JAKARTA, KOMPAS — Identitas agama berpotensi memiliki daya ledak apabila tidak dikelola secara bertanggung jawab. Memasuki tahun politik, tokoh-tokoh agama diharapkan menjadikan agama sebagai sumber nilai saat politik semakin mengalami kedangkalan dan pragmatisme luar biasa.
Agama bisa memberikan kekuatan kerohanian bagi penganutnya. Namun, begitu disalahgunakan untuk memenuhi kepentingan politik sesaat, agama bisa menjadi pangkal pertikaian yang dapat berdampak panjang.
”Di tahun politik ini, kita diingatkan bagaimana dalam hal persatuan, umat beragama benar-benar mengamalkan Pancasila. Tokoh-tokoh agama mesti bisa menjadikan agama sebagai sumber nilai, jangan justru menjadi ’air panas’ sumber perpecahan,” tutur Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila Yudi Latif dalam dialog kebangsaan bertema ”Amalkan Pancasila, Kita Bineka, Kita Indonesia” di Aula Katedral, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), Sabtu (6/1). Dipandu moderator Thomas Suwarta, dialog kebangsaan ini terkait pembukaan Tahun Persatuan 2018 KAJ.
Yudi mengingatkan, kultur demokrasi perlu dibangun dengan cara-cara damai. Apa pun partai politik dan siapa pun figur pemimpin yang didukung, semuanya mesti sadar bahwa semua warga negara Indonesia dipersatukan oleh Pancasila.
Apa pun partai politik dan siapa pun figur pemimpin yang didukung, semuanya mesti sadar bahwa semua warga negara Indonesia dipersatukan oleh Pancasila.
”Orang Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu, dan sebagainya tidak asing. Pancasila merupakan sintesa dari kebinekaan Indonesia. Kita mendapatkan warisan perdamaian yang luar biasa. Indonesia bisa diibaratkan untaian zamrud toleransi,” kata Yudi.
Yudi pun mengingatkan, agama di Indonesia sejak dahulu berkontribusi besar bagi kemerdekaan bangsa ini. Agama di Indonesia turut memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu, negara seperti Vatikan, Mesir, Palestina, dan India mengakui kemerdekaan RI sejak awal masa kemerdekaan dan langsung mendirikan kantor perwakilannya di Jakarta.
Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo Pr mengatakan, begitu Indonesia merdeka, Uskup Semarang Mgr Albertus Soegijapranata SJ (kini pahlawan nasional) langsung mengirimkan surat kepada pemimpin gereja Katolik di Vatikan. Isinya meminta gereja Katolik di Vatikan mengakui kemerdekaan RI sehingga tahun 1947 berdirilah Kedutaan Vatikan untuk Indonesia yang sekarang berkantor di Jalan Merdeka Timur, Jakarta.
Begitu pula ketika ibu kota Indonesia harus berpindah ke Yogyakarta pada Januari 1946, Mgr Soegijapranata dengan mengendarai kereta kuda juga ikut berpindah dari Semarang ke Yogyakarta pada Januari 1947. Di Yogyakarta, ia tinggal di Pastoran Bintaran dari tahun 1947 hingga 1949, sebelum akhirnya kembali lagi ke Semarang.
”Beliau juga membuat gerakan, seperti ikatan petani, buruh, dan sarjana, yang semuanya dikaitkan dengan Pancasila. Ini adalah tindakan-tindakan kenabian,” ujar Suharyo.
Pastor Antonius Suyadi Pr, ketua panitia dialog kebangsaan, berharap semua komponen bangsa bergandengan tangan membangun semangat kebersamaan di DKI Jakarta dan daerah lainnya.
Merawat keindonesiaan
Pentingnya menjaga nilai-nilai Pancasila di tahun politik, terkait Pemilihan Kepada Daerah 2018 serta Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019, juga mengemuka dalam diskusi ”Merawat Kebinekaan dan Keindonesiaan di Gereja Santo Stefanus, Cilandak, Jakarta, Sabtu.
Forum itu antara lain menampilkan pembicara Ketua Presidium Wanita Katolik RI Yustina Rostiawati, perwakilan Pengurus Pusat Aisyiyah Hening Parlan, Sekretaris Gerakan Pemuda Ansor DKI Jakarta Dendy Zuhairil, dan Wakil Sekretaris Jenderal Pemuda Katolik RI Alfonsus B Say. (ABK/MHD)