Tim Koneksitas Diusulkan untuk Periksa Mantan KSAU
Oleh
Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal (Purn) Agus Supriatna sebaiknya diperiksa oleh tim koneksitas yang beranggotakan penyidik militer dan sipil dalam mengungkap dugaan korupsi pengadaan helikopter AW 101. Sumpah prajurit yang menjadi alasan Agus untuk tidak mengungkap rahasia militer saat dirinya menjadi pemimpin TNI AU seharusnya tidak lagi berlaku apabila Agus diperiksa penyidik dari unsur militer.
Pengamat dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan, Agus akan lebih terbuka dan tidak lagi terikat pada sumpah prajuritnya apabila ia diperiksa oleh penyidik dari militer. Namun, hal itu tidak menjamin tentara atau pihak militer akan lebih terbuka dalam kasus dugaan korupsi dan penggelembungan harga helikopter AW 101 tersebut.
”Bila Agus diperiksa tentara, semestinya dia mau bicara. Sebab, sesama tentara kerahasiaan akan dijaga,” kata Khairul, Minggu (7/1).
”Namun, yang menjadi persoalan ialah sejauh mana keterbukaan pihak militer ini terhadap publik. Sebab, selama ini penyidikan militer atau mekanisme pengadilan militer masih sangat tertutup,” lanjut Khairul.
Reformasi peradilan militer adalah sesuatu yang mendesak untuk dilakukan guna menjamin kepastian serta kesetaraan di hadapan hukum dan keadilan.
”Mekanisme penyidikan di militer dan peradilan militer cenderung tampak sebagai instrumen melindungi militer. Kerap kali hal itu digunakan sebagai instrumen untuk menyelamatkan wajah institusi ketika terjadi kasus yang bisa jadi sebenarnya sistemik,” tuturnya.
Sebelumnya, saat diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Irfan Kurnia Saleh, yang merupakan pemimpin PT Diratama Jaya Mandiri, 3 Januari, Agus tidak mau memberikan keterangan kepada KPK. Ia beralasan, dirinya terikat pada sumpah prajurit sehingga tidak bisa memberikan keterangan terkait dengan kebijakan-kebijakan yang diambilnya saat dirinya masih prajurit aktif.
Ketua KPK Agus Rahardjo pada Jumat lalu mengatakan, KPK masih akan mempelajari upaya selanjutnya terkait dengan sikap mantan KSAU yang menolak memberikan keterangan tersebut. Namun, ia memastikan, KPK akan terus berkoordinasi dengan pihak POM TNI.
Terkait dengan usulan pembentukan tim koneksitas, Ketua KPK berpendapat, hal itu belum perlu dilakukan.
Dalam kasus ini, Irfan diduga mengatur proses lelang sehingga perusahaannya dipastikan memenangi lelang. Irfan diketahui menaikkan nilai kontrak pembelian helikopter senilai Rp 224 miliar, dari Rp 514 miliar menjadi Rp 738 miliar. Ada potensi kerugian negara lebih dari Rp 200 miliar yang timbul akibat kenaikan harga tersebut.
Lima anggota TNI AU telah ditetapkan sebagai tersangka oleh POM TNI. Mereka adalah Marsma FA selaku pejabat pembuat komitmen, Kolonel FTS selaku Kepala Unit Layanan Pengadaan TNI AU, Letkol WW selaku pemegang kas, dan Pelda SS yang bertugas menyalurkan dana kepada para pihak.
Saat memberikan keterangan kepada wartawan seusai diperiksa oleh KPK, Agus mengatakan, pembelian helikopter AW 101 pada zamannya memimpin TNI AU itu sama seperti pembelian mobil Ferrari. Sebagaimana halnya mobil Ferrari, helikopter AW 101 itu telah dilengkapi dengan berbagai suku cadang dan teknologi tinggi yang penambahan fiturnya disesuaikan dengan peruntukan kendaraan itu. AW 101 itu, lanjutnya, telah dilengkapi dengan fitur-fitur canggih.
”Saya istilahkan begini. Saya datang ke showroom mobil Ferrari. Lalu, saya tanyakan kepada penjual, mobil ini buat apa? Dijawab oleh penjual, oh, ini untuk jalan-jalan, Pak. Tapi, saya ingin suatu saat mobil ini bisa untuk balapan atau trek-trekan. Lalu, orang di showroom mengatakan, bisa Pak, kalau ingin buat balapan harus ditambah wiring tambahan. Bodinya nanti saya tambah spoiler. Tapi, kalau Bapak buat balapan, sasisnya harus Bapak ganti. Kalau buat basah, bannya ini. Kalau buat kering, bannya lain lagi,” tutur Agus menganalogikan sejumlah penambahan fitur dan spesifikasi di helikopter AW 101.
Namun, penjelasan itu belum menjawab dugaan adanya penggelembungan harga helikopter tersebut yang, antara lain, dipicu karena helikopter itu tidak sesuai dengan spesifikasi.