Pemerintah Hambat Pengembalian Cadangan Minyak Bumi
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah dinilai menghambat pengembalian cadangan minyak bumi. Akibatnya, cadangan minyak bumi pada 2018 menurun dibandingkan tahun lalu.
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ego Syahrial, Selasa (9/1), mengatakan, cadangan minyak bumi pada 2018 diperkirakan 3,2 miliar barrel dengan produksi 800.000 barrel per hari.
Menurut dia, tingkat pengembalian cadangan (reserve replacement ratio/RRR) hanya 60 persen.
Jumlah cadangan itu menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan data Kementerian ESDM, cadangan pada 2017 adalah 3,3 miliar barrel.
”Jadi, setiap menyedot 1 barrel, kami baru bisa menemukan penggantinya 0,6 barrel,” kata Ego dalam jumpa pers tentang Capaian Subsektor Minyak dan Gas Bumi 2017 dan Outlook 2018.
Dalam jumpa pers itu hadir pula Ketua Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi dan Ketua Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Fanshurullah Asa.
Beberapa kebijakan pemerintah menghambat penemuan kembali lokasi cadangan migas.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, beberapa kebijakan pemerintah menghambat penemuan kembali lokasi cadangan.
Komaidi mengatakan, aktivitas yang harus dilakukan perusahaan kontraktor itu terhambat prosedur perizinan yang panjang.
”Perizinan perusahaan itu harus melalui 17 kementerian atau lembaga. Durasi untuk mengurus perizinan mencapai tiga tahun,” kata Komaidi.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, pembayaran pajak perusahaan sektor migas juga disamakan dengan perusahaan sektor lainnya.
Menurut Komaidi, hal itu berdampak pada kerugian perusahaan sehingga mereka cenderung enggan untuk berinvestasi.
”Salah satu contohnya, jika Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) diberlakukan sama dengan sektor lain, nilai pajak perusahaan migas akan sangat besar karena mereka memiliki wilayah kerja yang sangat luas. Nilai pajak bisa lebih besar dari nilai investasi,” ujar Komaidi.
Jika Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) diberlakukan sama dengan sektor lain, nilai pajak perusahaan migas akan sangat besar karena mereka memiliki wilayah kerja yang sangat luas.
Para pengusaha, kata Komaidi, menginginkan pembayaran pajak untuk mereka dikhususkan. Usaha pada sektor migas dianggap berisiko tinggi sehingga memerlukan keistimewaan. Hal itu pernah didapat dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971.
Penemuan cadangan juga tidak membutuhkan waktu lama. Dari eksplorasi hingga penetapan lokasi cadangan terbukti membutuhkan waktu antara 5-7 tahun.
Penemuan kian sulit karena kondisi geologis Indonesia yang telah bergeser. Pada era 1970-an, titik-titik cadangan berpusat di wilayah daratan Indonesia Barat. Saat ini, cadangan lebih banyak berada di wilayah perairan Indonesia timur.
Menurut Komaidi, pengeboran minyak di perairan lebih sulit daripada pengeboran di daratan. Teknologi yang digunakan lebih kompleks.
Biaya yang dibutuhkan pun lebih banyak. ”Akibatnya, penemuan cadangan tidak bisa secepat dulu,” ujarnya.
Fokus kami saat ini adalah penambahan wilayah kerja dan eksplorasi baru.
Ego mengatakan, metode pengurasan tingkat lanjut atau enhanced oil recovery (EOR) telah dicoba untuk menaikkan produksi minyak bumi.
Metode itu diterapkan antara lain di Lapangan Minyak Duri, Riau, dan Blok Cepu, Jawa Tengah. Akan tetapi, penambahan produksinya dirasa tidak signifikan karena tidak bisa mencapai 100 barrel per hari.
”Fokus kami saat ini adalah penambahan wilayah kerja dan eksplorasi baru,” katanya.
Animo meningkat
Ego optimistis terhadap penambahan wilayah kerja baru. Sebab, terjadi peningkatan animo perusahaan untuk mengelola wilayah kerja sejak pengubahan pola kontrak pertambangan.
Pemerintah menghentikan pola kontrak dengan cara pengembalian biaya operasi yang dipulihkan (cost recovery) dan memberlakukan pola bagi hasil berdasarkan produksi kotor (grow split).
Dari tujuh blok migas yang dilelang pada 2017, sudah ada lima blok migas yang siap dikelola perusahaan. Blok itu adalah Andaman I, Andaman II, Pekawai, West Yamdena, dan Merak-Lampung.
Jumlah blok yang berhasil dilelang itu menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan saat pemerintah masih menerapkan pola cost recovery.
Tidak ada blok yang laku dari total 8 blok yang dilelang tahun 2016. Tahun 2017 pun demikian, tidak ada blok yang laku dilelang dari total 14 blok yang ditawarkan.
Untuk meningkatkan animo perusahaan, pemerintah juga perlu membuat data awal penawaran blok migas yang valid.
Komaidi mengatakan, untuk meningkatkan animo perusahaan, pemerintah juga perlu membuat data awal penawaran blok migas yang valid. Data yang valid mampu mengurangi risiko kegagalan yang ditanggung perusahaan.
BBM satu harga
Selain bermasalah dalam pencadangan minyak bumi, Indonesia juga masih berusaha mengatasi persoalan distribusi bahan bakar minyak (BBM) yang tidak merata. Pemerintah berusaha mengatasi ketimpangan dengan program BBM Satu Harga.
Program ini mengundang perusahaan untuk membangun stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) atau menjadi agen penyalur resmi di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Adapun solar dijual Rp 5.150 dan bensin Rp 6.450 per liter.
Fanshurullah Asa mengatakan, program BBM Satu Harga menargetkan pembangunan 157 SPBU dari 2017-2019.
Pada 2017, 57 SPBU telah dibangun oleh PT Pertamina dan PT AKR Corporindo. Capaian itu melebihi target pembangunan, yaitu 54 SPBU.
Ia berharap, pada 2018 semakin banyak perusahaan yang ikut serta dalam program BBM Satu Harga.
Peserta program ini tidak dibatasi asalkan memenuhi persyaratan, antara lain memiliki izin niaga umum, menyiapkan fasilitas depot, dan telah menjual BBM setidaknya di dua wilayah. (DD01)