Residivis Korupsi Membajak Demokrasi
Penangkapan Bupati Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Abdul Latif, 4 Januari, menandai fenomena baru, yakni kemunculan residivis korupsi, dalam dunia politik. Abdul Latif yang juga mantan anggota DPRD Kabupaten Hulu Sungai Tengah ternyata pernah menjadi narapidana kasus korupsi, tahun 2005-2006.
Kini, Abdul Latif kembali disangka melakukan korupsi, yakni dengan menerima uang, hadiah, atau janji terkait dengan proyek pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Damanhuri di kabupaten yang dipimpinnya.
Abdul Latif disangka menerima uang sedikitnya Rp 3,6 miliar sebagai komitmen fee atas pembangunan kamar kelas I, II, VIP, dan VVIP di RSUD Damanhuri. Uang yang diduga dari pihak swasta, yakni PT Menara Agung, disimpan ke dalam rekening milik PT Sugriwa Agung yang tak lain adalah perusahaan yang dimiliki Abdul Latif.
Sebelumnya, Abdul Latif saat menjabat sebagai pengusaha, pada 2005-2006 pernah tersangkut kasus korupsi pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Labuan Amas Utara dengan anggaran Rp 711 juta.
Pada 8 Juni 2008, Pengadilan Negeri Barabai menjatuhkan vonis terhadap Abdul Latif 1 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 50 juta subsider 2 bulan kurungan serta membayar uang pengganti Rp37.636.500. Di tingkat banding dan Kasasi, putusan tersebut diperkuat.
Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif yang ditangkap KPK ternyata pernah menjadi narapidana kasus korupsi, tahun 2005-2006.
Setelah keluar dari bui, Abdul Latif terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Hulu Sungai Tengah (2014-2019). Namun, jabatan itu ditinggalnya karena ia pada Februari 2016 terpilih sebagai bupati.
Ketua KPK Agus Rahardjo dalam keterangan pers yang disampaikan pada 5 Januari mengingatkan publik agar berhati-hati dalam memilih kepala daerah. Momentum Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 yang diadakan serentak jangan sampai menjerumuskan warga memilih kepala daerah yang cacat hukum. Terlebih lagi jika calon kepala daerah itu pernah melakukan korupsi.
”Harus dilihat dulu track record orang sebelum memilih sebagai kepala daerah. Seharusnya yang dipilih adalah orang yang baik, tidak memiliki cacat hukum,” kata Agus.
Momentum pilkada serentak tahun 2018 jangan sampai menjerumuskan warga memilih kepala daerah yang cacat hukum. Terlebih lagi jika calon kepala daerah itu pernah melakukan korupsi.
Peringatan yang disampaikan Agus itu masuk akal mengingat sistem politik di Tanah Air menyediakan lahan yang subur bagi terjadinya korupsi politik. Sistem pendanaan yang minim dari kader membuat partai politik harus mencari sumber pendanaan lain. Begitu pula bagi kepala daerah yang ingin mencalonkan diri kembali, politik transaksional bisa menjadi pilihan buruk yang akan diambil.
Di dalam lingkungan politik yang rentan itu, jika publik tidak berhati-hati dalam memilih, kepala daerah dengan rekam jejak buruk dalam kasus korupsi akan kembali mengulangi perbuatannya. Akibatnya, yang muncul adalah residivis atau penjahat kambuhan dalam kasus korupsi. Dampaknya akan sangat merugikan jika praktik korupsi itu dilakukan di sektor politik lantaran akibat negatifnya akan dirasakan langsung oleh publik.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko mengatakan, korupsi politik dilakukan oleh orang-orang yang dipilih rakyat dalam Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pilkada. Mereka yang terpilih dari mekanisme demokratis itu membajak proses politik dalam pengalokasian sumber daya publik. Pembajakan itu dilakukan sejak dari penganggaran, pengadaan barang dan jasa, perizinan usaha, serta penentuan kuota perdagangan.
Dengan kata lain, mekanisme demokratis yang menjadi pilihan rakyat dalam menentukan pemimpin dan tata kelola pemerintahan dibajak oleh pelakunya sendiri—yang dalam kampanye saat pemilu atau pilkada kerap mengatasnamakan rakyat. Orang-orang yang dipilih oleh rakyat dengan demikian adalah orang yang sama yang telah merampok kekayaan alam rakyat. Mereka memperdagangkannya demi kepentingan politik kekuasaan jangka pendek. Para pencoleng itu lahir dari rahim demokrasi yang prosedural dan hilang makna.
Para kepala daerah yang tidak berkomitmen pada kesejahteraan rakyat itu juga rupanya lebih peduli pada kesejahteraan diri sendiri. Dalam sejumlah kasus yang ditangani KPK, kepala daerah memperdagangkan promosi dan mutasi pejabat demi mendapatkan kekayaan dan keuntungan pribadi. Mereka antara lain menerima fee dari sejumlah proyek infrastruktur dan pembangunan tempat-tempat pelayanan publik untuk memperkaya diri sendiri.
Contoh kasus itu seperti dilakukan Bupati Nganjuk Taufiqurrahman. Ia diduga menerima suap sedikitnya Rp 300 juta dalam promosi dan mutasi jabatan pegawai di lingkungan Kabupaten Nganjuk. Tidak cukup menerima suap, Taufiqurrahman juga disangka menerima gratifikasi Rp 2 miliar dari kontraktor dalam pembangunan infrastruktur di kabupaten itu dalam kurun waktu 2015-2017. Kini, Bupati Nganjuk dua periode itu dijerat dengan pasal suap dan gratifikasi sekaligus.
Korupsi politik di Tanah Air sudah sedemikian ganasnya sehingga mekanisme standar yang selama ini berupaya didorong oleh pemerintah dan KPK, misalnya dalam penerapan e-budgetting, tidak serta-merta akan mengikis korupsi anggaran dan traksaksi mata anggaran di bawah meja antara eksekutif dan legislatif daerah.
”Transaksi politik ini terjadi beyond e-budgeting. E-budgeting memang bisa membatasi kemungkinan permainan di dalm pembahasan anggaran. Akan tetapi kalau para pemain kunci di DPRD dan eksekutif ada kesepakatan politik, e-budgeting tidak efektif lagi,” kata Dadang.
Dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi yang dilakukan oleh Bupati Hulu Sungai Tengah (HST) Abdul Latif ini, KPK memberi penekanan khusus. Sebab, daerah tersebut merupakan salah satu wilayah dampingan KPK dalam supervisi program pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Sebagaimana wilayah lain, yakni Bengkulu dan Klaten (Jawa Tengah), yang juga menjadi dampingan KPK—dan ternyata kepala daerahnya tertangkap tangan oleh KPK lantaran menerima suap dan gratifikasi—penangkapan Bupati HST melengkapi ”kepura-puraan” para kepala daerah dalam penandatanganan pakta integritas antikorupsi.
”Untuk memberantas korupsi ini diperlukan kemauan keras, tidak semata-mata seremonial atau formalitas belaka. Keinginan untuk memberantas korupsi ini harus tumbuh dari diri sendiri demi memperbaiki bangsa dan negara,” ucap Agus.
Rekam jejak
Publik bisa ambil bagian dalam memperkecil risiko residivis korupsi terpilih dalam pesta demokrasi jika publik sadar besarnya risiko yang harus ditanggung jika mereka terpilih. Oleh karena itu, pemantauan rekam jejak tiap calon menjadi hal yang krusial dilakukan pemilih.
”Dari kasus ini kita bisa melihat risiko jika pelaku korupsi kemudian dipilih kembali, baik sebagai anggota DPRD ataupun kepala daerah. Hal ini sepatutnya jadi pelajaran bagi kita semua, khususnya masyarakat yang akan memilih pemimpinnya di pilkada serentak,” ujar Febri Diansyah, Juru Bicara KPK, Minggu (7/1) di Jakarta.
Fenomena koruptor kambuhan itu pun bukan kali ini saja terjadi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sedikitnya ada tiga orang yang pernah menjadi residivis korupsi atau mengulangi perbuatan korupsinya.
Selain Abdul Latif, ada Mochammad Basuki, Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur dari Fraksi Partai Gerindra yang menjadi tersangka dalam kasus suap terkait pengawasan kegiatan anggaran dan revisi peraturan daerah (perda) di Provinsi Jawa Timur, tahun 2017. Basuki disebut menerima suap dari beberapa kepala dinas di Pemprov Jatim. Proses hukum terhadap M Basuki sampai saat ini masih berlanjut di KPK.
Dalam kondisi tertentu hukuman mati juga dapat diterapkan untuk koruptor yang terbukti bersalah.
Pada 2002, Basuki saat menjabat sebagai Ketua DPRD Surabaya pernah terlibat dalam kasus korupsi tunjangan kesehatan dan biaya operasional DPRD Surabaya yang merugikan negara senilai Rp 1,2 miliar. Anggaran yang semestinya digunakan untuk membayar premi asuransi kesehatan dibagi-bagikan kepada 45 anggota DPRD Surabaya.
Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memvonis Basuki 1 tahun 5 bulan penjara dan denda Rp 20 juta subsider 1 bulan kuruangan serta membayar uang pengganti Rp 200 juta. Namun, hukumannya dikurangi menjadi 1 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 1 bulan kurungan setelah mengajukan banding. Basuki keluar dari penjara pada 4 Februari 2004.
Korupsi yang berulang juga dilakukan Aidil Fitri, Ketua KONI Samarinda, Kalimantan Timur. Kejaksaan Agung pada 2016 menetapkan Aidil sebagai tersangka kasus penyelewengan dana Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) V/2014 Samarinda. Pada 5 Mei 2017, Pengadilan Tipikor Banjarmasin menjatuhkan vonis 1 tahun penjara terhadap Aidil dan membayar uang pengganti Rp 772 juta. Tidak puas atas vonis ringan tersebut, jaksa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Kaltim dan dikabulkan majelis hakim dengan menambah vonis Aidil menjadi 5 tahun penjara.
Sebelumnya pada 2010, Aidil Fitri saat menjabat sebagai anggota DPRD Samarinda pernah terlibat korupsi dana bantuan sosial (bansos) dari APBD Samarinda ke klub sepak bola Persisam Putra pada 2007-2008 yang merugikan keuangan negara hingga Rp 1,78 miliar. Aidil juga dicopot dari jabatan General Manager Persisam Putra. Oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Samarinda tahun 2010, Aidil divonis setahun penjara ditambah denda Rp 50 juta serta mengembalikan kerugian keuangan negara Rp 1,78 miliar.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hibnu Nugroho, mengatakan, efek jera ternyata tidak dirasakan oleh koruptor karena selama ini pemidanaan yang dijatuhkan kepada mereka tidak maksimal.
”Dalam sistem peradilan pidana ada pra-ajudikasi, ajudikasi, dan post-ajudikasi. Dalam post-ajudikasi sistem pemasyarakatan terhadap napi korupsi perlu ditinjau kembali. Hal ini dikarenakan ada perilaku berulang yang dilakukan oleh mantan terpidana kasus korupsi. Oleh karena itu, pemidanaan terhadap pelaku korupsi bisa dikatakan gagal,” ujar Hibnu.
Efek jera ternyata tidak dirasakan oleh koruptor karena selama ini pemidanaan yang dijatuhkan kepada mereka tidak maksimal.
Optimalisasi pemidanaan dan pemiskinan kepada pelaku korupsi diharapkan bisa membuat mereka jera dan mencegah munculnya koruptor-koruptor baru. Namun, dua hal itu selama ini belum sepenuhnya dilakukan. Bagi pelaku korupsi yang telah divonis pun tidak semuanya dicabut hak politiknya sehingga mereka bisa kembali dipilih dalam proses demokrasi.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 yang keluar pada 9 Juli 2015 juga menjadi dasar bagi dimungkinkannya mantan napi korupsi ikut dalam Pilkada. MK hanya mensyaratkan mantan napi itu agar mengumumkan status mantan napi itu kepada publik secara terbuka jika ingin ikut pilkada.
Peneliti ICW Emerson Yuntho mengatakan, untuk mencegah munculnya residivis korupsi, apalagi yang terjun di bidang politik, pengadilan seharusnya menjadikan perbuatan korupsi berulang itu sebagai pertimbangan yang memberatkan dalam menjatuhkan hukuman.
”Perlu didorong agar residivis koruptor dijatuhi hukuman maksimal berdasarkan pasal UU Tipikor yang menjeratnya. Hukuman maksimal untuk kasus korupsi adalah 20 tahun penjara dan seumur hidup. Dalam kondisi tertentu hukuman mati juga dapat diterapkan untuk pelaku yang terbukti bersalah,” ungkapnya.
Catatan ICW selama Semester I Tahun 2017, rata-rata vonis koruptor adalah 2 tahun 3 bulan penjara. Jumlah tersebut tergolong kategori vonis ringan untuk koruptor.
Selain karena alasan kesempatan atau sistem yang memungkinkan korupsi dilakukan, vonis ringan pada kasus korupsi sebelumnya bisa menjadi salah satu faktor pendorong pelaku untuk melakukan korupsi kembali setelah hukuman selesai.
Dalam catatan ICW selama Semester I Tahun 2017, rata-rata vonis koruptor yaitu 2 tahun 3 bulan penjara. Jumlah tersebut tergolong kategori vonis ringan untuk koruptor. Tren vonis ringan dan tanpa adanya upaya pemiskinan juga menjadi salah satu faktor bagi koruptor untuk nekat melakukan korupsi.
”Di luar persoalan residivis korupsi, dalam catatan ICW terdapat pula fenomena seorang pelaku yang dijerat lebih dari 1 kasus korupsi dalam berkas yang berbeda. Sedikitnya ada 10 kasus. Misalnya saja Gayus Tambunan, M Nazaruddin, Fahd El Fouz, dan I Gede Winayasa. Mereka yang terjerat dalam kasus korupsi berlapis ini juga perlu dipertimbangkan untuk dihukum berat,” ujar Emerson.