Mengais Remah ”Kue” Pertambangan
Rohani (50) memilah bekas botol kemasan air minum di halaman gubuknya yang beratap seng bekas. Gubuk itu hanya berjarak 500 meter dari pabrik feronikel milik sebuah perusahaan tambang di Kabupaten Kolaka.
Di dalam gubuk tergeletak karung berisi plastik-plastik bekas dan beraneka barang sederhana. Sebagai pengumpul barang bekas, ia bergantung sepenuhnya dari uang hasil penjualan barang-barang bekas itu.
”Sore ini (barang-barang bekas) mau diantar ke pembeli. Kalau saya tidak menjual hari ini, anak-anak mau makan apa. Tak ada beras, tak ada uang,” kata Rohani saat ditemui di gubuknya di Kelurahan Dawi-Dawi, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.
Tak jauh dari gubuk Rohani, ada rumah kayu milik Nurni (60). Kondisi kedua rumah yang penghuninya masih punya hubungan kerabat itu nyaris sama. Sebelumnya, mereka tinggal di perkampungan Bajo, Kelurahan Dawi-Dawi. Namun, saat suami Rohani sakit, dia harus merelakan rumahnya dijual untuk biaya perawatan di rumah sakit. Kini, mereka menempati lahan milik salah seorang polisi di kampung itu.
Saat ditanya apa yang dia peroleh sejak perusahaan tambang nikel itu beroperasi di Pomalaa, dia menjawab datar. ”Saya dapat debu. Kadang dapat barang bekas di perumahan karyawan. Itu juga kalau bisa masuk kompleks. Beberapa kali, saya ditahan petugas satpam dan dituduh mencuri,” ujar Rohani.
Saya dapat debu. Kadang dapat barang bekas di perumahan karyawan. Itu juga kalau bisa masuk kompleks. Beberapa kali, saya ditahan petugas satpam dan dituduh mencuri.
Bagi sebagian warga, kehadiran perusahaan tambang nikel sejak tahun 1976 itu tak terlalu berarti. Kehidupan mereka tak terlalu berubah. Bagi lainnya, keberadaan tambang bahkan membuat sumber penghidupan mereka hilang.
Namun, bagi warga yang mendapat bantuan, baik melalui dana tanggung jawab sosial perusahaan maupun bantuan lain, kehadiran perusahaan sangat terasa. Menurut Camat Pomalaa Sairman, sebagai wilayah ring I, Pomalaa mendapat banyak bantuan dari perusahaan tambang nikel itu. Biasanya perusahaan memberi bantuan pada salah satu dari beberapa program pembangunan.
”Setiap desa dapat satu program yang dibiayai dengan besaran dana yang tidak sama. Misalnya, ada bantuan untuk pembangunan jalan desa, kantor desa, dan posyandu. Perusahaan juga ikut memberi pelatihan usaha bagi warga,” kata Sairman.
Di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, kehadiran pabrik pengolahan nikel memberi harapan bagi gerak ekonomi masyarakat lokal. Di Desa Morosi, Kecamatan Morosi, berdiri PT Virtue Dragon Nickel Industry yang mengolah bijih nikel menjadi feronikel. Dari 352 kepala keluarga di desa itu, sebanyak 211 kepala keluarga bekerja di perusahaan.
Warga bekerja sebagai sopir, operator alat berat, perakit atau pengelas besi, dan urusan logistik. Mereka diupah Rp 2,05 juta per bulan sesuai dengan upah minimum di Sulawesi Tenggara pada 2017.
Kamar kos turut menjamur dalam tiga tahun terakhir di Morosi. Rata-rata, kamar disewakan Rp 500.000 per bulan. Sebagian warga membangun usaha kos. Rumah kos disewa pekerja lokal yang berasal dari luar Morosi dan sebagian tenaga kerja dari China.
Manajer Umum PT Virtue Dragon Nickel Industry Rudi Rusmadi menuturkan, saat ini perusahaan mempekerjakan 2.300 warga setempat dengan 64 persen dari lingkar pabrik yang tersebar di Kecamatan Morosi, Kapoiola, dan Bandaola. Sisanya dari luar tiga kecamatan yang masih di Sulawesi Tenggara. ”Perusahaan masih membutuhkan tenaga kerja saat produksi penuh pada Maret 2018 dengan proyeksi kebutuhan 8.000 orang,” ujarnya.
Nilai tambah
Seperti yang dicita-citakan, smelter atau pabrik pengolahan dan pemurnian mineral dimaksudkan untuk menaikkan nilai tambah mineral tambang di dalam negeri. Bijih atau mineral mentah diolah dan dimurnikan menjadi logam. Berpuluh-puluh tahun lamanya mineral mentah dijual ke luar negeri. Ironis. Inilah yang disebut sebagai menjual tanah dan air dalam arti sesungguhnya.
Data dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara menyebutkan, bijih nikel saat diolah menjadi feronikel nilainya naik hingga 10 kali lipat. Nilai itu kian melesat naik saat ditingkatkan menjadi baja antikarat (stainless steel), yaitu mencapai 60 kali lipat. Contoh lainnya, bauksit, yang bijihnya seharga 25-30 dollar AS per ton (setara hampir Rp 400.000) melonjak menjadi 300-350 dollar AS per ton atau hampir mencapai Rp 4,7 juta saat diolah menjadi alumina. Jika terus diolah menjadi aluminium, nilainya melesat menjadi sekitar Rp 27 juta per ton.
Janji menaikkan nilai tambah atau hilirisasi mineral ada di pundak perusahaan induk pertambangan. PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) ditunjuk sebagai perusahaan induk yang membawahkan PT Timah (Persero) Tbk, PT Bukit Asam (Persero) Tbk, dan PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. Selain menggiatkan hilirisasi, perusahaan induk yang dibentuk juga diharapkan mampu menciptakan efisiensi dan sinergi di antara BUMN pertambangan. Cita-citanya tegas, yakni tambang harus memakmurkan, bukan memiskinkan. (Reny Sri Ayu/Videlis Jemali/Aris Prasetyo)