Jiwasraya, BUMN Asuransi yang Masih Memilih Pemasaran Konvensional
Oleh
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Perayaan ulang tahun ke-158 Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang asuransi, Jiwasraya, Senin (8/1), ditandai dengan catatan pencapaian laba sebesar Rp Rp 2,35 triliun pada tahun 2017 lalu. Namun di tengah optimisme petingginya yang menargetkan Jiwasraya menjadi salah satu perusahaan asuransi terbesar di Indonesia pada tahun 2018 ini, ternyata BUMN ini masih memilih bertahan dengan pendekatan pemasaran asuransi konvensional. Padahal disrupsi digital telah mengubah hampir semua pola bisnis di dunia, tak terkecuali asuransi.
Tahun 2013, di China, perusahaan asuransi Ping An Insurance Co. of China Ltd bergabung bersama raksasa e-commerce Alibaba dan perusahaan multinasional teknologi asal China, Tencent Holding Ltd, membuat perusahaan asuransi daring pertama di negeri itu Zhong An Online Property Insurance Co. Dalam tahun pertama operasinya, Zhong An menerbitkan 650 polis asuransi dan mendapatkan 150 juta nasabah.
Model asuransi daring Zhong An disebut memiliki biaya operasi dan distribusi rendah. Dukunga big data dan analisis yang hebat memastikan harga produk dan pengendalian risikonya jauh lebih akurat.
Sementara itu, Jiwasraya dalam perayaan ulang tahunnya yang ke-158 mengaku masih nyaman dengan pendekatan konvensional dalam pemasaran produknya. Direktur Umum Jiwasraya Hendrisman Rahim mengaku, bancassurance masih tetap jadi sektor primadona untuk beberapa tahun ke depan. Terbukti, pada 2017, 45 persen premi Jiwasraya berasal dari bancassurance.
Bancassurance adalah pemanfaatan bank untuk pemasaran produk asuransi. Kemudahan asuransi dan perbankan yang bisa didapat sekaligus oleh pengguna menjadi andalannya
Jiwasraya malah menjadikan bancassurance fokus pemasaran mereka pada tahun ini. “Kami harus bisa mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari kerja sama itu. Karena nanti akan tiba waktunya semua bank punya asuransi sendiri,” ucap Hendri.
Hendri mengatakan, Jiwasraya tak terlalu takut dengan disrupsi digital. Menurut Hendri, pengguna akan lebih nyaman dengan pemasaran lewat agen. Hal itu diperkirakan masih akan terjadi sampai 10 tahun ke depan. “Peran agen masih sangat dibutuhkan walau ada teknologi. Karena di asuransi itu butuh sentuhan emosional,” katanya.
Pada tahun lalu, keagenan pun merupakan penopang dari penghasilan premi Jiwasraya dengan 38 persen. Untuk itu, Jiwasraya menargetkan akan menambah jumlah agen menjadi 20.000 orang, dari 8.000 orang yang dimiliki sekarang.
Hendrisman memang mengakui bahwa Jiwasraya juga mulai mengikuti teknologi. Namun, pendekatan konvensional dengan bancassurance dan keagenan masih menjadi prioritas Jiwasraya.
Padahal menurut pengamat asuransi Irvan Rahardjo, untuk merajai bisnis asuransi, Jiwasraya justru ditantang oleh perubahan zaman. Perubahan perilaku dengan digitalisasi bisa mengubah bentuk bisnis, termasuk bisnis asuransi.
Irvan mengatakan, Jiwasraya harus melakukan transformasi untuk menyesuaikan pada generasi milenial. Mereka adalah bagian terbesar dari angkatan kerja. Data Alvara Research Centre menyebutkan, pada 2015 terdapat lebih dari 33 persen generasi milenial. Generasi milenial itu berumur 15-34 tahun. “Cepat atau lambat pasti akan terdampak disrupsi teknologi,” ucap Irvan.
Irvan pun menyarankan, perusahan asuransi, untuk memulai menjual produk melalui teknologi. Penggunaan teknologi finansial (tekfin) akan menggantikan fungsi pemasaran lewat bank yang jadi primadona perusahaan asuransi saat ini. Menurutnya keringkasan tekfin akan menggantikan bank konvensional seperti yang dilakukan Zhong An di China.
Dengan tekfin, perusahaan asuransi dapat lebih mudah menjamah konsumen. Biaya produksi seperti infrastruktur pun bisa dipotong. Apalagi, teknologi sangat efektif untuk menyasar target generasi milenial dan penduduk Indonesia.
Hal itu diperkuat dengan data, lebih dari setengah orang Indonesia sudah menggunakan internet. Menurut data We Are Social 2017, tercatat sekitar 132,7 juta orang Indonesia sudah menggunakan internet.
Untuk itu, menurut Irvan, perusahaan asuransi yang masih mengandalkan Bancassurance akan terdampak. Dikarenakan, Bancassurance masih menawarkan produk asuransi secara konvensional.
Namun keyakinan Jiwasraya dengan pendekatan konvensional ini ditopang oleh kinerja perusahaan selama lima tahun terakhir. Hendrisman mengatakan, tahun 2018 ini, Jiwasraya menargetkan untuk menjadi perusahaan asuransi terbesar di Indonesia. Optimisme itu merujuk tren pertumbuhan siginifikan yang diperoleh sejak 2012.
Pada umur 158 tahun, Jiwasraya mengumumkan pertumbuhan laba 37,64 persen, dari Rp 1,72 triliun ke Rp 2,35 triliun. Kenaikan itu signifikan, naik 870 persen bila dibandingkan pada 2012. Saat itu laba Jiwasraya hanya Rp 0,27 triliun.
Hendrisman mengatakan, laba Rp 2,35 triliun itu sudah melebihi Rencana Kerja Perseroan (RKP). “Jiwasraya sudah lewat ambang psikilogi Rp 2 triliun. Dalam BUMN, Jiwasraya sudah bisa dikatakan perusahaan yang besar dengan laba sejumlah itu,” ujar Hendrisman di sela perayaan ulang tahun perusahaannya.
Hendri pun optimistis pada 2018 akan menjadi yang terbaik. Apalagi, Jiwasraya hanya berada di bawah Prudential dalam persaingan asuransi. Pada akhir tahun 2017, nilai aset Jiwasraya sudah Rp 45 triliun, tertinggal dari Prudential, Rp 60 triliun.
“Tahun lalu Prudential bilang bisnis sedang susah. Sedangkan, kami mengalami pertumbuhan dari premi, investasi, dan laba. Ibarat warna lambang, kami biru, mereka merah. Seperti Liga Inggris, Manchester City sudah merajai klasemen. Mudah-mudahan tahun ini kami bisa di paling atas,” kata Hendri.
Dalam rekap buku 2017 yang sedang diaudit, Jiwasraya meraih premi Rp 21,8 triliun, naik 21 persen dibanding tahun lalu dengan Rp 18 triliun. Diikuti investasi yang meningkat 21,09 persen, dari Rp 34,59 triliun menjadi Rp 41,74 triliun.
Jumlah kenaikan tersebut belum dipastikan karena masih dalam proses audit. Meski begitu, Hendri mengucapkan, jumlah perhitungan malah bertambah setelah diaudit. Hal itu dikarenakan perhitungan yang sudah sangat teliti dari Jiwasraya.
Pada 2018, Jiwasraya menargetkan pertumbuhan 30 persen. Hal itu dikarenakan rekam jejak pertumbuhan berkisar 10-30 persen. Selain itu, rata-rata industri lain juga mencatat pertumbuhan 25 persen. “Makanya kita coba 30 persen. Kalau Jiwasraya mau maju harus bisa segitu,” tutur Hendri.
Dari sisi laba, Hendri mengatakan, Jiwasraya bisa mencapai laba dua kali lipat, menjadi Rp 5 triliun dalam waktu dekat. Untuk itu, ia mengajak pemegang saham untuk mulai menyadari hal itu. (DD06)