Standar dan Kualitas Pelayanan Harus Dijaga
CIBINONG, KOMPAS — Instansi pemerintah berusaha ikut dalam perkembangan arus teknologi informasi yang begitu cepat. Usaha itu ditunjukkan melalui standardisasi pengelolaan layanan teknologi informasi berbasis internasional.
Pihak luar pemerintahan dilibatkan untuk memantau dan mendorong instansi pemerintah itu menjaga kualitas pelayanan informasi dan melakukan pengembangan.
Badan Informasi Geospasial (BIG), Selasa (9/1), menerima sertifikasi ISO 20000 dari British Standar Institution (BSI) untuk periode 2017, di Kantor BIG, Cibinong, Jawa Barat.
ISO 20000 adalah standar internasional pertama untuk pengelolaan layanan teknologi informasi.
Kepala BIG Hasanuddin Z Abidin mengatakan, kini tugas BIG semakin berat karena harus menjaga standar pengelolaan layanan teknologi informasi yang dinilai sudah memenuhi standar praktik internasional.
Kini tugas BIG semakin berat karena harus menjaga standar pengelolaan layanan teknologi informasi yang dinilai sudah memenuhi standar praktik internasional.
BIG menjadi instansi pemerintah kedua yang mendapatkan sertifikasi ini. Sebelumnya, Kementerian Keuangan juga mendapatkan sertifikasi yang sama.
”Dengan mendapat sertifikat ini, tanggung jawab BIG menjadi lebih berat karena kita harus menjaga. Selama ini memang BIG sudah mengelola informasi digital, tetapi kini sudah ada terbukti dengan adanya sertifikat ini,” tutur Hasanuddin.
BSI, sebagai pihak yang memberikan sertifikasi, bertugas untuk memeriksa dan memastikan tata kelola pelayanan teknologi informasi itu berjalan baik di BIG. Sebelum dilakukan audit, BIG sudah terlebih dahulu membuat sistem tata kelola itu.
Segi sumber daya manusia, proses pelayanan, dan teknologi informasi—baik peranti lunak maupun peranti keras—menjadi hal yang dinilai dalam sertifikasi itu.
Sertifikat itu sifatnya tidak kekal. Kemungkinan ditariknya sertifikat itu dapat terjadi apabila BIG mengalami kemunduran dalam pelayanan dan tidak melakukan pengembangan layanan.
Direktur Penjualan dan Pemasaran BSI Rudi Antoni menyebutkan, sertifikat ini memiliki masa berlaku selama tiga tahun. Dalam kurun waktu itu, pihak BSI akan tetap memantau apakah BIG terus menjaga layanan teknologi informasi dengan baik.
BSI juga menuntut BIG untuk terus melakukan pengembangan secara berkelanjutan yang menjadi prinsip dari sertifikasi itu.
”Dalam tiga tahun masa berlakunya sertifikat ini, kami akan selalu memantau bagaimana pelayanan teknologi informasi di lembaga ini setiap tahun. Jika ada kemunduran, bisa jadi sertifikat ini kami tarik,” kata Rudi.
Dalam tiga tahun masa berlakunya sertifikat ini, kami akan selalu memantau bagaimana pelayanan teknologi informasi di lembaga ini setiap tahun. Jika terjadi kemunduran, sertifikat akan ditarik.
”Kita bukan hanya melihat masih berjalan atau tidak, tetapi juga perbaikan atau pengembangan apa yang dilakukan oleh BIG. Untuk melihat atau memastikan sistem manajemen masih berjalan di badan ini,” lanjut Rudi.
Ia menambahkan, arti dari sertifikasi itu adalah kualitas BIG dalam memberikan pelayanan teknologi informasi terjamin, baik pemberian informasi secara internal maupun eksternal. BSI menilai, kompetensi BIG dalam memberikan informasi geospasial dasar (IGD) itu baik.
Direktur Proxsis (konsultan inovasi teknologi) Rolando menjelaskan, ruang lingkup sertifikasi itu adalah layanan internet, surel, dan cloud system. Melalui adanya sertifikasi, kebutuhan pengguna terhadap hal-hal itu dipastikan terpenuhi.
Namun, Rolando menilai, sertifikasi itu masih berada pada tahap awal mengingat orientasinya pada pembangunan layanan yang berkelanjutan.
”Perkembangan akan selalu ada. Jadi, nanti bisa ada perluasan ruang lingkup. Ini bisa dilakukan secara bertahap,” ujar Rolando.
Menanggapi hal itu, Hasanuddin mengatakan, ISO 20000 harus mendukung percepatan layanan teknologi informasi.
Ia mengharapkan layanan teknologi informasi di BIG bisa semakin baik dari waktu ke waktu mengingat adanya pemantauan dari BSI. Pelayanan itu menjadi hal yang utama bagi Hasanuddin.
”Bagi saya, pelayanan itu sudah wajib untuk sebuah lembaga pemerintahan. Tidak perlu menunggu isu cepatnya perkembangan teknologi informasi, kami akan berusaha semaksimal mungkin dan secepat mungkin melayani,” ucap Hasanuddin.
”Oleh karena itu, lembaga sertifikasi ini penting adanya. Sebab, yang memberi penilaian tidak dari internal kami. Bisa cukup bias kalau yang memberi penilaian dari internal kami karena bisa jadi yang dilaporkan hanya yang baik-baik saja,” ujar Hasanuddin.
Peta terbaru
Terakhir kali, peta yang dirilis oleh pihak BIG adalah Peta NKRI pada tahun 2017. Sementara peta terbaru untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya dirilis pada 2015.
Kendala BIG dalam memperbarui peta adalah pendanaan. Pihak swasta dan pemerintah pun mereka libatkan dalam pembaruan peta.
Kendala BIG dalam memperbarui peta adalah pendanaan. Pihak swasta dan pemerintah pun mereka libatkan dalam pembaruan peta.
Hasanuddin mencontohkan, misalnya ada pembangunan proyek jalan tol, pihak swasta akan melakukan pemotretan dan membuat gambaran peta.
Selanjutnya, hasil pemotretan dan penggambaran peta itu diberikan kepada BIG untuk divalidasi dan diverifikasi mengingat tugas mereka sebagai otoritas pembuatan peta.
”Kalau hanya mengandalkan dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), bisa lama sekali waktunya karena dana itu terbatas,” ujar Hasanuddin.
Terkait dengan peta digital, Kepala Pusat Pengelolaan dan Penyebarluasan Informasi Geospasial BIG Khafid mengatakan, peta itu sudah ada dan didistribusikan melalui situs resmi dari BIG.
”Semua peta dasar bisa diunduh di website kami. Kecepatan mendapatkan data itu bergantung pada koneksi jaringan internet masing-masing pengunduh,” kata Khafid.
Namun, Hasanuddin menimpali, masih ada banyak yang harus ditingkatkan dari situs yang dikelola oleh BIG. Hal itu disebabkan besarnya ukuran data peta, sedangkan server-nya saat ini masih bersifat tunggal.
Ia mengatakan, keadaan seperti itu dapat mempersulit instansi pemerintahan lain yang berlokasi di daerah terpencil dan akses internetnya belum bagus.
Keadaan itu dapat mempersulit instansi pemerintahan lain yang berlokasi di daerah terpencil dan akses internetnya belum bagus.
Untuk mengatasi hal itu, Hasanuddin sedang mempelajari penggunaan Blockchain. Blockchain adalah sebuah peranti lunak yang mengelola aset suatu lembaga berupa data dengan menempatkannya di berbagai server.
”Menarik untuk melakukan pengelolaan peta menggunakan Blockchain. Data diletakkan di banyak server. Orang bisa semakin mudah mengaksesnya,” ucap Hasanuddin.
Ia menjelaskan, persoalan yang dialami oleh Indonesia adalah keterbatasan akses informasi geospasial secara umum. Harapannya, dengan menggunakan Blockchain, kelak akses terhadap hal tersebut bisa lebih merata.
Masalah kita masih ada pada layanan penyampaian informasi geospasial yang masih rendah. Banyak yang belum paham tentang situs geospasial dan orang lebih senang merujuk ke Google.
”Akses ini seharusnya diperkuat. Masalah kita masih ada pada layanan penyampaian informasi geospasial yang masih rendah. Banyak yang belum paham tentang situs geospasial dan orang lebih senang merujuk ke Google. Memang, Google server-nya lebih kuat dan lebih cepat,” tutur Hasanuddin. ”Maka, Blockchain perlu diterapkan entah berapa tahun lagi.”
Akan tetapi, lanjut Hasanuddin, langkah BIG untuk menggunakan Blokchain masih jauh. Banyak dana yang harus dikucurkan dan infrastruktur teknologi informasi masih harus banyak dibangun.
”Kita belum mau menerapkan. Kita melihat-melihat peluang menggunakan Blockchain untuk melakukan pemetaan di Indonesia,” kata Hasanuddin. (DD16)