MK: Ambang Batas Pencalonan Presiden Sesuai Konstitusi
Oleh
RINI KUSTIASIH DAN ANTONY LEE
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menyatakan, ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2019 sesuai dengan desain konstitusi terkait dengan upaya penguatan sistem presidensial. Hal ini juga selaras dengan semangat penyederhanaan partai politik secara alamiah yang menjadi bagian dari semangat konstitusi untuk mendukung sistem presidensial tersebut.
Pendapat mahkamah itu disampaikan dalam pembacaan putusan terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan 13 pemohon, Kamis (11/1) di Jakarta. Para pemohon mendalilkan dua pasal di dalam UU Pemilu itu, yakni Pasal 173 Ayat 1 dan 3 mengenai kewajiban verifikasi faktual, serta Pasal 222 tentang ambang batas pencalonan presiden dan wapres atau presidential threshold.
Terkait dengan penetapan ambang batas pencalonan presiden, mahkamah menilai Pasal 222 itu telah sesuai dengan constitutional engineering atau desain konstitusi, yakni sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 6a Ayat 2 dan 3. Dua pasal di dalam UUD itu pada dasarnya mendorong partai-partai politik berkoalisi dalam mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
”Jika desain ini berhasil, akan lahir koalisi permanen sehingga penyederhanaan parpol secara alamiah yang menjadi kondisi ideal dalam sistem presidensial akan terjadi tanpa paksaan norma konstitusi,” kata hakim konstitusi Anwar Usman dalam pertimbangannya.
Hakim konstitusi Wahiduddin Adams menilai Pasal 222 telah sesuai dengan dua kondisi penguatan sistem presidensial, yakni kecukupan dukungan parpol untuk pencalonan presiden dan penyederhanaan jumlah parpol.
Kecukupan dukungan parpol dalam pencalonan presiden diperlukan untuk mendukung presiden dalam menjalankan tugasnya. Karena sejak awal, capres telah memiliki gambaran atau visi misi dan juga figur-figur di internal kabinet dengan partai pengusungnya.
”Kecukupan dukungan parpol dalam pencalonan presiden diperlukan untuk mendukung presiden dalam menjalankan tugasnya. Karena sejak awal, capres telah memiliki gambaran atau visi misi dan juga figur-figur di internal kabinet dengan partai pengusungnya,” kata Wahiduddin.
Dengan desain itu, presiden akan lebih mudah dalam menjalankan kebijakannya lantaran relatif didukung parpol-parpol pengusungnya di parlemen. Dengan demikian, sistem pemerintahan presidensial rasa parlementer bisa direduksi.
Dalam putusan mengenai ambang batas pencalonan presiden ini, dua hakim mengajukan pendapat yang berbeda, yakni Suhartoyo dan Saldi Isra.
Menurut Suhartoyo, presidential threshold merampas hak konstitusional parpol untuk mengajukan capres. Sesuai dengan konstitusi, setiap parpol yang mengikuti pemilu berhak mengajukan capres.
”Putusan mahkamah selanjutnya mempertimbangkan hak konstitusional parpol peserta pemilu yang terampas, daripada desain konstitusi yang lebih merupakan wilayah permaknaaan dan tafsir, tetapi tidak tercantum secara eksplisit di dalam konstitusi,” kata Suhartoyo.
Putusan mahkamah selanjutnya mempertimbangkan hak konstitusional parpol peserta pemilu yang terampas, daripada desain konstitusi yang lebih merupakan wilayah permaknaaan dan tafsir, tetapi tidak tercantum secara eksplisit di dalam konstitusi.
Adapun Saldi Isra menilai Pasal 222 menciptakan ketidakadilan pemilu lantaran parpol peserta pemilu yang dinyatakan lolos verifikasi kehilangan hak konstitusionalnya untuk mengajukan calon presiden.
Adapun terkait dengan kewajiban verifikasi parpol, Ketua MK Arief Hidayat menyatakan, pokok permohonan sepanjang berkenaan dengan Pasal 173 Ayat 1 dan Ayat 3 UU Pemilu beralasan demi hukum. Mahkamah antara lain mempertimbangkan dua faktor penting, yakni prinsip keadilan dan pertimbangan verifikasi parpol sejalan dengan desain konstitusi untuk menyederhanakan sistem kepartaian.
Mahkamah menilai verifikasi faktual parpol harus diikuti seluruh parpol, tidak hanya untuk parpol baru, tetapi juga parpol lama yang sebelumnya pernah ikut pemilu.
Terkait dengan prinsip keadilan, majelis berpendapat bahwa ada parpol yang dikategorikan lulus dan ada parpol yang belum lulus verifikasi. Itu menunjukkan ada dua kelompok calon peserta pemilu yang diperlakukan berbeda.