebih besar sekitar Rp 520 triliun dibandingkan dengan periode yang sama pada 2016.
Sedangkan, volume transaksi dengan kartu kredit pada periode yang sama juga lebih tinggi 2017 dibandingkan 2016 dengan selisih berkisar Rp 16 triliun.
Pertumbuhan transaksi nontunai ini berdampak pada peredaran uang.
"Yang paling terasa adalah uang logam, terutama dalam pembayaran tarif tol. Sebelum sistem nontunai diterapkan, uang logam masih dibutuhkan. Sekarang berkurang," tutur Suhaedi.
Penurunan peredaran uang logam itu terlihat dari selisih pertumbuhan pada antara November 2017 dengan 2016 dan November 2016 dengan 2015 (month-to-month). Nilai 2017-2016 sebesar Rp 0,9 triliun, sedangkan nilai 2016-2015 sebesar Rp 1 triliun.
Kalau permintaan uang kartal berkurang, kami akan menyediakan secukupnya. Ini bentuk komitmen kami dalam memenuhi kebutuhan uang kartal masyarakat
Antara transaksi nontunai dan tunai ini, Suhaedi mengatakan, pihaknya akan menyesuaikan.
"Kalau permintaan uang kartal berkurang, kami akan menyediakan secukupnya. Ini bentuk komitmen kami dalam memenuhi kebutuhan uang kartal masyarakat," katanya.
Tahun politik
Menurut Suhaedi, tahun politik tidak berpengaruh pada jumlah uang beredar. “Faktor utamanya pertumbuhan ekonomi. Tahun 2018 kami prediksi jumlah uang beredar berkisar 10-12 persen,” katanya.
Akan tetapi, Lana berpendapat, kenaikan uang yang beredar cenderung terjadi di tahun sebelum pemilu diadakan dan bersifat musiman.
Berdasarkan data yang dihimpun Bank Indonesia, pada 2013 (menjelang pemilihan presiden 2014), kenaikan uang beredarnya mencapai 13,7 persen dari tahun sebelumnya.
Lana menganalisis, kenaikan uang menjelang tahun politik ini patut menjadi lampu kuning bagi pemangku kebijakan, terutama di bidang ekonomi.
Lonjakan uang beredar yang tinggi menandakan, masyarakat tidak yakin dengan kondisi ekonomi mendatang
“Lonjakan uang beredar yang tinggi menandakan, masyarakat tidak yakin dengan kondisi ekonomi mendatang. Karena itu, mereka menyimpan uang tunai untuk berjaga-jaga,” tuturnya.
Distribusi uang
Sepanjang 2017, Bank Indonesia menambahkan 53 kantor kas titipan sehingga menjadi 114 kantor. Bentuknya ialah kerjasama layanan kas dengan perbankan di kabupaten dan kota.
Dibukanya kantor-kantor kas titipan ini merupakan salah satu strategi untuk menunjang pengiriman uang kartal dari Bank Indonesia yang ada di Jakarta ke seluruh Indonesia.
"Jumlah uang dikirimkan meningkat 23,6 persen dari tahun 2016," ujar Suhaedi.tambahan kas titipan ini membuat jangkauan distribusi uang lebih dekat sehingga pelayanan permintaan uangnya lebih cepat.
Suhaedi menuturkan, sebelumnya di sejumlah daerah harus menunggu 2-3 hari untuk mendapatkan uang. Sekarang hanya membutuhkan waktu 1 hari.
Uang palsu
Rasio uang palsu pada 2017 menurun dari tahun lalu. Pada 2016, rasionya sebesar 13 lembar banding 1 juta lembar uang yang beredar di masyarakat.
Hingga November 2017, rasionya sebesar 8 lembar banding 1 juta lembar.
Menurunnya rasio uang palsu ini tak lepas dari kerjasama dengan Polri dan aparat penegak hukum. "Yang ditindak tak hanya pengedarnya, tetapi juga perantara dan pemodalnya," ucap Suhaedi.
Sampai saat ini, jumlah kasus uang palsu yang terungkap mencapai 28 temuan. Total barang buktinya berupa 2.815 lembar pecahan Rp 100.000 serta 2.692 lembar pecahan Rp 50.000.
Tak hanya dari segi penindakan dan penegakan hukum, edukasi kepada masyarakat juga berperan terhadap turunnya rasio uang palsu yang beredar.
Tak hanya dari segi penindakan dan penegakan hukum, edukasi kepada masyarakat juga berperan terhadap turunnya rasio uang palsu yang beredar. Bank Indonesia telah mengadakan 329 kegiatan dengan jumlah seluruh peserta sebanyak 90.448 orang.
"Temuan uang palsu sampai saat ini mayoritas dilaporkan oleh masyarakat. Artinya, masyarakat sudah semakin paham dalam membedakan uang palsu dan uang asli," kata Suhaedi. (DD09)