Menghela Pertumbuhan
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 hampir bisa dipastikan tidak sampai menyentuh 5,1 persen. Namun, di sisi lain, Indeks Harga Saham Gabungan terus mencetak rekor baru hingga mencapai 6.353 pada akhir pekan lalu. Kenapa bursa efek bergairah, tetapi tidak terefleksikan pada data pertumbuhan ekonomi?
Presiden Joko Widodo juga mengeluh, kenapa berbagai indikator perekonomian sudah membaik, tetapi belum bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan seperti ”terperangkap” pada level 5 persen. Mengapa tidak bisa lebih?
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa melejit karena bekerjanya beberapa faktor sekaligus. Pertama, kinerja laba emiten pada triwulan III-2017 yang tumbuh 19,48 persen dibandingkan dengan setahun sebelumnya telah mendorong kenaikan indeks hingga 20 persen sepanjang 2017. Berarti terjadi kenaikan yang paralel antara pertumbuhan laba emiten dan kenaikan indeks harga saham yang sama-sama 20 persen.
Kedua, penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia ke level 4,25 persen menyebabkan penurunan suku bunga deposito secara signifikan. Penurunan suku bunga ini sejalan dengan inflasi yang rendah, 3,61 persen. Namun, hal ini belum otomatis diikuti penurunan suku bunga kredit. Akibatnya, ekspansi kredit perbankan juga lemah, hanya 8 persen dari target 12 persen. Padahal, ekspansi kredit adalah motor penting untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, suku bunga bank yang rendah justru bisa menjadi pendorong dana berpindah dari bank ke pasar modal. Hal ini pernah terjadi di Amerika Serikat pada 1990-an. Ketika Kepala Bank Sentral AS, The Fed, Alan Greenspan berhasil menurunkan suku bunga ke level 2 persen, ternyata diikuti berpindahnya dana orang kaya dari bank ke bursa efek di New York. Begitu antusiasnya investor di New York sehingga mereka memborong surat-surat berharga yang sebetulnya berkualitas kurang baik. Inilah asal mula terjadinya fenomena junk bonds.
Prinsipnya, hubungan antara sektor perbankan dan pasar modal seperti bejana berhubungan. Ketika suku bunga bank naik, pemilik dana akan senang menaruh dananya di bank. Sebaliknya, ketika suku bunga bank turun, dana akan mengalir dari bank ke pasar modal yang menjanjikan imbal hasil lebih tinggi.
Ketiga, bisa jadi pasar modal Indonesia terkena imbas pasar modal New York yang bergairah. Dalam setahun pertama Donald Trump menjadi Presiden AS, indeks harga saham di Wall Street telah memecahkan rekor sampai 90 kali (!) ke level 25.295. Menguatnya indeks saham AS ini terutama dipicu kebijakan pemotongan tarif pajak yang dinilai akan memberikan stimulus besar terhadap perekonomian AS.
Jadi, fenomena yang sekarang terjadi, perekonomian justru lebih bergairah di pasar modal daripada di sektor riil. Meski sebenarnya dana di pasar modal itu pada putaran selanjutnya akan mengalir ke sektor riil melalui mekanisme transmisi penambahan kapasitas produksi dan penciptaan lapangan kerja, hal ini tidak bisa dilakukan seketika, perlu waktu. Sayangnya, sebelum dana itu benar-benar efektif mengalir ke sektor riil, bisa saja harga saham terkoreksi lebih dulu.
Modal
Memasuki 2018, kita mempunyai beberapa modal untuk menghela pertumbuhan ekonomi. Pertama, stabilitas rupiah yang didukung penguatan cadangan devisa yang kini melampaui 130 miliar dollar AS. Ini sebuah pencapaian yang signifikan, tatkala sebagian besar negara mengalami penurunan cadangan devisa (akibat dana mengalir terutama ke AS), Indonesia justru memecahkan rekor tertinggi cadangan devisa. Cadangan devisa terendah kita dalam lima tahun terakhir adalah 93 miliar dollar AS (Juli 2013).
Kedua, investasi pada triwulan III-2017 tumbuh 13,7 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Statistik ini diharapkan bisa mengompensasi pertumbuhan konsumsi yang hanya 4,93 persen. Masalahnya, laju investasi ini tidak serta-merta diterjemahkan jadi konsumsi. Namun, investasi akan menjadi pintu pembuka kenaikan daya beli pada tahap berikutnya. Target investasi 2017 sebesar Rp 679 triliun kemungkinan besar bakal tercapai. Ini akan menjadi modal yang baik untuk mendorong pertumbuhan konsumsi melebihi 5 persen pada 2018.
Ketiga, pemerintah tetap fokus pada pembangunan infrastruktur dengan dana Rp 2.204 triliun, dengan alokasi anggaran Rp 409 triliun dari APBN 2018. Jumlah ini signifikan, yang semestinya mampu menghela pertumbuhan ekonomi. Memang ada kritik bahwa APBN mulai dibebani utang. Namun, sejauh ini, dua kriteria utama tidak dilanggar. Utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) masih 28 persen, sedangkan defisitnya setiap tahun selalu di bawah 3 persen terhadap PDB. Namun, kewaspadaan tetap harus dijaga, hal itu benar.
Keempat, pemerintah menganggarkan program proteksi sosial Rp 129 triliun (termasuk dana desa Rp 60 triliun) dan sistem kesehatan yang lebih baik, yakni Rp 110 triliun. Dari sini saja terdapat stimulus fiskal Rp 239 triliun. Akan tetapi, harus dicek lagi, apakah anggaran tersebut betul- betul dapat dicairkan sehingga bisa menghela pertumbuhan ekonomi ataukah ada hambatan birokrasi di level pelaksanaannya, termasuk di desa? Hal yang sama juga mesti dicek lagi pada 16 paket deregulasi, apakah benar pelaksanaannya sudah sesuai dengan ekspektasi?
Sementara itu, kini diam-diam harga minyak pun mulai bergolak ke 67 dollar AS per barrel. Ini bisa menimbulkan ketidakpastian baru terhadap masa depan perekonomian. Imbasnya ke perekonomian Indonesia bisa positif dan negatif sekaligus. Positif jika hal ini menyeret harga komoditas lain ikut naik (batubara dan sawit). Namun, bisa menjadi negatif jika pemerintah terpaksa harus menyubsidi energi dalam jumlah besar.
Namun, saya masih melihat celah kemungkinan harga minyak naik bersifat sementara karena secara fundamental masih terdapat kelebihan penawaran dibandingkan permintaan.
Dengan berbagai faktor yang kait-mengait seperti itu, rasanya kita tetap dapat menjaga asa pertumbuhan ekonomi 2018 minimal 5,3 persen. Dalam situasi global yang masih rawan ketidakpastian ini, yang terpenting kita jaga tren dan momentum positif lebih dulu sebelum nantinya bisa tumbuh di atas 6 persen sesuai ekspektasi.