Beras Operasi Pasar Berkualitas Rendah
JAKARTA, KOMPAS — Beras operasi pasar yang didistribusikan oleh Perum Bulog berkualitas rendah. Akibatnya, pedagang tidak tertarik untuk menjual beras tersebut.
Padahal, beras itu disalurkan untuk menstabilkan harga dan ketersediaan pasokan beras medium sampai ke tingkat pengecer.
Beras operasi pasar (OP) merupakan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang telah disimpan dalam jangka waktu minimal tiga bulan. Beras berwarna kekuning-kuningan, pecah-pecah, berbau apak, dan berdebu.
Adapun penyaluran beras di Perum Bulog menerapkan prinsip ”pertama datang, pertama keluar” atau first in, first out (FIFO) sehingga beras yang dikeluarkan bukan beras baru.
Pemerintah mengadakan OP beras sejak Oktober 2017 untuk mengatasi kenaikan harga beras. Pada Selasa (9/1), Perum Bulog memperluas jangkauan operasi pasar.
Bulog menambah wilayah operasi pasar beras dari 1.100 wilayah selama Oktober-Desember 2017 menjadi 1.800 wilayah mulai awal Januari 2018 untuk meredam gejolak harga beras.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, harga rata-rata bulanan beras medium nasional naik dari Rp 10.574 per kilogram (kg) pada Juli 2017 menjadi Rp 10.794 per kg pada November 2017.
Sementara itu, data dari Sistem Pemantauan Pasar Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan menyebutkan, harga beras nasional per 11 Januari adalah Rp 11.205 per kg.
Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Siti Kuwati menyatakan, kualitas beras CBP seharusnya sesuai standar yang telah ditentukan. Beras tersebut telah diproses ulang setelah disimpan, seperti pengipasan (blowing), pencampuran (mixing), pengayakan, dan pemolesan (polishing).
”Beras bulog adalah beras yang memang didesain untuk disimpan lama, berbeda dengan beras di pasar yang memang harus segera dijual,” ujar Siti Kuwati di Jakarta, Kamis (11/1).
Kualitas beras pada saat dibeli memiliki standar yang sama dengan beras yang telah ditentukan, yaitu dengan kadar air 14 persen.
Syarat dan ketentuan kualitas beras lainnya tertera dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.
Keterbatasan fasilitas, biaya, tenaga, dan waktu membuat pengecekan kualitas beras secara menyeluruh sulit untuk dilakukan.
Kualitas beras berkurang seiring berjalannya waktu. Perubahan warna serta adanya kutu dan debu merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Keterbatasan fasilitas, biaya, tenaga, dan waktu membuat pengecekan kualitas beras secara menyeluruh sulit dilakukan.
Dalam Surat Menteri Perdagangan RI Nomor 31/M-DAG/SD/1/2018 tanggal 5 Januari 2018 tentang Pelaksanaan Stabilisasi Harga dan Pasokan Beras Medium, pemerintah telah menginstruksikan agar proses ulang beras dan distribusi operasional diperketat untuk menghasilkan beras yang baik.
Pelaksana distributor atau mitra pemasaran beras medium yang tidak sesuai standar akan dimintai pertanggungjawaban sesuai surat pernyataan yang telah ditandatangani.
Bulog telah mendistribusikan 53.241 ton beras untuk operasi pasar selama Oktober-Desember 2017. Sementara selama 2-8 Januari 2018, tersalur 37.908 ton sehingga secara total Bulog telah menggelontorkan 91.149 ton beras. Bulog masih memiliki sekitar 950.000 ton beras, termasuk 200.000 ton CBP.
”Sisa stok tersebut cukup untuk Bansos Natura, CBP, dan operasi pasar yang saat ini sedang dilaksanakan,” ujar Siti.
Perum Bulog berharap agar OP kali ini lebih efektif dalam menekan harga karena jumlah wilayah operasi telah diperbanyak dan dilakukan secara besar-besaran.
Berdasarkan surat Menteri Perdagangan Nomor 31/M-DAG/SD/1/2018 tanggal 5 Oktober 2017, operasi pasar dilaksanakan oleh Perum Bulog sampai dengan 31 Maret 2018.
Perum Bulog berharap agar OP kali ini lebih efektif dalam menekan harga karena jumlah wilayah operasi telah diperbanyak dan dilakukan secara besar-besaran.
Kendati demikian, strategi itu dinilai belum mampu menahan laju kenaikan harga karena volume beras yang digelontorkan ke pasar kurang. Pasokan dari daerah sentra juga terus berkurang dalam tiga bulan terakhir.
Dampak kenaikan harga beras mulai dirasakan berat oleh warga. Misalnya, Tutik Lestari (35), warga Jakarta Barat yang bekerja sebagai asisten rumah tangga, menyatakan, kenaikan harga beras membuat ia pernah membeli beras berkualitas rendah dengan harga yang selama ini ia beli di warung Rp 9.500 per liter atau per 0,8 kg.
Kualitas beras yang lebih itu lebih banyak pecahan dan berwarna agak kuning. Tutik akhirnya tetap membeli beras yang biasa ia konsumsi, yang kini telah naik menjadi Rp 10.000 per liter.
Ia tetap membeli beras itu walaupun jumlah pengeluaran bertambah. Dalam sebulan, Tutik dan tiga anggota keluarganya mengonsumsi 20 liter beras. Ia biasanya menghabiskan uang Rp 160.000 per bulan. Kini, ia harus menambah Rp 40.000 per bulan sehingga pengeluarannya menjadi Rp 200.000 per bulan.
Penghasilan keluarga tidak seberapa, saya stres kalau dipikirkan. Tetapi, yang penting sekarang kami sekeluarga bisa makan.
Hal senada dinyatakan Liswati (31), ibu rumah tangga di Jakarta Barat. Ia menyatakan, pengeluaran untuk kebutuhan dapur bertambah dengan naiknya harga beras. Apalagi, harga bahan pokok lainnya, seperti telur dan cabai, juga ikut naik.
”Penghasilan keluarga tidak seberapa, saya stres kalau dipikirkan. Tetapi, yang penting sekarang kami sekeluarga bisa makan,” kata Liswati.
Untuk DKI Jakarta, terdapat 10 pasar yang menjadi wilayah operasi pasar. Pasar-pasar tersebut adalah Pasar Grogol, Pasar Jatinegara, Pasar Jembatan Merah, Pasar Koja Baru, Pasar Mayestik, Pasar Minggu, Pasar Pramuka, Pasar Rawa Badak, Pasar Rawamangun, dan Pasar Senen Blok VI. Pembukaan operasi pasar di Jakarta akan diikuti secara serentak di daerah lain.
Sukirno (41), pedagang beras di Pasar Mayestik, Jakarta Selatan, menyatakan, ia membeli dua karung beras Bulog, masing-masing seberat 50 kg. Ia langsung menemukan kutu dalam beras sekitar setengah jam setelah membuka karung beras IR 64 tipe III dari Bulog. ”Kacau nih,” katanya, sambil memperhatikan beras itu.
Beras juga berdebu sehingga tangan berwarna putih ketika dipegang. Kendati demikian, jumlah pecahan butir yang terlihat oleh kasatmata hampir sama dengan beras sejenis yang memiliki kualitas yang baik. Ia menjual beras tersebut seharga Rp 9.300 per kg. Beras sejenis dengan kualitas yang lebih baik ia jual dengan harga Rp 11.000 per kg.
Pedagang beras lainnya, Enah (43), mengatakan, ia memilih tidak menjual beras Bulog karena sedikit peminat. Ia memilih untuk tetap menjual beras IR 64 tipe III dengan harga Rp 12.000 per kg.
Erli, petugas Satgas Operasi Pasar yang sedang berada di lokasi saat itu menyatakan, baru dua pedagang yang membeli total lima karung beras sejak 9 Januari. Jumlah tersebut ia nyatakan memang tidak tinggi.
Impor harus secara berkala
Opsi impor beras belum menjadi pilihan pemerintah. Pemerintah dapat mengimpor beras 500.000 ton-1 juta ton supaya harga bisa dikendalikan sampai sesuai harga patokan, yakni Rp 9.450 per kg (Kompas, 10 Januari 2018).
Pemerintah tidak akan mengimpor beras yang bisa diproduksi di dalam negeri, seperti IR 64 tipe III. Impor hanya dilakukan untuk beras yang dibutuhkan bagi kepentingan kesehatan, hotel, restoran, dan katering.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita pada 8 Januari menyatakan, pemerintah tidak akan mengimpor beras yang bisa diproduksi di dalam negeri, seperti IR 64 tipe III. Impor hanya dilakukan untuk beras yang dibutuhkan bagi kepentingan kesehatan, hotel, restoran, dan katering.
Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 9 Januari menyatakan, impor beras bisa dilakukan jika memang dalam satu sampai dua hari ini harga tak turun atau masih ada kecenderungan naik.
Keputusan tersebut diperoleh dalam rapat tertutup bersama Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, Enggartiasto Lukita, dan Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti (Kompas, 10 Januari 2018).
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Hizkia Respatiadi, mengatakan, impor barang strategis seharusnya dilakukan tanpa menunggu harga naik terlebih dahulu. Dengan demikian, keamanan pangan masyarakat tetap terjamin.
”Keamanan pangan adalah kondisi di mana masyarakat dapat mengakses pangan dengan harga yang terjangkau. Tidak disebutkan sumbernya harus dari mana,” ujar Hizkia.
Pemerintah ingin menekankan penggunaan produk dalam negeri. Namun, kondisi saat ini tidak memungkinkan karena terus meningkatnya harga beras mengindikasikan kurangnya stok beras di Indonesia.
Apalagi, ujarnya, setiap tahun jumlah penduduk kelas menengah bertambah. Hal ini berarti tingkat konsumsi mereka untuk makanan yang berkualitas dengan kuantitas yang cukup juga bertambah. Kemampuan swasembada pangan Indonesia hingga kini masih belum sejalan dengan permintaan pasar.
Impor yang dilakukan ketika harga telah naik akan mengundang tengkulak dan spekulan yang justru memanfaatkan kesempatan untuk semakin menaikkan harga beras.
Hizkia menegaskan, pemerintah seharusnya melihat keadaan pasar dalam membuat kebijakan. Kebutuhan impor kini sudah mendesak. Walaupun, idealnya impor dilakukan tidak dalam keadaan genting.
Impor yang dilakukan ketika harga telah naik akan mengundang tengkulak dan spekulan yang justru memanfaatkan kesempatan untuk semakin menaikkan harga beras.
Hindari bergantung pada panen
Menanggapi pernyataan tentang stok beras, Perum Bulog akan mencukupi hingga musim panen tiba pada akhir Februari atau awal Maret nanti, Hizkia menyatakan, pemerintah seharusnya tidak semata mengandalkan hasil panen. Alasannya, perubahan iklim yang terjadi saat ini tidak dapat menjamin hasil pangan yang diperoleh akan memenuhi standar dari segi kualitas dan kuantitas.
”Pemerintah jika masih keberatan mengimpor, bisa menggunakan alternatif metode pembelian dengan mengekspor produk komparatif, seperti cokelat dan kopi, ke negara yang mengimpor beras ke Indonesia,” ujar Hizkia.
Rencana pengadaan beras Bulog pada 2018 adalah sebanyak 2,4 juta ton. Dari jumlah itu, 1,4 juta ton beras dijual secara komersial, baik beras premium maupun medium. Sisanya sebanyak 1 juta ton akan dialokasikan untuk CBP sebanyak 290.000 ton serta keperluan bantuan pangan nontunai dan bantuan sosial beras.
Harus dihentikan
Kementerian Pertanian memperkirakan produksi pada 2017 sebesar 81,3 juta ton gabah kering giling atau setara lebih dari 40 juta ton beras. Dengan produksi sebesar itu, kebutuhan konsumsi dalam negeri yang berkisar 31 juta-33 juta ton tercukupi, bahkan surplus jutaan ton beras. Namun, pasokan beras selalu berkurang pada November-Desember.
Peneliti ekonomi Indef, Rusli Abdulah, menyatakan, fenomena tersebut merupakan penyakit tahunan yang harus diselesaikan negara. Pemerintah perlu memperbaiki sistem pendataan sehingga neraca pangan, yaitu jumlah gabah dan beras yang diperoleh dan kebutuhan dapat diperhitungkan dengan lebih akurat.
Pemerintah juga perlu segera mendata daerah penghasil dan bukan penghasil beras agar dapat memetakan kebutuhan.
Selain itu, pemerintah juga perlu segera mendata daerah penghasil dan bukan penghasil beras agar dapat memetakan kebutuhan. Peran Satuan Tugas (Satgas) Pangan dalam memantau juga perlu ditingkatkan karena beras merupakan kebutuhan dasar hajat orang banyak.
”Diversifikasi pangan juga perlu sehingga ketika hasil panen tidak sesuai, masyarakat bisa mengalihkan ke jagung atau ubi,” kata Rusli. Adapun kebutuhan dan selera mengenai pangan harus diserahkan kembali kepada konsumen. Hal ini karena mereka sepatutnya beralih ke makanan lain karena keinginan, bukan karena terpaksa. (DD13)